Jumat, 28 September 2012

Catatan Perjalanan Umroh: Hajar Aswad


“Syeh.. besok pagi kita tahajjud ya?”
“Terus ke hajar aswad”
“InsyaAlloh syeh” aku menjawab mantab.
Malam ini akhirnya bisa beristirahat,setelah perjalanan yang panjang dan melelahkan. Jakarta-singapura-Riyad-jeddah-mekah. Langsung dilanjut dengan umroh. Sedari pagi hingga kembali pagi. Jam di hape sudah menunjuk pukul 23.00 waktu mekkah. Paling tidak berarti sudah pukul 3 pagi waktu tanah air. “Jetlek”, Ngantuk luar biasa.

Ini cerita tentang Hajar aswad kawan. Engkau tentu sudah tahu bukan tentang hajar aswad? Aku yakin kalian sudah jauh lebih tahu. Tapi aku tetap ingin menceritakan hajar aswad padamu. Hajar Aswad adalah batu berwarna hitam kemerah-merahan, terletak di sudut selatan, sebelah kiri pintu Ka’bah. Ketinggiannya 1,10 m dari permukaan tanah. Ia tertanam di dinding Ka’bah. Hajar 'Aswad merupakan batu yang berasal dari surga. Nabi Ibrahim lah yang meletakkan hajar aswad saat membangun kabah. Dahulu kala, batu ini memiliki sinar yang terang dan dapat menerangi seluruh jazirah arab. Namun semakin lama sinarnya semakin meredup dan hingga akhirnya sekarang berwarna hitam. Batu ini memiliki aroma wangi yang unik dan ini merupakan aroma alami yang dimilikinya semenjak awal keberadaannya.

Mencium hajar aswad adalah hal yang dicontohkan oleh nabi Muhammad SAW. Namun sebagaimana dikatakan Umar Ibn Khatab RA:

“Sesungguhnya aku tahu bahwa engkau (hajar aswad) tidak dapat mendatangkan bahaya, tidak juga manfaat. Kalau sekiranya aku tidak melihat Rosululloh ShollAllohu alaihi wasallam menciumu, niscahya aku tidak akan menciummu.”

Hajar Aswad

“BismiKa Allohumma ahya wabismiKa amut”
“Dengan namamu ya Alloh aku hidup, dan dengan namamu pula aku mati”
Ustad andi sudah tidur di dipan sebelah, kecapean membimbing kami seharian. Aceng masih sibuk dengan hp nya. Aku menguap. Kemudian bablas. Tertidur pulas.

............................................................

Hapeku berdering nyaring. Alarm pagi berbunyi. Enggan aku membuka mata. Masih pegal-pegal di sekujur badan. Tapi bukankah sudah pernah kukatakan kepadamu. Rasa sakit mengalahkan banyak hal. Namun rasa rindu mengalahkan banyak rasa sakit. Apalagi rasa kantuk?
Jam menunjuk pukul 02.30. Masih pagi.  

Aku membuka selimut. Bergegas ke kamar mandi untuk buang hajat dan bersih-bersih. Air hangat dari shower sungguh menyegarkan. Semua rasa kantuk hilang seketika.

Setengah jam kemudian semua siap. Aceng memekai setelan thob putih khas orang arab. Aku memilih baju koko putih oleh-oleh simbok saat menjenguk cucu pertamanya, Najif –anak masku- di jakarta.   Pas di badan. Berasa simbok sama bapak juga ikut ke sini.  Aku dan aceng bergegas ke masjidil harom. Atau ustad andi dan orang-orang dari indonesia biasa menyebut  harom saja. Kelihatannya ustad andi begitu kelelahan. Kami meningalkan beliau di kamar. Nanti juga menyusul.  Lima menit kemudian kita sampai di masjid. Langsung meluncur ke tempat favourit pelataran tangga babul malik fahd. Dari sini ka’bah sungguh terlihat sangat indah.

Aku memilih sholat tahajud di area towaf. Agak menjorok ke tengah.  Selesai delapan rokaat dan berdo’a. Aku tak beranjak dari tempat dudukku. Hanya mengubah posisi. Memeluk kedua lututku. Menyaksikan ramai orang bertowaf. Mengagumi ka’bah. Yang semakin dilihat, semakin kita akan terperangkap. Semakin sulit untuk berpaling darinya.

..........................................................................

Kira-kira setengah jam sebelum subuh. Aceng mengajakku towaf.
“Waktunya towaf Syeh”
Aku menjawab dengan anggukan. Menyambut uluran tangannya. Berdiri. Segera berjalan. Merangsek ke linggakaran towaf. Melebur dengan para jamah. Layaknya para planet di jagat raya. Layaknya elektron mengitari pusat masa.

Kawan, seandainya engkau tahu rasanya towaf. Mungkin engkau akan memilih untuk terus towaf. Ada kenikmatan tak terkatakan yang engkau rasakan saat terus berputar. Ada energi yang seakan membawamu dalam gaya sentrifugal. Ada pesona tak tergambarkan saat terus berputar mengelilingi ka’bah.

Selesai sudah tujuh putaran yang menyenangkan. Padahal menurutku masih lima putaran. Aceng kekeh kita sudah tujuh putaran. Ikuti saja dah, memang beliau yang menghitung jumlah putaran selama towaf. Aku sibuk memperhatikan ka’bah dari ujung satu ke ujung yang lain. Dan tentu saja, si sendu menawan.  He he he.

 Kami tepat berada di sisi rukun yamani di putaran saat adzan subuh selesai dikumandangkan.  Berarti tanda akhir dari towaf kami. Tepat di arah hajar aswad kami mengucap doa sembari melambai kemudian mencium tangan, atau mengusapkan ke dua tangan ke wajah dan seluruh badan.
“Bismillah, Allohu Akbar”
 “Bismillah, Allohu Akbar”
“Bismillah, Allohu Akbar”

Kami berhenti tepat di arah pojokan hajar aswad. Tak beringsut, kemudian sholat sunnah qobliyah subuh. Perlahan tapi pasti. Orang-orang yang towaf secara berangsur-angsur berhenti. Yang belum selesai bisa dilanjut setelah shalat subuh nanti. Sementara jamaah membentuk shof sholat. Para askar mulai “mengusir” jamaah perempuan ke arah belakang. Bukan rasisme, tapi memang kata nabi. Sebaik-baik shof jamaah pria adalah di depan. Sedangkan sebaik-baik shof perempuan adalah di belakang. Namun ada pengecualian di masjidil harom,  jamaah pria dan wanita boleh bercampur.  Namun untuk area towaf dan shof paling depan diisi jamaah pria.

Di masjidil kharom setiap orang berlomba-lomba untuk sholat sedekat mungkin dengan ka’bah. Termasuk saya. kami berdiri berdempet erat. Berlekatan satu sama lain. Tak ada ruang untuk lewat sekalipun. Kaki bertemu kaki, siku bertemu siku. Bahkan lebih rapat lagi. Semua ingin dekat dengan ka’bah. Ingin mendapat keutamannya. Aku dan aceng berdiri di shof ke tujuh atau delapan  lurus di belakang hajr aswad.

Imam pagi ini syeh sudais, itu lho imam masjidil kharom yang murotalnya sering kita dengar di MP3 atau di radio-radio. Syeh sudais punya kemerduan suara yang luar biasa. Kekhasan syeh sudais adalah sering menangis saat membaca Al qur’an. Kadang –seperti- terdengar sesenggukan.

Aku terlena dengan bacaan syeh sudais. Sesekali ikut tersentuh, saat bertemu dengan ayat yang –karena sering dengar- tau artinya. Dan aku terpana dengan keindahan ka’bah. Sekali ini aku baru melihat hajar aswad secara langsung. Tak ditutupi orang-orang besar yang berebut mencium hajar aswad. Sadar atau tidak, aku melambatkan gerakku saat menjelang ruku dan sujud dari duduk tawaruk, hanya demi melihat hajar aswad lebih lama.

Begitu selesai salam, Orang-orang  di depan kami berebut mencium hajar aswad. kami serentak berdiri. Maju ke depan, ke arah hajar aswad.  Aceng punya strategi sendiri agar kami berhasil mencium hajar aswad. Kami meringsek ke arah pintu ka’bah. Ke multazam. Kemudian masuk dari arah kaki askar yang menjaga pintu ka’bah. Kata aceng sejauh ini itu strategi yang paling efektif untuk orang-orang kecil seperti kita. Sangat sulit jika masuk lewat sisi rukun yamani. Apalagi lurus dari arah garis star towaf.

Pelan tapi pasti. Aku meringsek masuk. Tubuh kecil ini berguna, sekaligus rentan bahaya. Aceng menarikku masuk. Ia sudah di depan hajar aswad. Sementara aku masih tertahan. Ada siku tangan yang besar tepat menahan ulu hatiku. Rasanya ngilu sekali. Aku –nyaris- sesak napas.
“syeh ayo masuk!!” aceng berteriak kencang.
“Sebentar syeh, dadaku sakuit sekali”
aku sebentar-sebentar menggeleng. –hampir-hampir Tak kuat menahan sakit.

Dan dalam hitungan detik. Aku sudah berada tepat di depan hajar aswad. Kedua tanganku tepat menjeplak di bingkai perak hajar aswad. kemudian aku “bengong” di sana. Aku melihat hajar aswad dari jarak yang teramat dekat. Tiba-tiba suasana menjadi sangat tenang. Sunyi senyap. Aku seperti di tempat lain dari dunia ini. Sampai sebuah tangan mendorongku ke depan, tepat ke arah hajar aswad. Dua atau tiga kali aku mencium hajar aswad. Secepat aku melepaskan bibir dan tanganku dari batu mulia itu. Aku tersadar kembali.

“Syeh... TARIIIIIKKKK!!!” Aku berteriak sekencang-kencangnya.

Seketika itu juga, aku terlempar dari posisiku semula. Entah aku melewati punggung orang lain. Entah dipapah di atas kepala orang-orang seperti yang sudah aku lihat sebelumnya saat umroh kemarin siang. Tau-tau aku sudah beberapa meter jaraknya dari hajar aswad. Dengan aceng disampingku. Kemungkinan besar dia yang menariku. (Iya kan Syeh?) Bukankah badanku kecil, tak sampai 160 cm tingginya. Jadi sangat mudah dilempar oleh orang-orang asing super besar yang sedang berebut mencium hajar aswad.

Lewat bawah kaki askar berpakaian ala pramuka itu kami lewat saat mencium hajar aswad


Aku minta istirahat sebentar, dadaku masih ngilu. Kami berjalan menuju multazam untuk berdoa, kemudian bergeser ke arah depan maqom ibrohim. Sholat dua rokaat kemudian berdoa di depan ka’bah. Tampak bapak-bapak, ibu-ibu di kanan kiri kami. Semua berdoa ada yang menagis sesenggukan. Ada yang berteriak. Ramai sekali di depan sini.

Masih belum selesai rupanya. Dengan napas tersengal,  masih ngo-sngosan,  kami berjalan menuju hijr ismail. Area setengah lingkaran di sisi timur ka’bah, antara rukun iraqi dan rukun syam. Sisi kebalikan rukun yamani dan hajar aswad. (kalau saya keliru mohon diluruskan ya brow?). Dikatakan bahwa, hijr ismail adalah bagian dari ka’bah. Sholat di Hijir Ismail  sama dengan sholat di dalam ka’bah, seperti disebutkan dalam hadits, ketika Aisyah RA minta izin untuk masuk kedalam ka’bah untuk sholat di dalam ka’bah, Rasulullah membawa Aisyah RA ke hijir Ismail dan berkata “Sholatlah kamu disini kalau ingin sholat didalam ka’bah karena ini termasuk sebagian dari ka’bah.”(HR Turmidzi)

Sekali lagi, tubuh kecil ini berguna sekaligus rentan bahaya. Kami masuk melewati celah kecil dari sisi utara. Langsung menuju dinding ka’bah. Kami shalat bergantian dengan aceng. Saling menjaga satu sama lain. Kemudian mencium dinding ka’bah dan berdoa di sana. Aku sempat mempersilahkan seorang nenek di sana. Ada ruang kosong dekatku.

“ummi.. tafadlol ummi”
(ummi.. silakan ummi)

Tawaranku hanya dibalas tatapan heran. Entah karena tak mengerti maksudku, entah karena tawaranku tampak aneh. Tak berapa lama kemudian kami menepi, dan keluar lagi lewat jalur kami masuk. Gantian dengan yang lain.


Area setengah lingkaran yang dibatasi dinding putih setinggi pundak orang dewasa adalah hijr ismail


Keluar dari hijr ismail, kami kembali ke tempat fovourit kami. Pelataran tangga babul malik fahd. Masih di lantai putih, dekat kran-kran air zam-zam.  Sebotol air zam-zam kami habiskan sekaligus. Masih nambah sebotol lagi. Masih ngos-ngosan. Keringat membasahi pakaian kami. Masih ngilu di dadaku. Kemudian duduk menjeplak. Duduk santai. Melihat orang-orang towaf. Mengagumi baitulloh. Sungguh ini kenikmatan yang luar biasa. Sungguh diri ini merasa sangat beruntung hari ini. Maka nikmat tuhanmu yang manakah yang kamu dustakan?

Maka berbahagialah orang-orang yang diberikan Alloh kesempatan untuk mengunjungi Baitulloh serta mencium hajar aswad. Maka mulialah orang-orang yang memberikan kesempatan kepada sebanyak-banyaknya saudara seiman untuk bisa mengunjungi rumah Alloh.

Bukan kebahagiaan yg membuat kita bersyukur.  Tapi (besarnya) rasa bersyukurlah yang membuat kita menjadi lebih berbahagia.

Sedang Besarnya kesyukuran kita sebagian bisa diukur dari besarnya rasa terima kasih kita kepada Alloh, dan sebagian besarnya lagi dapat diukur dari besarnya yang kita bagi kepada orang lain.    

Tak terasa, Langit mekah mulai terang. Merah merekah. Burung-burung mulai beterbangan di atas masjidil kharom. Lalu lalang di antara menara-menara masjid. Para jamaah mulai meninggalkan masjid. Kami pun begitu. Waktunya pulang. Kembali ke hotel. Mengisi tenaga. Bersiap untuk petualangan berikutnya.

Bersama Aceng di pelataran tangga babul malik fahd. 
Terima kasih kepada brother afganistan yang memfoto kami




Sabtu, 22 September 2012

Catatan perjalanan Umroh: Keajaiban-keajaiban


Sebenarnya, usai shalat duhur  aku  tak ingin buru-buru pulang ke hotel.  Ada shofa marwa yang belum aku datangi. Tempat-tempat istijabah tak boleh aku lewatkan begitu saja. Inginnya puas-puasin di masjidil kharom, tetapi panitia juga harus dihormati. Ada makan siang yang menunggu di hotal. Tak enak sudah disiapkan sedari tadi. Siang kemarin, kami dapat komplen karena pulang ke sorean. Keasikan di masjid, sampai lupa ditungguin panitia.

Baiklah, waktunya pulang dulu ke hotel. Nanti juga bisa mbalik lagi ke masjid. Aku pun bergegas. Berjalan cepat. Melewati tangga babul maut, Aku melirik jam besar di menara zam-zam,  Pukul 13.25.  Menerobos lantai towaf berwarna putih bersih. Udara di dalam masjid terasa panas, namun lantai granit itu terasa amat dingin. Seputih hati ini Engkau telah bersihakan, sedingin pikiran ini saat duduk termangu memandangi  rumah-Mu.  aku memilih lewat depan maqom ibrohim. Sebuah bangunan kecil di dekat pintu ka’bah  berupa sebuah batu dengan cerukan bekas dua kaki nabi ibrohim. Inginnya bisa towaf lagi. Kakiku berjalan ke arah babul malik Fahd, tapi kedua mataku tak juga berpaling dari ka’bah. Sebentar ya, aku mau makan dulu. Nanti aku akan datang lagi. Gumamku pada ka’bah.

Maqom Ibrohim-Tempat berpijaknya nabi Ibrohim AS saat membangun ka’bah

Perjalan panas sepanjang masjid ke hotel cukup menyiksa. Cuaca Mekkah bulan-bulan ini memang sedang tidak bersahabat. Panas menyengat. Perjalanan 5 menit pun terasa sangat lama. Panas 43 derajat celcius sering kali dihembusi angin gurun yang panas juga. Berasa di depan perapian saja. Sepanjang kanan kiri jalan nampak pembangunan sedang giat-giatnya. Banyak hotel-hotel bintang tiga nampak dikosongkan. Diruntuhkan. Di sisi lain bangunan-bangunan baru nampak mulai berdiri kokoh. Sebagian bangunan perluasan masjid, sebagian lagi untuk membangun hotel baru yang lebih tinggi, yang lebih megah lagi. 

Angin dingin menyambutku saat membuka pintu hotel. Lobi hotel nampak rame. Ternyata bapak dan ibu ishak juga ada di sana. Mereka sedang nampak bedebat, bersitegang dengan petugas hotel. Ternyata kunci hotel pak ishak tidak ada di loker penitipan. Bapak ishak merasa belum membawa kunci, sementara petugas hotel kekeh sudah ada yang mengambil kunci kamar beliau. Tak mau ribut lebih lama,  solusi di cari. Sudahlah, yang penting kamar bisa dibuka dahulu. Petugas hotel akhirnya mau membuka pintu kamar dengan kunci cadangan, namun menolak memberikan kunci cadangan kepada mereka. Jadilah keributan kecil terjadi. Ibu terlihat marah, hendak mengejar petugas. Sedikit memaki. Aku mengejarnya, memegang pundak ibu, menenangkan, meminta beliau beristighfar.
“Kita di tanah harom ibu, jangan marah.”
“Sudahlah, nanti juga kuncinya ketemu”
Ibu  terdiam. Lirih beristighfar. Wajah kesalnya belum juga hilang.
Tiba-tiba bapak berhamdalah.
“Kuncinya sudah ketemu mas”
“masyAlloh, Saya ndak tau, tiba-tiba ada di kantong baju”
“Saya yakin belum mengambilnya, tadi kantong saya kosong”
“Sekarang tau-tau sudah ada di sini”
Aku lega, bapak lega. Ibu masih diam. Jengkelnya berubah jadi malu. Menyesal sudah marah-marah.
Selesai urusan kunci, aku kembali ke kamarku. Istirahat sebentar, kemudian bersiap kembali ke masjid.
Itulah “Keajaiban pertama”.

Selesai sholat asar aku menyempatkan towaf. Selepas asar adalah waktu yang pas untuk towaf, Selain waktu dhuha. Udara tidak terlalu panas. Masjid juga belum terlalu ramai. Para jamaah biasanya datang satu setengah  jam sebelum maghrib, sekitar pukul setengah 6 sore. Sekarang ini masih jam 4 sore. Towaf selesai, aku berdoa  di belakang maqom ibrohim.  Sembari menunggu maghrib aku iseng berjalan-jalan di masjid. Ingin menikmati masjid di sepanjang sudutnya. Di sebuah sudut masjid aku melihat sekumulan arab badui sedang berkumpul, sibuk membagi kurma ke wadah-wadah. Kurma kecil berwarna kuning kecoklatan, seukuran jempol tangan orang dewasa. Sepertinya enak, pikirku. Coba bisa merasakannya. Aku terus berjalan, berkeliling, sambil berharap bisa mencicipi buah kurma. Baru sepuluh langkah berjalan, ada kerumunan, seorang pria arab sedang sibuk membagikan korma kepada jamaah. MasyaAlloh, belum juga doa itu diucapkan, sekarang korma itu sudah di depan mata. Aku menerima pemberian itu dengan senang hati. Aku diberi tahu ustad, bahwa kita tak boleh menolak pemberian di masjidil kharom. Nanti hilang berkahnya, katanya.

Lelah berkeliling, aku berhenti di arah malik fahd, masih di lantai putih area towaf  dekat keran zam-zam. Hari  semakin sore, jamaah semakin banyak, berdesakkan di sana-sini. Macet di setiap pintu masuk.
Aku duduk bersila, di samping kiriku seorang turki sedang sibuk membaca. Di sebelah kanan, mungkin orang pakistan atau bangladesh, sorbannya terlihat khas. Menunggu maghrib, aku membuka mushaf yang sedari tadi aku baca, masih ada beberapa lembar lagi, untuk satu jus target hari ini. Tiba-tiba seorang bocah kecil seumuran 8 tahunan berdiri di depanku. Menyodorkan sewadah kecil buah korma. MasyaAlloh, bukankah itu kurma yang tadi. Korma kuning kecoklatan yang aku inginkan. Aku mengambil beberapa buah. Cukup untuk sekedar mencicipi, cukup untuk tau rasanya.
Dan aku memutuskan sebagai “Keajaiban kedua”.
Sebenarnya masih ada banyak keajaiban yang lain. Mungkin banyak untuk diceritakan.

Bocah-bocah seperti ini yang memberikan kurma kuning kecoklatan untukkku


Maha Suci Alloh yang mempahalai ribuan kali lipat pahala orang-orang yang beribadah di masjidil kharom.  Tanah itu adalah tempat tinggal orang-orang pilihan Alloh. Tempat yang didoakan para nabi pilihan Alloh. Jauh hari sebelum berangkat, aku berharap Alloh mempahalai ibadah kita sama seperti mempahalai orang-orang yang beribadah di masjidil kharom. Biarlah itu hadist nabi, tapi jakalau Alloh mau? Kenapa tidak? Dan setelah pulang pun. Aku berharap begitu, bukan agar orang-orang tidak perlu menziarahi rumah-Nya. Akan tetapi agar semua orang yang karena memang keterbatasannya, tidak bisa mengunjungi ka’bah bisa tetap  meminta sekhusu’ itu kepada-Mu.

Sering kali kita mendengar cerita-cerita dari orang-orang yang pergi ke sana, - haji entah umroh- selalu membawa cerita yang berbeda-beda. Katanya perbuatan kita di tanah air langsung di balas di sana. Katanya begitu berdoa langsung dikabulkan di sana. Katanya ini katanya begitu. Semua tentang yang ajaib-ajaib.
Menurutku statemen ini benar adanya, bukankah Alloh berfirman dalam Al Qur’an.
“Ud’uni astajiblakum”
“Berdoalah niscahya akan Aku kabulkan.”

Kita sering kali lupa dengan ayat ini. Alloh menyuruh kita berdoa, agar Ia mengabulkan doa-doa yang kita inginkan. Lalu kenapa –seperti- ada perbedaan antara ketika di tanah kharom dengan di tanah air? Tentu saja jelas berbeda. Tanah kharom adalah tanah yang diberkahi. Tanah yang didoakan oleh nabi ibrohim, kekasih Alloh. Sedangkan kita di tanah yang entah berantah?

Apabila kita amati,  di luar berita-berita kurang menenangkan yang kita dengar, secara umum orang-orang di arab begitu taat beribadah. Begitu adzan berkumandang di masjid, semua kegiatan berhenti. Toko-toko tutup. Tak ada aktivitas selain sholat. Bahkan setelah iqomat, towafpun berhenti. Semua orang berhidmat kepada Alloh. Menyembah kepada-Nya. Pun demikian juga, saat kita berada di masjidil kharom atau masjid nabawi pada kususnya. Sesiapapun  yang pernah kesana tentunya merasakan sesuatu yang berbeda. Secara umum, Kita jadi lebih  rajin beribadah –tentunya dengan bandingan dari di tanah air-. Sholat tepat waktu. Tadarus. Rajin bersedekah. Berkelakuan baik. Tidak menggunjing. Tidak bertengkar. Tidak melakukan hal-hal tercela. Bukankah sedari awal niat kita adalah untuk beribadah. Bukan untuk berbelanja. Apalagi untuk membanggakan diri kepada tetangga.

Diakui atau tidak,  hal-hal baik yang kita lakukan, tentu akan mempengaruhi hati dan pikiran. Saat kita berbuat baik. Kita jadi berasa lebih tenang. Berasa sejuk. Betapapun panasnya udara Mekkah, tetap berasa nyaman di badan dan pikiran. Saat hati dan pikiran kita merasa tenang, maka kita menjadi lebih sensitif. Menjadi lebih peka terhadap hal-hal yang terjadi disekeliling kita. Tentang hal-hal yang terasa menyenangkan atau menyedihkan. Bahwa, apapun yang menimpa diri kita, senantiasa kita hadapi dengan lapang dada. Semua adalah  bukti kasih sayang Alloh. Tidak ada penyesalan, tidak ada keluhan. Susah atau pun senang tetap menjadi anugerah yang harus disukuri dan dijalani dengan sepenuh hati.

Saat kita pulang ke tanah air, semestinya kebeningan hati selama di mekkah juga harus turut di bawa serta. Tak ditinggal begitu saja. Alloh senantiasa mengabulkan doa-doa kita. Selalu ada keajaiban sebagaimana yang dialami saat berada di tanah harom. Hanya saja sifat iri, dengki, hasut  sering menghalangi mata hati kita untuk melihat besarnya karunia Alloh. Kebanggaan akan pengalaman kita, membuat kita menjadi takabur. Tinggi hati, dan merendahkan orang lain.

Sungguh, Tidak ada yang salah dengan doa-doa kita. Alloh akan tetap mengabulkan doa-doa kita di manapun kita berada. Ya di tanah harom, ya di tanah air. Bisa jadi, Yang tidak pas adalah isi doa-doa kita, dan  ketidaksabaran kita    menunggu terkabulnya doa-doa kita dikabulkan segera.

Maka
Saat Alloh mengabulkan doamu, Ia ingin menguji imanmu..
Saat Alloh tak –jua- mengabulkan doamu, Ia meminta kesabaranmu...
Saat Alloh mengabulkan yang bukan doamu, yakinlah Ia telah menganugerahkan yang terbaik untukmu...  

Minggu, 02 September 2012

Cerita Perjalanan Umroh: Hari Pertama


Aku bagai komet di alam raya. Dalam ruang antar bintang. Di kegelapan sempurna. Kecil namun terasa. Pelan tapi pasti. Kekuatan itu menarikku ke pusat tata surya.  Dan semakin lama kekuatan grafitasi itu semakin kuat. Menuntunku bersama ribuan komet dan batu-batu dilangit mengunjungi tata surya. Dalam sebuah gerakan melengkung beraturan sangat panjang yang hampir-hampir lurus. Saatnya kami bergerak menuju ke titik perihelium, titik terdekat. Tak seorangpun dari kami akan tahu, apakah kami akan kembali dalam kebersihan,  dimana dosa-dasa dan keburukan kami akan terlelehkan olah pancaran matahari. Atau kami akan hilang sempurna bersama panas matahari, sebelum sempat singgah di sekelilinganya. Atau juga tesesat jatuh di salah satu planet nun jauh di depan sana. Menjadi meteorit. Menjadi seonggok batu mati. Tanpa guna. Tanpa daya.

Aku tak punya penggambaran yang lebih nyata selain menjadi sebagian kecil alam semesta, sebuah komet di tata surya. Yah.. ini perjalanan umroh pertamaku. Perjalanan mengunjungi tempat terindah di bumi. Tempat setiap muslim menghadapkan wajahnya ketika shalat. Tempat kami menghadapkan wajah di pembaringan terakhir di liang lahat. Apapun madzhab, golongan, sempalan, paham, komunitas dan apapun yang mengaku islam. Kami semua sepakat. Ka’bah adalah tempat kami semua seharusnya menghadap.

Ka’bah di Masjidl Kharom


Sesiapapun muslim di dunia ini, selalau merindukan saat-saat perjumpaan dengan Ka’bah di tengah kota mekkah. Begitupun diriku, aku merindukan berjumpaan dengan ka’bah sejak bertahun-tahun lalu. Rasa rindu untuk mengunjungi rumah suci, Baitulloh. Rasa rindu ingin menapaktilasi perjalanan para kekasih kebaggaan Alloh. Rasa kangen, untuk ikut merasakan perjuangan para nabi. Dan, Perasaan itu semakin menguat setelah sebuah kartu pos bergambar itu engkau kirimkan kepadaku beberapa tahun lalu. Kemudian, -perlahan namun pasti- terus terpupuk bersama janji-janji itu. Janji-janji mulia akan pemahaman kehidupan yang lebih baik di masa depan.

Dan setelah kejadian-kejadian itu,setelah beberapa hal yang –karena ketidaktahuanku- akhirnya aku memahami bahwa rencana Alloh memang sunguh luar biasa. Seakan-akan aku lupa, Bahwa sekehendak Alloh memperlakukan kehidupan kita. Selalu ada alasan kenapa hidup kita begini atau begitu. Hari ini aku baru memahaminya, Alloh menginginkanku mengunjungi rumah-Nya terlebih dahulu. Tepat di depan pintunya, tempat dikabulkannya segala doa-doa.

Sepuluh ribu meter kini aku berada, sepuluh ribu kilo meter jarakku dari mekkah. Tenang di atas bangku empuk pesawat Saudi Air lines. Aku tak paham persis tipe-tipe pesawat terbang. Pesawat itu sungguh besar. Ruang penumpangnya saja cukup untuk bermain futsal tiga tim sekaligus. Sepuluh bangku berjejer di setiap barisnya. Dengan dua koridor memisahkan untuk hilir mudik para pramugari dan petugas yang berjaga. Untuk lalu lalang penumpang saat naik atau turun. Ataupun saat hendak buang hajat di belakang sana.

Setelah keributan pagi itu, kami pun berangkat juga. Semua sembilan belas orang dalam satu rombongan. Sepuluh orang adalah keluarga bapak Ali, seorang kaya raya keturunan Yaman, beliau menolak disebut keturunan arab. Padahal dilihat dari mana saja, ia tetap orang arab. Kenapa? Aku baru paham setelah pulang dari perjalanan ini. Kuceritakan nanti. Empat orang keluarga bapak Candra, beliau membawa istri dan 2 saudaranya berangkat serta. Pasangan serasi bapak dan ibu Ishak. Dua petugas Travel yang cantik-cantik, Icha dan Windy. Yang terakhir ya diriku sendiri. aku menyebutkan terakhir, lha karena datangnya paling terakhir.

Setelah perjalanan yang panjang dan melelahkan. kami tiba di jeddah. Waktu di bandara menunjukkan pukul setengah dua belas malam. Jam di hapeku sudah menunjuk pukul setengah empat pagi. Bandara Jeddah adalah bandara kecil. Kami turun di lapangan terbang. Menuruni empat meteran tangga pesawat. Kemudian dijemput bis petugas bandara menuju terminal keberangkatan. Untuk mengambil miqot, niat umroh. Untuk mengurus surat-surat imigrasi.

Sampai di terminal imigrasi keributan kembali terjadi. Keluarga pak Ali ada-ada saja acaranya. Selesai ribut dengan istri anak-anak, sepupu dan keponakan-keponakannya. Kembali meributkan petugas. Yang diributkan malah ndak merasa berdosa. Ndak merasa salah. Seenaknya mereka melayani kita. Satu cap untuk satu atau dua petugas. Sehingga pelayanan menjadi lebih lama. Belum lagi disambi nelpon sana sini. Bercanda tiada henti. Entahlah, mungkin style mereka seperti itu. Berprasangka baik saja. Bukankah saat ikhrom, kita tidak boleh marah-marah, memaki-maki, berdepat sana sini. Dalam Ikhrom kita kembali, putih bersih seperti bayi. Bersih di pakaian, bersih di hati.

Setelah dua jam yang menguras tenaga dan kesabaran. Kami melanjutkan perjalanan. Dari dalam bis aku menyaksikan ribut-ribut diluar sana. Kelihatannya juragan potter barang-barang sedang rame berdebat dengan petugas travel. Ribut dengan upah yang tidak sesuai. Ribut dengan perlakuan petugas yang mengacuhkan diri. Jarak Jeddah-Mekkah tak terlalu jauh, butuh waktu sekitar satu setengah jam perjalanan menggunakan bis dengan kecepatan rata-rata seratusan km/jam. Seratus lima puluhan kilo meter. Jangan di bayangkan jalanan di Arab seperti di Indonesia, yang banyak perempatan dan rumah penduduk, termasuk warung kaki lima di kanan kiri jalan. Di arab hanya ada batu dan pasir, kecuali di dalam kota. Ada perumahan dan sedikit taman-taman, selebihnya batu dan gunung batu.

Waktu menunjukkan pukul tiga pagi. Kami berhenti tepat di depan hotel Haneen. Hotel kecil bintang 2 atau 3 ya? Aku tak peduli, Yang penting, aku sudah sampai di mekkah. selama enam hari kedepan kami akan menginap di sana. Sementara keluarga pak Ali menginap di hotel seberang. Jalanan memang macet, Kendaraan di mana-mana. Klakson tiada henti. Lalu lalang, tak mau mengalah. Jalanan juga penuh dengan jamaah yang hendak ke masjid. Padahal subuh masih satu jamman lagi.

Demi melihat jamaah yang bergegas ke masjid, aku tak sabaran juga untuk ikut pergi. Kusegerakan berbenah diri. Menyiram badan dengan air hangat. Agar badan segar kembali. Sebenarnya tidak dianjurkan, takut ada bulu yang rontok. Dendanya lumayan. Satu bulu kita, entah rambut entah bulu badan yang lain, seekor kambing. Betul ndak ustad? Pukul empat kami berkumpul di lobi. Sembilan orang berkumpul di temani seorang ustad muda, bernama Ustad Andi. Setelah semua berkumpul, kami langsung berangkat menuju masjid. Masjidil Kharom.

Keluar dari hotel kami disambut angin mekkah yang panas. Berasa di depan api unggun. Yah, kalau digambarkan suasananya seperti di depan api unggun seperti jaman pramuka dulu. Tak terbayangkan di siang harinya. Lha jam 4 pagi saja panas begitu, apalagi siangnya. Secara geografis, Mekkah memang berada di bumi bagian utara. Di bulan juli seperti sekarang ini, posisi matahari sedang berada di utara equator. Berarti lagi panas-panasnya. Keringnya kondisi mekkah menambah panas dan menyiksanya iklim di sana. Setelah dicek diberita TV, suhu rata-rata di arab saudi, termasuk mekkah berkisar antara 39 sampai dengan 44 derajat celcius.  Tak terbayang seperti apa kondisinya 4000 tahun yang lalu. Saat nabi Ibrohim AS meninggalkan istri dan anaknya di tanah bakkah. Menuruti perintah Alloh. Sedangkan kita di indonesia, yang luar biasa nyaman, masih sering kurang menerima. Kurang ridlo dengan segala macam kelimpahan rejeki yang kita terima, termasuk cuaca dan keadaan alamnya.

Lokasi masjid tak seberapa jauh dari hotel kami, tak sampai tujuh menit berjalan kaki. Kami memasuki masjid melewati pintu Malik Fahd. Salah satu raja saudi. Atau pintu 79. Kami lebih senang menyebutnya pintu kuning. Karena di dalam sana tertulis plang berwarna kuning. Memang sebagian pintu masjid punya nama. Sebagian menggunakan nama raja arab. Sebagian menggunakan nama yang lain, seperti pintu umr, pintu billal, adalagi yang dinamai pintu mayt, karena pintu itu dipakai untuk keluar masuk jenazah saat akan di sholatkan. Oh ya, hampir setiap selesai sholat selalu ada shalat jenazah. Jadi jkalau teman-teman berkesempatan berziarah ke sana, ikutlah sholat jenazah. Insyalloh akan sangat berguna.

Pelayanan pemerintah saudi di masjidil kharom harus diacungi jempol. Secara umum kondsi masjidil Karom  sangat bersih dan rapi, lengkap dengan eskalator hingga kita tak perlu berjalan kaki kalau ingin menuju lantai atas. Meski di luar panas luar biasa, di masjid berasa sangat nyaman, ada puluhan kipas angin yang terus berputar, ada puluhan diffuser yang terus mengalirkan udara dingin yang memanjakan jamaah. Tempat wudlu dan toilet juga bersih. Bagaimana tidak, ada ratusan petugas yang senantiasa bekerja di sana yang stndby setiap waktu. Ada yang memberikan kantorng plastik untuk sandal,untuk kita simpan sendiri. Ada yang menyapu, ngepel, serta mengganti air zam-zam setiap waktu agar bisa dinikmati setiap hari.

Sesampai di masjid, iqomat sudah berkumandang. Ustad Andi memilihkan kami tempat untuk sholat subuh. Jamaah pria di sebelah kanan, di sebelah kiri jamaah putri. Kami di batasi koridor tempat orang berlalu lalang, dua puluh meter dari pintu masuk. Berdekatan dengan gentong-gentong berisi air zam-zam. Entahlah, aku berasa aneh, perasaan ini bercampur-campur. Berasa sadar, berasa mimpi. Tak bisa aku mengerti. Mengapa jadi begini?

Selesai shalat, Ustad Andi mengumpulkan kami, mengomando kami untuk memulai thowaf. Aku tak terlalu mendengarkan. Aku semakin tak berkonsentrasi. Gelisah luar biasa. Tak sabar ingin bertemu dengan ka’bah. Tak sabar untuk melihat bangunan itu.

Kami pun berjalan beriringan, terus masuk ke Masjidil kharom. Saat ka’bah terlihat di depan mataku, tangisku pecah. Yang terjadi-terjadilah. Air mataku meleleh begitu saja. Dadaku terasa amat penuh, ingin meledak. Nafasku sesak. Tenggorokanku tercekat. Agak lama aku sesenggukan.

Kawan, Jikalau engkau melihat ka’bah untuk pertama kali. Engkau pun akan terharu. Engkau akan menagis. Rasanya seperti seorang anak yang terpisah dengan ibunya setelah sekian lama. Tak sabar ingin menangis dipangguanya. Rasanya seperti seorang ibu yang terpisah dari buah hatinya. Tak sabar ingin merengkuhnya. Tak sabar ingin memeluknya erat.     

Komet itu pun meleleh jua. Terbakar oleh pesona pusat jagat raya. Mengikis semua kotoran yang membeku dalam kegelapan. Membuka kembali inti komet yang lama tak mendapatkan cahaya. Agar saat kembali nanti penuh dengan cahaya. Meski kecil tak terlihat, tak jadi mengapa.

Aku berdoa, semoga air mata ini pun membawa pula dosa-dosa yang selama ini kuperbuat. Besar atau pun kecil. Disengaja ataupun tidak. Semoga Alloh membersihkan hatiku dari segala kekotoran. Seperti matahari mengikis semua kotoran beku di permukaan komet itu. Semoga Alloh senantiasa memberikan hidayah kepadaku, seperti matahari yang senantiasa menyinari bumi. Semoga Alloh senantiasa menunjukkan bahwa yang baik adalah baik, dan diberikan kekuatan untuk mengerjakannya. Serta menunjukkan bahwa yang buruk adalah buruk, dan diberikan kekuatan untuk meninggalkannya. Semoga, aku yang sangat kecil ini, dengan segala kecilnya hal-hal yang kuperbuat bisa menjadi jalan bagi sebanyak-banyaknya orang agar bisa melakukan kebaikan, agar hidup dalam kehidupan yang membaikkan.   

Istirahat di Bukit Marwa setelah tahalul pada umroh pertama