Rabu, 18 Januari 2012

Mukena Untuk Simbah

"Aku –dulu- 'kecengklok' mas..... "
“Mungkin sekarang semestinya saya sudah seperti sampean ini. Sekolahnya tinggi.  Lulusan universitas. Kerja dikantoran.  Pokoknya kaya sampean ini.”

Yang dipuji mendadak gede kepalanya, merasa tinggi hati. Astaghfirullohal’Adzim.

"Tenan Mas naryo, aku kepengin koyo sampean.."

“Tapi Yo Mbuhlah…”

Percakapan kami mulai begitu saja. Badanku sungguh lelah sekali. seharian bergumam dengan pekerjaan yang betul-betul baru. Istilah-istilah baru. Serba baru, serba ndak mudengi.

Tapi demi sebuah kesempatan langka. Aku abaikan semua penatku. Aku masih bisa istirahat nanti-nanti. Bukankah selalu menarik untuk mendengarkan kisah hidup dari sumbernya langsung. dan tentu saja.. cerita ini harus aku bagi denganmu..kawan...

Sekali lagi tentang Orang biasa. Dengan mimpi-mimpi  biasa. Tapi dengan perjuangan yang tentu saja luar biasa. Indah didengarkan. Nikmat diceritakan. Menyegarkan.

Namanya Budi. Seumuran denganku. Budi sudah Piatu saat masih SMP, sepuluhan tahun yang lalu. Seperti kebanyakan anak se usianya. Sangat berat kehilangan sosok ibu. Sangat sulit untuk -sebagian besar- ayah, berperan ganda, mengasuh sekaligus menafkahi.

"Dulu aku nakal mas..."
"Tukang 'gelut'. yo mbolosan pisan"
"Yo balapan. yo udud. wis werno-werno pokoke..."

(Tukang berantem, mbolos, balapan, merokok , macem-macem pokoknya)

Kenakalan Budi tak juga berubah. Justru bertambah parah. Setahun setelah kelulusan yang dramatis, bapak meninggal. Budi menjadi yatim piatu.

"Aku mung "njagak ke" Simbahku... aku ngroso paling nyaman dengan beliau.. dari pada dengan saudara-saudara almarhum bapak atau ibuku yang lain.."


Angin berhembus sepoi-sepoi. Gang anyer tetep sepi. Dingin. Langit Tomang  cerah. Bulan belum sempurna purnama. Menemani orang-orang biasa, yang jauh dari sempurna.

"Akhire lulus STM juga aku mas..." Senyumnya selalu menyungging saat bercerita mengenang cerita lama.

Tapi tidak untuk yang satu ini. Kegetiran selalu tampak di wajahnya, bahkan saat dia menuturkannya padaku.

"Bagaimana aku ndak 'kecengklok' mas..."
"Setengah mati aku berusaha agar bisa kuliah.”
“Aku menggantungkan cita-cita pada saudara-saudara bapak ibuku”

" Saat aku sampaikan niatku. Semua menggeleng. “

Simbah putri hanya bisa diam. Termangu dipojok ruangan. Menyalahkan diri sendiri.

"Sing sabar yo le...” simbah berusaha menenangkan yg sesenggukan di pangkuan.

 "Perasaan Marah... sedih... berontak.. kesal.. campur jadi satu mas..."
"Aku mung yatim Piatu.. Aku mung iso nangis mas..."
 "Mengubur impian jadi sarjana...."

Kulihat mata budi memerah. Basah.

Kegagalan memang selalu menyakitkan. Sekaligus energi besar tak berhingga. seperti grafik tangen 45 derajat. Tak berbatas. Tak tertampung dalam ruang.

Budi berpamitan kepada simbah. Merantau ke Jakarta. Membawa janji mulia.

"Balas Dendam mas.." katanya Mantab
"kalau saya bisa kerja nanti, saya mau mengumpulkan duit. Mau sekolah lagi mas..."
"Aku harus jadi sarjana mas... , ya.. seperti sampean." Katanya meyakinkan.

Dan.. keberuntungan memang selalu menemani siapapun bersungguh-sungguh. Keberhasilan selalu menyertai orang yang bekerja keras. yang tidak segera menyerah dengan kesulitan. Yang tetap tabah bertahan dalam sesulitnya keadaan.

Budi diterima disebuah perusahaan. Lambat tapi pasti. Budi bisa mengumpulkan rupiah.
 dicukup-cukupkan agar bisa sekolah.

"Kuliah juga aku akhirnya mas..."

“Biar di swasta, yang penting bisa jadi sarjana”

Namun ujian datang...

Sejak kecil Budi punya permohonan sederhana kepada simbah. Budi ingin simbah Sholat. seumur hidup Simbah -yang saat di tanya agama selalu menjawab Islam- belum pernah sekalipun Sholat.  Beliau ndak punya Mukena. Butuh waktu sangat lama untuk membujuk simbah.
Akhirnya  simbah luluh juga menghadapi cucunya yang yatim piatu. Simbah "Ndak mentolo" dengan pemohonan -buah hati- kenang-kenangan anaknya yang mendahului "pergi".
 Akhirnya Simbah mau Sholat. Meski dengan gerakan yang amburadul, setidaknya simbah mau belajar. Pelan tapi pasti.

dan ujian itu pun datang juga...

.Dan bukankah sudah pernah kukatakan kepadamu, kawan.  Alloh selalu menyayangi hamba-hamba terpilih. Menguji makhluk terkasih-Nya dengan cobaan dan kesulitan. Agar terus bersabar, agar tak menyerah pada keadaan.

"Malam itu aku  pulang kampung. Aku ingin mengabarkan keberhasilanku kepada simbah, mas”
“aku bisa kerja, aku bisa sekolah”
“Kusisihkan gajianku untuk simbah. Kubelikan mukena untuk simbah..."
"Berharap simbah berkenan menerima hadiahku. mukena putih hasil kerja kerasku..."
"biar tambah semangat solatnya.."

Aku tidak ingin membuat-buat cerita sedih. Seperti sinetron atau film-film di TV. Tapi memang begitu adanya,  takdir tidak bisa di rubah. kehendak Tuhan tak bisa di tunda barang sebentar saja. Dan kehendak itu pun berlaku pada simbah. Budi tidak pernah bisa memberikan hadiah mukena kepada simbah. Simbah dipanggil Alloh saat budi membawa mukena putih simbah pulang.

"Waktu Ibuku meninggal.. aku ndak nangis mas.. "
"Pas bapakku meninggal.. aku juga tidak nangis..."
"tapi tidak untuk simbah... Aku menangis mas"
"aku sedih tak bisa melanjutkan di UNS.. tapi aku lebih sedih ditinggal simbahku.."
"ya nyesel... sedih.. marah.. ko aku ndak dikasih kesempatan itu... hanya mukena mas.. tapi ko yo tidak bisa"
"Aku protes karo Gusti Alloh"
"Aku butuh waktu lama... untuk berdamai dengan hatiku.... berat sekali rasanya ditinggal simbahku mas.."
"Ya..."
"tapi setidaknya simbah sudah mau Sholat.. semoga Alloh mengampui dosa-dosanya.. beliau harus masuk surga mas.. "
"Ndak ada simbah sebaik dia.."

"Sekarang aku ingin melanjutkan sekolah... meneruskan cita-citaku yang dulu pernah kukubur dalam-dalam.."
"Cita-citaku untuk menyenangkan simbah...  jadi sarjana mas.."

Tak terasa malam makin larut... laper banget.. belum buka puasa.. badan masih gatel-gatel.. lha belum mandi? 

Seperti dituturkan Budi  malam itu padaku.. 

kini Budi sudah menempuh semester akhir kuliahnya di salah satu Universitas swasta di jakarta. Sementara, karirnya bertambah baik. Buah kesabaran. Buah keberkahan.



Tidak ada komentar:

Posting Komentar