Minggu, 18 November 2012

Dilema Imam : Bekam ke-4


Kamis pagi yang dingin. Entah sudah berapa lama alarm jam di berdering. Alunan murottal di masjid sebelah  sudah berakhir. Berganti adzan subuh. Gontai aku bangun. Meregangkan otot sebentar. Kemudian mengambil air wudlu. Sholat subuh. 
Sudah cukup lama aku tinggal di karawang. Konsekwensi  pekerjaan, mengharuskan kerelaan untuk berpindah-pindah tempat tinggal. Ada susahnya, tentu juga ada senangnya kawan. Warna warni. Selalu begitu. Puncaknya, beberapa minggu ini.  Benar-benar minggu-minggu yang sangat melelahkan. Jakarta-karawang-Semarang-gombong-jakarta-Semarang-Jogjakarta-Karawang-jakarta. Super melelahkan.
Semoga Alloh selalu menjagaku dalam kebaikan dan kesehatan, menjauhkanku dari segala mara bahaya.
Selepas sholat aku melirik kalender di dinding.
Ah.. sudah bertambah satu tahun lagi.” Gumamku.
Yah... hari ini bertambah satu tahun. Satu tahun bertambah lagi sejak ribuan tahun lalu. Sejak  rosululloh berhijrah. Berpindah dari mekah ke madinah. Berpindah dari mekkah yang penuh kenangan ke madinah yang penuh harapan. Harapan tentang kemungkinan da’wah yang lebih baik.
Disadari atau tidak, sebenarnya tiap-tiap dari kita juga sedang berhijrah. Berhijarah dalam ruang dan waktu yang berbeda.  Dari detik ke detik berikutnya. Dari tempat yang satu ke tempat berikutnya. Bayi, kecil, dewasa, kemudian menjadi tua. Dari Jakarta-karawang-Semarang-gombong-jakarta-Semarang-Jogjakarta-Karawang-jakarta. Hijrahku beberapa hari ini.
Tahun baru ditandai dengan tanggal satu. Ditandai dengan tanggal merah. Berarti kerjaan juga libur.
 Waktunya rehat. Istirahat. Waktunya bekam.

*******************************************************************************

Rahmat sudah sejak tadi nongkrong di depan pintu. Lama dia menunggu pintu dibuka.
Bukankah ini masih jam 8 pagi. Semangat sekali dia.
Aku buru-buru mandi. Sebel sekali mendengarnya ngomel-ngomel.
Selepas sarapan kami pun berangkat. Meluncur ke cibitung tempat imam tinggal. Kira-kira butuh sekitar tiga perempat jaman berkendara dengan motor. Kalo jalanan lancar bisa cepat sampai, namun kalau macet dapat bonus setengah jam.
Akhirnya kami sampai  ke rumah imam. Imam sedang menangani seorang pasien. Sibuk sekali. Mondar-mandir sana-sini.  Imam menemui kami –masih-dengan dahi berkeringat. Ia menyalamiku. Menyalami adikku. Mempersilahkan kami duduk. Kemudian masuk kembali ke dalam. Ke ruangan praktek.
Selesai mengobati, imam menemui –lagi- kami berdua. Kemudian mengambil sebatang rokok dan menyulutnya. Dalam dia menghisap rokok. Mungkin bagi –mereka- para “ahli hisab” (perokok –red). Rokok adalah obat mujarab selepas berlelah-lelah. Makan takkan kenyang sebelum ditutup dengan merokok.
“Buku baru mana boz?” imam memulai pembicaraan. Nampak menikmati filternya.
“Belum ada om, baru sabtu ini ada pameran”
“InsyAlloh aku carikan deh...”
Imam memang jebolan pesantren. Tapi semangat belajarnya ndak pernah kendur. Ia selalu ingin tau. Selalu haus akan info terbaru tentang dunia herbal. Coba saja dia mau belajar internet. Mungkin akan lebih tau banyak lagi. Paling tidak pamornya akan naik. Lebih mentereng gitu.
 Asyik kami mengobrol, mb Nur –istri imam- datang. Biasa, namanya ibu-ibu kan hobinya ngumpul. Share informasi. Update kabar terbaru. Ia nampak sumringah, riang seperti biasanya. Menyapa kami berdua. Sibuk bercerita dengan imam, melaporkan kejadian barusan. Update status bersama ibu-ibu tetangga perumahan.
Sembari bercerita, mb Nur menggoyang-goyangkan badannya ke kanan dan ke kiri. Seorang bayi lucu terlelap di gendongan. Nyaman dipelukan mb Nur. Ternyata bukan fahri. Jagoan imam.
Memang betul kawan, fahri telah meninggalkan  kami semua. Beberapa waktu yang lalu, selepas kunjungan kami di hari sabtu, Fahri mendadak menolak makan dan minum. Semua dimuntahkan. Badannya panas tinggi. Kejang sepanjang sore hari.
Inginnya imam bisa bersama fahri lebih lama. Namun kehendak Alloh berbeda. Rupanya, Alloh menyayangi fahri.   Ia memanggil fahri lebih dulu. Mengambil kembali titipan yang telah dijaga dengan amat baik oleh imam sekeluarga. Dan amanah itu dijaga imam dan mb Nur dengan sempurna. Tanpa penyesalan, tanpa keluhan, tanpa kemarahan. Yang ada hanya kelegaan. Hanya keikhlasan.
Dari cerita Imam, beberapa saat setelah dibawa kerumah sakit, fahri menghembuskan nafas terakhir. Cairan dari otak fahri mengalir deras. Tak cukup ditampung dilambung. Meluap. Kemudian mengisi rongga paru-paru. Kemudian menghambat pernafasannya. Setelah hampir tiga tahun perjuangan yang berat, Fahri akhirnya berpulang ke haribaan-Nya. Jika itu yang terbaik untuknya, maka sudah seharusnya diikhlaskan saja.

*********************************************************************************

“Bos, sepertinya memang lagi banyak kerjaan ya?” imam asik memompa alat bekam.
“Iya ini, muter-muter terus... “
“Wis koyo gangsing lah om” aku menyeringai. Sedotan di leher terasa amat sakit. Ngilu.
“Itu tadi anake masku,” Imam menyelesaikan sedotan terakhir. Tinggal ditusuk jarum.
Aku menyeringai. Pegal di seluruh punggung.
“Saya bawa ke sini saja. Mesaaken, anake masku banyak.
“Saya bawa ke sini saja, ngge konco bojoku
“Nggo anget-anget umah kene..”
Imam diam. Ada kelegaan di sana.  Semua berjalan apa adanya. Sederhana. Sesederhana  hati imam.   
Aku diam. Eh nyengir ding... Sakit.  
Hanya suara “cekrik-cekrik” yang terdengar.
“Mahasuci Alloh yang menciptakan makhluk sekehendak-Nya.”
“Mahasuci Alloh yang mengambil kembali amanat sesuka-Nya.”
“Kita ini ndak pernah minta dilahirkan dari orang tua yang mana pun om..”
“Keponakanmu pun begitu om, ia tak pernah tau dari rahim manakah ia akan dilahirkan, dan siapakah yang akan merawat dan membesarkan”
 “Sekarang ia menjadi amanat untuk panjenengan om, harus dijaga baik-baik.”
“Harus diperlakukan sama seperti dahulu om sekeluarga merawat fahri”
Aku tak bisa melihat imam mengangguk. Aku yakin imam jauh lebih paham dalam urusan seperti ini.
Sunyi lagi....
Kawan...
Urusan kehidupan memang –seharusnya-  sederhana. Kitalah yang membuatnya rumit. Kitalah yang membuatnya bagai benang kusut.  Ruwet tak karuan. Tidak ada yang benar-benar begitu sulit. Jika kita menggunakan pikiran yang jernih dan senantiasa berhati tulus dan bersih, maka segala akan terlihat terang benderang.
Bukankah Alloh, Tuhan Yang Maha Kuasa takkan pernah membebankan sesuatu apapun melebihi kemampuan kita? Jikalau sesuatu terasa lebih sulit, Itu semata-mata karena Alloh menyayangi kita. Karena Alloh ingin menguji kita, untuk kemudian menjadikan kita manusia yang lebih baik lagi.     
Bagi yang Alloh karuniai anak dari rahimnya sendiri, maka berbahagialah. Kemudian teruslah bersyukur, dan jangan sekalipun terlena. Didik dan besarkan dengan segenap jiwa. Sebagai ujian atas besarnya keimanan kita sekaligus Sebagai amanah dari Yang Maha Kuasa, yang harus selalu dijaga, yang suatu saat harus dipertanggung jawabkan di hadapan pemilik-Nya, Alloh Subhanahu wata’ala.
Untuk yang belum dikaruniahi Alloh, tak perlulah bersedih hati. Teruslah berikhtiar. Teruslah bersabar. Segala sesuatu ada waktunya masing-masing. Karena Alloh hanya memberikan amanah kepada orang-orang yang dipercayai-Nya. Kalau meminjam istilah anak muda, biarkan segalanya terasa indah pada waktunya.  Maka selama menunggu, teruslah berprasangka baik, teruslah berbuat baik.
Sejatinya, Semua makhluk di dunia ini adalah kepunyaan Alloh. Ciptaan Alloh.  Memiliki anak ataukah tidak. Anak angkat ataukah anak kandung. Semestinya sama. Bersikaplah seperlunya saja, tak perlulah berlebihan. Tak perlulah terlalu dipermasalahkan. Apalagi saling menyalahkan. Sedikitpun, kita tidak pernah tahu apa yang Alloh skenariokan tentang hidup kita.   
Maka, Anak-anak yang –sudah- dalam penjagaan kita, baik yang dilahirkan oleh istri kita, ataukah orang lain, adalah amanah dari Alloh Subhanahu wata’ala. Haruslah dijaga sebaik-baiknya. Tak boleh dibeda-bedakan.
Bukankah, niatan hidup kita adalah berbahagia? Dan kebahagiaan itu, bukankah kita sendiri yang paling tau rasanya? Maka mengapakah kita masih membutuhkan persetujuan oranglain untuk berbahagia?
 Jika niat kita baik, cara-cara yang kita pergunakan benar, insyAlloh, Alloh akan memberikan kebaikan kepada kita. Mengaruniakan kebahagiaan hidup. Menganugerahkan kesejahteraan kehidupan di dunia dan di akhirat.

Saat Alloh mengabulkan doamu, Ia sedang menguji imanmu....
Saat Alloh tidak belum mengabulkan doamu, Ia meminta kesabaranmu...
Saat Alloh mengabulkan yang bukan doamu, (yakinlah) Ia telah menganugerahkan yang terbaik untukmu..
  
 




Jumat, 28 September 2012

Catatan Perjalanan Umroh: Hajar Aswad


“Syeh.. besok pagi kita tahajjud ya?”
“Terus ke hajar aswad”
“InsyaAlloh syeh” aku menjawab mantab.
Malam ini akhirnya bisa beristirahat,setelah perjalanan yang panjang dan melelahkan. Jakarta-singapura-Riyad-jeddah-mekah. Langsung dilanjut dengan umroh. Sedari pagi hingga kembali pagi. Jam di hape sudah menunjuk pukul 23.00 waktu mekkah. Paling tidak berarti sudah pukul 3 pagi waktu tanah air. “Jetlek”, Ngantuk luar biasa.

Ini cerita tentang Hajar aswad kawan. Engkau tentu sudah tahu bukan tentang hajar aswad? Aku yakin kalian sudah jauh lebih tahu. Tapi aku tetap ingin menceritakan hajar aswad padamu. Hajar Aswad adalah batu berwarna hitam kemerah-merahan, terletak di sudut selatan, sebelah kiri pintu Ka’bah. Ketinggiannya 1,10 m dari permukaan tanah. Ia tertanam di dinding Ka’bah. Hajar 'Aswad merupakan batu yang berasal dari surga. Nabi Ibrahim lah yang meletakkan hajar aswad saat membangun kabah. Dahulu kala, batu ini memiliki sinar yang terang dan dapat menerangi seluruh jazirah arab. Namun semakin lama sinarnya semakin meredup dan hingga akhirnya sekarang berwarna hitam. Batu ini memiliki aroma wangi yang unik dan ini merupakan aroma alami yang dimilikinya semenjak awal keberadaannya.

Mencium hajar aswad adalah hal yang dicontohkan oleh nabi Muhammad SAW. Namun sebagaimana dikatakan Umar Ibn Khatab RA:

“Sesungguhnya aku tahu bahwa engkau (hajar aswad) tidak dapat mendatangkan bahaya, tidak juga manfaat. Kalau sekiranya aku tidak melihat Rosululloh ShollAllohu alaihi wasallam menciumu, niscahya aku tidak akan menciummu.”

Hajar Aswad

“BismiKa Allohumma ahya wabismiKa amut”
“Dengan namamu ya Alloh aku hidup, dan dengan namamu pula aku mati”
Ustad andi sudah tidur di dipan sebelah, kecapean membimbing kami seharian. Aceng masih sibuk dengan hp nya. Aku menguap. Kemudian bablas. Tertidur pulas.

............................................................

Hapeku berdering nyaring. Alarm pagi berbunyi. Enggan aku membuka mata. Masih pegal-pegal di sekujur badan. Tapi bukankah sudah pernah kukatakan kepadamu. Rasa sakit mengalahkan banyak hal. Namun rasa rindu mengalahkan banyak rasa sakit. Apalagi rasa kantuk?
Jam menunjuk pukul 02.30. Masih pagi.  

Aku membuka selimut. Bergegas ke kamar mandi untuk buang hajat dan bersih-bersih. Air hangat dari shower sungguh menyegarkan. Semua rasa kantuk hilang seketika.

Setengah jam kemudian semua siap. Aceng memekai setelan thob putih khas orang arab. Aku memilih baju koko putih oleh-oleh simbok saat menjenguk cucu pertamanya, Najif –anak masku- di jakarta.   Pas di badan. Berasa simbok sama bapak juga ikut ke sini.  Aku dan aceng bergegas ke masjidil harom. Atau ustad andi dan orang-orang dari indonesia biasa menyebut  harom saja. Kelihatannya ustad andi begitu kelelahan. Kami meningalkan beliau di kamar. Nanti juga menyusul.  Lima menit kemudian kita sampai di masjid. Langsung meluncur ke tempat favourit pelataran tangga babul malik fahd. Dari sini ka’bah sungguh terlihat sangat indah.

Aku memilih sholat tahajud di area towaf. Agak menjorok ke tengah.  Selesai delapan rokaat dan berdo’a. Aku tak beranjak dari tempat dudukku. Hanya mengubah posisi. Memeluk kedua lututku. Menyaksikan ramai orang bertowaf. Mengagumi ka’bah. Yang semakin dilihat, semakin kita akan terperangkap. Semakin sulit untuk berpaling darinya.

..........................................................................

Kira-kira setengah jam sebelum subuh. Aceng mengajakku towaf.
“Waktunya towaf Syeh”
Aku menjawab dengan anggukan. Menyambut uluran tangannya. Berdiri. Segera berjalan. Merangsek ke linggakaran towaf. Melebur dengan para jamah. Layaknya para planet di jagat raya. Layaknya elektron mengitari pusat masa.

Kawan, seandainya engkau tahu rasanya towaf. Mungkin engkau akan memilih untuk terus towaf. Ada kenikmatan tak terkatakan yang engkau rasakan saat terus berputar. Ada energi yang seakan membawamu dalam gaya sentrifugal. Ada pesona tak tergambarkan saat terus berputar mengelilingi ka’bah.

Selesai sudah tujuh putaran yang menyenangkan. Padahal menurutku masih lima putaran. Aceng kekeh kita sudah tujuh putaran. Ikuti saja dah, memang beliau yang menghitung jumlah putaran selama towaf. Aku sibuk memperhatikan ka’bah dari ujung satu ke ujung yang lain. Dan tentu saja, si sendu menawan.  He he he.

 Kami tepat berada di sisi rukun yamani di putaran saat adzan subuh selesai dikumandangkan.  Berarti tanda akhir dari towaf kami. Tepat di arah hajar aswad kami mengucap doa sembari melambai kemudian mencium tangan, atau mengusapkan ke dua tangan ke wajah dan seluruh badan.
“Bismillah, Allohu Akbar”
 “Bismillah, Allohu Akbar”
“Bismillah, Allohu Akbar”

Kami berhenti tepat di arah pojokan hajar aswad. Tak beringsut, kemudian sholat sunnah qobliyah subuh. Perlahan tapi pasti. Orang-orang yang towaf secara berangsur-angsur berhenti. Yang belum selesai bisa dilanjut setelah shalat subuh nanti. Sementara jamaah membentuk shof sholat. Para askar mulai “mengusir” jamaah perempuan ke arah belakang. Bukan rasisme, tapi memang kata nabi. Sebaik-baik shof jamaah pria adalah di depan. Sedangkan sebaik-baik shof perempuan adalah di belakang. Namun ada pengecualian di masjidil harom,  jamaah pria dan wanita boleh bercampur.  Namun untuk area towaf dan shof paling depan diisi jamaah pria.

Di masjidil kharom setiap orang berlomba-lomba untuk sholat sedekat mungkin dengan ka’bah. Termasuk saya. kami berdiri berdempet erat. Berlekatan satu sama lain. Tak ada ruang untuk lewat sekalipun. Kaki bertemu kaki, siku bertemu siku. Bahkan lebih rapat lagi. Semua ingin dekat dengan ka’bah. Ingin mendapat keutamannya. Aku dan aceng berdiri di shof ke tujuh atau delapan  lurus di belakang hajr aswad.

Imam pagi ini syeh sudais, itu lho imam masjidil kharom yang murotalnya sering kita dengar di MP3 atau di radio-radio. Syeh sudais punya kemerduan suara yang luar biasa. Kekhasan syeh sudais adalah sering menangis saat membaca Al qur’an. Kadang –seperti- terdengar sesenggukan.

Aku terlena dengan bacaan syeh sudais. Sesekali ikut tersentuh, saat bertemu dengan ayat yang –karena sering dengar- tau artinya. Dan aku terpana dengan keindahan ka’bah. Sekali ini aku baru melihat hajar aswad secara langsung. Tak ditutupi orang-orang besar yang berebut mencium hajar aswad. Sadar atau tidak, aku melambatkan gerakku saat menjelang ruku dan sujud dari duduk tawaruk, hanya demi melihat hajar aswad lebih lama.

Begitu selesai salam, Orang-orang  di depan kami berebut mencium hajar aswad. kami serentak berdiri. Maju ke depan, ke arah hajar aswad.  Aceng punya strategi sendiri agar kami berhasil mencium hajar aswad. Kami meringsek ke arah pintu ka’bah. Ke multazam. Kemudian masuk dari arah kaki askar yang menjaga pintu ka’bah. Kata aceng sejauh ini itu strategi yang paling efektif untuk orang-orang kecil seperti kita. Sangat sulit jika masuk lewat sisi rukun yamani. Apalagi lurus dari arah garis star towaf.

Pelan tapi pasti. Aku meringsek masuk. Tubuh kecil ini berguna, sekaligus rentan bahaya. Aceng menarikku masuk. Ia sudah di depan hajar aswad. Sementara aku masih tertahan. Ada siku tangan yang besar tepat menahan ulu hatiku. Rasanya ngilu sekali. Aku –nyaris- sesak napas.
“syeh ayo masuk!!” aceng berteriak kencang.
“Sebentar syeh, dadaku sakuit sekali”
aku sebentar-sebentar menggeleng. –hampir-hampir Tak kuat menahan sakit.

Dan dalam hitungan detik. Aku sudah berada tepat di depan hajar aswad. Kedua tanganku tepat menjeplak di bingkai perak hajar aswad. kemudian aku “bengong” di sana. Aku melihat hajar aswad dari jarak yang teramat dekat. Tiba-tiba suasana menjadi sangat tenang. Sunyi senyap. Aku seperti di tempat lain dari dunia ini. Sampai sebuah tangan mendorongku ke depan, tepat ke arah hajar aswad. Dua atau tiga kali aku mencium hajar aswad. Secepat aku melepaskan bibir dan tanganku dari batu mulia itu. Aku tersadar kembali.

“Syeh... TARIIIIIKKKK!!!” Aku berteriak sekencang-kencangnya.

Seketika itu juga, aku terlempar dari posisiku semula. Entah aku melewati punggung orang lain. Entah dipapah di atas kepala orang-orang seperti yang sudah aku lihat sebelumnya saat umroh kemarin siang. Tau-tau aku sudah beberapa meter jaraknya dari hajar aswad. Dengan aceng disampingku. Kemungkinan besar dia yang menariku. (Iya kan Syeh?) Bukankah badanku kecil, tak sampai 160 cm tingginya. Jadi sangat mudah dilempar oleh orang-orang asing super besar yang sedang berebut mencium hajar aswad.

Lewat bawah kaki askar berpakaian ala pramuka itu kami lewat saat mencium hajar aswad


Aku minta istirahat sebentar, dadaku masih ngilu. Kami berjalan menuju multazam untuk berdoa, kemudian bergeser ke arah depan maqom ibrohim. Sholat dua rokaat kemudian berdoa di depan ka’bah. Tampak bapak-bapak, ibu-ibu di kanan kiri kami. Semua berdoa ada yang menagis sesenggukan. Ada yang berteriak. Ramai sekali di depan sini.

Masih belum selesai rupanya. Dengan napas tersengal,  masih ngo-sngosan,  kami berjalan menuju hijr ismail. Area setengah lingkaran di sisi timur ka’bah, antara rukun iraqi dan rukun syam. Sisi kebalikan rukun yamani dan hajar aswad. (kalau saya keliru mohon diluruskan ya brow?). Dikatakan bahwa, hijr ismail adalah bagian dari ka’bah. Sholat di Hijir Ismail  sama dengan sholat di dalam ka’bah, seperti disebutkan dalam hadits, ketika Aisyah RA minta izin untuk masuk kedalam ka’bah untuk sholat di dalam ka’bah, Rasulullah membawa Aisyah RA ke hijir Ismail dan berkata “Sholatlah kamu disini kalau ingin sholat didalam ka’bah karena ini termasuk sebagian dari ka’bah.”(HR Turmidzi)

Sekali lagi, tubuh kecil ini berguna sekaligus rentan bahaya. Kami masuk melewati celah kecil dari sisi utara. Langsung menuju dinding ka’bah. Kami shalat bergantian dengan aceng. Saling menjaga satu sama lain. Kemudian mencium dinding ka’bah dan berdoa di sana. Aku sempat mempersilahkan seorang nenek di sana. Ada ruang kosong dekatku.

“ummi.. tafadlol ummi”
(ummi.. silakan ummi)

Tawaranku hanya dibalas tatapan heran. Entah karena tak mengerti maksudku, entah karena tawaranku tampak aneh. Tak berapa lama kemudian kami menepi, dan keluar lagi lewat jalur kami masuk. Gantian dengan yang lain.


Area setengah lingkaran yang dibatasi dinding putih setinggi pundak orang dewasa adalah hijr ismail


Keluar dari hijr ismail, kami kembali ke tempat fovourit kami. Pelataran tangga babul malik fahd. Masih di lantai putih, dekat kran-kran air zam-zam.  Sebotol air zam-zam kami habiskan sekaligus. Masih nambah sebotol lagi. Masih ngos-ngosan. Keringat membasahi pakaian kami. Masih ngilu di dadaku. Kemudian duduk menjeplak. Duduk santai. Melihat orang-orang towaf. Mengagumi baitulloh. Sungguh ini kenikmatan yang luar biasa. Sungguh diri ini merasa sangat beruntung hari ini. Maka nikmat tuhanmu yang manakah yang kamu dustakan?

Maka berbahagialah orang-orang yang diberikan Alloh kesempatan untuk mengunjungi Baitulloh serta mencium hajar aswad. Maka mulialah orang-orang yang memberikan kesempatan kepada sebanyak-banyaknya saudara seiman untuk bisa mengunjungi rumah Alloh.

Bukan kebahagiaan yg membuat kita bersyukur.  Tapi (besarnya) rasa bersyukurlah yang membuat kita menjadi lebih berbahagia.

Sedang Besarnya kesyukuran kita sebagian bisa diukur dari besarnya rasa terima kasih kita kepada Alloh, dan sebagian besarnya lagi dapat diukur dari besarnya yang kita bagi kepada orang lain.    

Tak terasa, Langit mekah mulai terang. Merah merekah. Burung-burung mulai beterbangan di atas masjidil kharom. Lalu lalang di antara menara-menara masjid. Para jamaah mulai meninggalkan masjid. Kami pun begitu. Waktunya pulang. Kembali ke hotel. Mengisi tenaga. Bersiap untuk petualangan berikutnya.

Bersama Aceng di pelataran tangga babul malik fahd. 
Terima kasih kepada brother afganistan yang memfoto kami




Sabtu, 22 September 2012

Catatan perjalanan Umroh: Keajaiban-keajaiban


Sebenarnya, usai shalat duhur  aku  tak ingin buru-buru pulang ke hotel.  Ada shofa marwa yang belum aku datangi. Tempat-tempat istijabah tak boleh aku lewatkan begitu saja. Inginnya puas-puasin di masjidil kharom, tetapi panitia juga harus dihormati. Ada makan siang yang menunggu di hotal. Tak enak sudah disiapkan sedari tadi. Siang kemarin, kami dapat komplen karena pulang ke sorean. Keasikan di masjid, sampai lupa ditungguin panitia.

Baiklah, waktunya pulang dulu ke hotel. Nanti juga bisa mbalik lagi ke masjid. Aku pun bergegas. Berjalan cepat. Melewati tangga babul maut, Aku melirik jam besar di menara zam-zam,  Pukul 13.25.  Menerobos lantai towaf berwarna putih bersih. Udara di dalam masjid terasa panas, namun lantai granit itu terasa amat dingin. Seputih hati ini Engkau telah bersihakan, sedingin pikiran ini saat duduk termangu memandangi  rumah-Mu.  aku memilih lewat depan maqom ibrohim. Sebuah bangunan kecil di dekat pintu ka’bah  berupa sebuah batu dengan cerukan bekas dua kaki nabi ibrohim. Inginnya bisa towaf lagi. Kakiku berjalan ke arah babul malik Fahd, tapi kedua mataku tak juga berpaling dari ka’bah. Sebentar ya, aku mau makan dulu. Nanti aku akan datang lagi. Gumamku pada ka’bah.

Maqom Ibrohim-Tempat berpijaknya nabi Ibrohim AS saat membangun ka’bah

Perjalan panas sepanjang masjid ke hotel cukup menyiksa. Cuaca Mekkah bulan-bulan ini memang sedang tidak bersahabat. Panas menyengat. Perjalanan 5 menit pun terasa sangat lama. Panas 43 derajat celcius sering kali dihembusi angin gurun yang panas juga. Berasa di depan perapian saja. Sepanjang kanan kiri jalan nampak pembangunan sedang giat-giatnya. Banyak hotel-hotel bintang tiga nampak dikosongkan. Diruntuhkan. Di sisi lain bangunan-bangunan baru nampak mulai berdiri kokoh. Sebagian bangunan perluasan masjid, sebagian lagi untuk membangun hotel baru yang lebih tinggi, yang lebih megah lagi. 

Angin dingin menyambutku saat membuka pintu hotel. Lobi hotel nampak rame. Ternyata bapak dan ibu ishak juga ada di sana. Mereka sedang nampak bedebat, bersitegang dengan petugas hotel. Ternyata kunci hotel pak ishak tidak ada di loker penitipan. Bapak ishak merasa belum membawa kunci, sementara petugas hotel kekeh sudah ada yang mengambil kunci kamar beliau. Tak mau ribut lebih lama,  solusi di cari. Sudahlah, yang penting kamar bisa dibuka dahulu. Petugas hotel akhirnya mau membuka pintu kamar dengan kunci cadangan, namun menolak memberikan kunci cadangan kepada mereka. Jadilah keributan kecil terjadi. Ibu terlihat marah, hendak mengejar petugas. Sedikit memaki. Aku mengejarnya, memegang pundak ibu, menenangkan, meminta beliau beristighfar.
“Kita di tanah harom ibu, jangan marah.”
“Sudahlah, nanti juga kuncinya ketemu”
Ibu  terdiam. Lirih beristighfar. Wajah kesalnya belum juga hilang.
Tiba-tiba bapak berhamdalah.
“Kuncinya sudah ketemu mas”
“masyAlloh, Saya ndak tau, tiba-tiba ada di kantong baju”
“Saya yakin belum mengambilnya, tadi kantong saya kosong”
“Sekarang tau-tau sudah ada di sini”
Aku lega, bapak lega. Ibu masih diam. Jengkelnya berubah jadi malu. Menyesal sudah marah-marah.
Selesai urusan kunci, aku kembali ke kamarku. Istirahat sebentar, kemudian bersiap kembali ke masjid.
Itulah “Keajaiban pertama”.

Selesai sholat asar aku menyempatkan towaf. Selepas asar adalah waktu yang pas untuk towaf, Selain waktu dhuha. Udara tidak terlalu panas. Masjid juga belum terlalu ramai. Para jamaah biasanya datang satu setengah  jam sebelum maghrib, sekitar pukul setengah 6 sore. Sekarang ini masih jam 4 sore. Towaf selesai, aku berdoa  di belakang maqom ibrohim.  Sembari menunggu maghrib aku iseng berjalan-jalan di masjid. Ingin menikmati masjid di sepanjang sudutnya. Di sebuah sudut masjid aku melihat sekumulan arab badui sedang berkumpul, sibuk membagi kurma ke wadah-wadah. Kurma kecil berwarna kuning kecoklatan, seukuran jempol tangan orang dewasa. Sepertinya enak, pikirku. Coba bisa merasakannya. Aku terus berjalan, berkeliling, sambil berharap bisa mencicipi buah kurma. Baru sepuluh langkah berjalan, ada kerumunan, seorang pria arab sedang sibuk membagikan korma kepada jamaah. MasyaAlloh, belum juga doa itu diucapkan, sekarang korma itu sudah di depan mata. Aku menerima pemberian itu dengan senang hati. Aku diberi tahu ustad, bahwa kita tak boleh menolak pemberian di masjidil kharom. Nanti hilang berkahnya, katanya.

Lelah berkeliling, aku berhenti di arah malik fahd, masih di lantai putih area towaf  dekat keran zam-zam. Hari  semakin sore, jamaah semakin banyak, berdesakkan di sana-sini. Macet di setiap pintu masuk.
Aku duduk bersila, di samping kiriku seorang turki sedang sibuk membaca. Di sebelah kanan, mungkin orang pakistan atau bangladesh, sorbannya terlihat khas. Menunggu maghrib, aku membuka mushaf yang sedari tadi aku baca, masih ada beberapa lembar lagi, untuk satu jus target hari ini. Tiba-tiba seorang bocah kecil seumuran 8 tahunan berdiri di depanku. Menyodorkan sewadah kecil buah korma. MasyaAlloh, bukankah itu kurma yang tadi. Korma kuning kecoklatan yang aku inginkan. Aku mengambil beberapa buah. Cukup untuk sekedar mencicipi, cukup untuk tau rasanya.
Dan aku memutuskan sebagai “Keajaiban kedua”.
Sebenarnya masih ada banyak keajaiban yang lain. Mungkin banyak untuk diceritakan.

Bocah-bocah seperti ini yang memberikan kurma kuning kecoklatan untukkku


Maha Suci Alloh yang mempahalai ribuan kali lipat pahala orang-orang yang beribadah di masjidil kharom.  Tanah itu adalah tempat tinggal orang-orang pilihan Alloh. Tempat yang didoakan para nabi pilihan Alloh. Jauh hari sebelum berangkat, aku berharap Alloh mempahalai ibadah kita sama seperti mempahalai orang-orang yang beribadah di masjidil kharom. Biarlah itu hadist nabi, tapi jakalau Alloh mau? Kenapa tidak? Dan setelah pulang pun. Aku berharap begitu, bukan agar orang-orang tidak perlu menziarahi rumah-Nya. Akan tetapi agar semua orang yang karena memang keterbatasannya, tidak bisa mengunjungi ka’bah bisa tetap  meminta sekhusu’ itu kepada-Mu.

Sering kali kita mendengar cerita-cerita dari orang-orang yang pergi ke sana, - haji entah umroh- selalu membawa cerita yang berbeda-beda. Katanya perbuatan kita di tanah air langsung di balas di sana. Katanya begitu berdoa langsung dikabulkan di sana. Katanya ini katanya begitu. Semua tentang yang ajaib-ajaib.
Menurutku statemen ini benar adanya, bukankah Alloh berfirman dalam Al Qur’an.
“Ud’uni astajiblakum”
“Berdoalah niscahya akan Aku kabulkan.”

Kita sering kali lupa dengan ayat ini. Alloh menyuruh kita berdoa, agar Ia mengabulkan doa-doa yang kita inginkan. Lalu kenapa –seperti- ada perbedaan antara ketika di tanah kharom dengan di tanah air? Tentu saja jelas berbeda. Tanah kharom adalah tanah yang diberkahi. Tanah yang didoakan oleh nabi ibrohim, kekasih Alloh. Sedangkan kita di tanah yang entah berantah?

Apabila kita amati,  di luar berita-berita kurang menenangkan yang kita dengar, secara umum orang-orang di arab begitu taat beribadah. Begitu adzan berkumandang di masjid, semua kegiatan berhenti. Toko-toko tutup. Tak ada aktivitas selain sholat. Bahkan setelah iqomat, towafpun berhenti. Semua orang berhidmat kepada Alloh. Menyembah kepada-Nya. Pun demikian juga, saat kita berada di masjidil kharom atau masjid nabawi pada kususnya. Sesiapapun  yang pernah kesana tentunya merasakan sesuatu yang berbeda. Secara umum, Kita jadi lebih  rajin beribadah –tentunya dengan bandingan dari di tanah air-. Sholat tepat waktu. Tadarus. Rajin bersedekah. Berkelakuan baik. Tidak menggunjing. Tidak bertengkar. Tidak melakukan hal-hal tercela. Bukankah sedari awal niat kita adalah untuk beribadah. Bukan untuk berbelanja. Apalagi untuk membanggakan diri kepada tetangga.

Diakui atau tidak,  hal-hal baik yang kita lakukan, tentu akan mempengaruhi hati dan pikiran. Saat kita berbuat baik. Kita jadi berasa lebih tenang. Berasa sejuk. Betapapun panasnya udara Mekkah, tetap berasa nyaman di badan dan pikiran. Saat hati dan pikiran kita merasa tenang, maka kita menjadi lebih sensitif. Menjadi lebih peka terhadap hal-hal yang terjadi disekeliling kita. Tentang hal-hal yang terasa menyenangkan atau menyedihkan. Bahwa, apapun yang menimpa diri kita, senantiasa kita hadapi dengan lapang dada. Semua adalah  bukti kasih sayang Alloh. Tidak ada penyesalan, tidak ada keluhan. Susah atau pun senang tetap menjadi anugerah yang harus disukuri dan dijalani dengan sepenuh hati.

Saat kita pulang ke tanah air, semestinya kebeningan hati selama di mekkah juga harus turut di bawa serta. Tak ditinggal begitu saja. Alloh senantiasa mengabulkan doa-doa kita. Selalu ada keajaiban sebagaimana yang dialami saat berada di tanah harom. Hanya saja sifat iri, dengki, hasut  sering menghalangi mata hati kita untuk melihat besarnya karunia Alloh. Kebanggaan akan pengalaman kita, membuat kita menjadi takabur. Tinggi hati, dan merendahkan orang lain.

Sungguh, Tidak ada yang salah dengan doa-doa kita. Alloh akan tetap mengabulkan doa-doa kita di manapun kita berada. Ya di tanah harom, ya di tanah air. Bisa jadi, Yang tidak pas adalah isi doa-doa kita, dan  ketidaksabaran kita    menunggu terkabulnya doa-doa kita dikabulkan segera.

Maka
Saat Alloh mengabulkan doamu, Ia ingin menguji imanmu..
Saat Alloh tak –jua- mengabulkan doamu, Ia meminta kesabaranmu...
Saat Alloh mengabulkan yang bukan doamu, yakinlah Ia telah menganugerahkan yang terbaik untukmu...  

Minggu, 02 September 2012

Cerita Perjalanan Umroh: Hari Pertama


Aku bagai komet di alam raya. Dalam ruang antar bintang. Di kegelapan sempurna. Kecil namun terasa. Pelan tapi pasti. Kekuatan itu menarikku ke pusat tata surya.  Dan semakin lama kekuatan grafitasi itu semakin kuat. Menuntunku bersama ribuan komet dan batu-batu dilangit mengunjungi tata surya. Dalam sebuah gerakan melengkung beraturan sangat panjang yang hampir-hampir lurus. Saatnya kami bergerak menuju ke titik perihelium, titik terdekat. Tak seorangpun dari kami akan tahu, apakah kami akan kembali dalam kebersihan,  dimana dosa-dasa dan keburukan kami akan terlelehkan olah pancaran matahari. Atau kami akan hilang sempurna bersama panas matahari, sebelum sempat singgah di sekelilinganya. Atau juga tesesat jatuh di salah satu planet nun jauh di depan sana. Menjadi meteorit. Menjadi seonggok batu mati. Tanpa guna. Tanpa daya.

Aku tak punya penggambaran yang lebih nyata selain menjadi sebagian kecil alam semesta, sebuah komet di tata surya. Yah.. ini perjalanan umroh pertamaku. Perjalanan mengunjungi tempat terindah di bumi. Tempat setiap muslim menghadapkan wajahnya ketika shalat. Tempat kami menghadapkan wajah di pembaringan terakhir di liang lahat. Apapun madzhab, golongan, sempalan, paham, komunitas dan apapun yang mengaku islam. Kami semua sepakat. Ka’bah adalah tempat kami semua seharusnya menghadap.

Ka’bah di Masjidl Kharom


Sesiapapun muslim di dunia ini, selalau merindukan saat-saat perjumpaan dengan Ka’bah di tengah kota mekkah. Begitupun diriku, aku merindukan berjumpaan dengan ka’bah sejak bertahun-tahun lalu. Rasa rindu untuk mengunjungi rumah suci, Baitulloh. Rasa rindu ingin menapaktilasi perjalanan para kekasih kebaggaan Alloh. Rasa kangen, untuk ikut merasakan perjuangan para nabi. Dan, Perasaan itu semakin menguat setelah sebuah kartu pos bergambar itu engkau kirimkan kepadaku beberapa tahun lalu. Kemudian, -perlahan namun pasti- terus terpupuk bersama janji-janji itu. Janji-janji mulia akan pemahaman kehidupan yang lebih baik di masa depan.

Dan setelah kejadian-kejadian itu,setelah beberapa hal yang –karena ketidaktahuanku- akhirnya aku memahami bahwa rencana Alloh memang sunguh luar biasa. Seakan-akan aku lupa, Bahwa sekehendak Alloh memperlakukan kehidupan kita. Selalu ada alasan kenapa hidup kita begini atau begitu. Hari ini aku baru memahaminya, Alloh menginginkanku mengunjungi rumah-Nya terlebih dahulu. Tepat di depan pintunya, tempat dikabulkannya segala doa-doa.

Sepuluh ribu meter kini aku berada, sepuluh ribu kilo meter jarakku dari mekkah. Tenang di atas bangku empuk pesawat Saudi Air lines. Aku tak paham persis tipe-tipe pesawat terbang. Pesawat itu sungguh besar. Ruang penumpangnya saja cukup untuk bermain futsal tiga tim sekaligus. Sepuluh bangku berjejer di setiap barisnya. Dengan dua koridor memisahkan untuk hilir mudik para pramugari dan petugas yang berjaga. Untuk lalu lalang penumpang saat naik atau turun. Ataupun saat hendak buang hajat di belakang sana.

Setelah keributan pagi itu, kami pun berangkat juga. Semua sembilan belas orang dalam satu rombongan. Sepuluh orang adalah keluarga bapak Ali, seorang kaya raya keturunan Yaman, beliau menolak disebut keturunan arab. Padahal dilihat dari mana saja, ia tetap orang arab. Kenapa? Aku baru paham setelah pulang dari perjalanan ini. Kuceritakan nanti. Empat orang keluarga bapak Candra, beliau membawa istri dan 2 saudaranya berangkat serta. Pasangan serasi bapak dan ibu Ishak. Dua petugas Travel yang cantik-cantik, Icha dan Windy. Yang terakhir ya diriku sendiri. aku menyebutkan terakhir, lha karena datangnya paling terakhir.

Setelah perjalanan yang panjang dan melelahkan. kami tiba di jeddah. Waktu di bandara menunjukkan pukul setengah dua belas malam. Jam di hapeku sudah menunjuk pukul setengah empat pagi. Bandara Jeddah adalah bandara kecil. Kami turun di lapangan terbang. Menuruni empat meteran tangga pesawat. Kemudian dijemput bis petugas bandara menuju terminal keberangkatan. Untuk mengambil miqot, niat umroh. Untuk mengurus surat-surat imigrasi.

Sampai di terminal imigrasi keributan kembali terjadi. Keluarga pak Ali ada-ada saja acaranya. Selesai ribut dengan istri anak-anak, sepupu dan keponakan-keponakannya. Kembali meributkan petugas. Yang diributkan malah ndak merasa berdosa. Ndak merasa salah. Seenaknya mereka melayani kita. Satu cap untuk satu atau dua petugas. Sehingga pelayanan menjadi lebih lama. Belum lagi disambi nelpon sana sini. Bercanda tiada henti. Entahlah, mungkin style mereka seperti itu. Berprasangka baik saja. Bukankah saat ikhrom, kita tidak boleh marah-marah, memaki-maki, berdepat sana sini. Dalam Ikhrom kita kembali, putih bersih seperti bayi. Bersih di pakaian, bersih di hati.

Setelah dua jam yang menguras tenaga dan kesabaran. Kami melanjutkan perjalanan. Dari dalam bis aku menyaksikan ribut-ribut diluar sana. Kelihatannya juragan potter barang-barang sedang rame berdebat dengan petugas travel. Ribut dengan upah yang tidak sesuai. Ribut dengan perlakuan petugas yang mengacuhkan diri. Jarak Jeddah-Mekkah tak terlalu jauh, butuh waktu sekitar satu setengah jam perjalanan menggunakan bis dengan kecepatan rata-rata seratusan km/jam. Seratus lima puluhan kilo meter. Jangan di bayangkan jalanan di Arab seperti di Indonesia, yang banyak perempatan dan rumah penduduk, termasuk warung kaki lima di kanan kiri jalan. Di arab hanya ada batu dan pasir, kecuali di dalam kota. Ada perumahan dan sedikit taman-taman, selebihnya batu dan gunung batu.

Waktu menunjukkan pukul tiga pagi. Kami berhenti tepat di depan hotel Haneen. Hotel kecil bintang 2 atau 3 ya? Aku tak peduli, Yang penting, aku sudah sampai di mekkah. selama enam hari kedepan kami akan menginap di sana. Sementara keluarga pak Ali menginap di hotel seberang. Jalanan memang macet, Kendaraan di mana-mana. Klakson tiada henti. Lalu lalang, tak mau mengalah. Jalanan juga penuh dengan jamaah yang hendak ke masjid. Padahal subuh masih satu jamman lagi.

Demi melihat jamaah yang bergegas ke masjid, aku tak sabaran juga untuk ikut pergi. Kusegerakan berbenah diri. Menyiram badan dengan air hangat. Agar badan segar kembali. Sebenarnya tidak dianjurkan, takut ada bulu yang rontok. Dendanya lumayan. Satu bulu kita, entah rambut entah bulu badan yang lain, seekor kambing. Betul ndak ustad? Pukul empat kami berkumpul di lobi. Sembilan orang berkumpul di temani seorang ustad muda, bernama Ustad Andi. Setelah semua berkumpul, kami langsung berangkat menuju masjid. Masjidil Kharom.

Keluar dari hotel kami disambut angin mekkah yang panas. Berasa di depan api unggun. Yah, kalau digambarkan suasananya seperti di depan api unggun seperti jaman pramuka dulu. Tak terbayangkan di siang harinya. Lha jam 4 pagi saja panas begitu, apalagi siangnya. Secara geografis, Mekkah memang berada di bumi bagian utara. Di bulan juli seperti sekarang ini, posisi matahari sedang berada di utara equator. Berarti lagi panas-panasnya. Keringnya kondisi mekkah menambah panas dan menyiksanya iklim di sana. Setelah dicek diberita TV, suhu rata-rata di arab saudi, termasuk mekkah berkisar antara 39 sampai dengan 44 derajat celcius.  Tak terbayang seperti apa kondisinya 4000 tahun yang lalu. Saat nabi Ibrohim AS meninggalkan istri dan anaknya di tanah bakkah. Menuruti perintah Alloh. Sedangkan kita di indonesia, yang luar biasa nyaman, masih sering kurang menerima. Kurang ridlo dengan segala macam kelimpahan rejeki yang kita terima, termasuk cuaca dan keadaan alamnya.

Lokasi masjid tak seberapa jauh dari hotel kami, tak sampai tujuh menit berjalan kaki. Kami memasuki masjid melewati pintu Malik Fahd. Salah satu raja saudi. Atau pintu 79. Kami lebih senang menyebutnya pintu kuning. Karena di dalam sana tertulis plang berwarna kuning. Memang sebagian pintu masjid punya nama. Sebagian menggunakan nama raja arab. Sebagian menggunakan nama yang lain, seperti pintu umr, pintu billal, adalagi yang dinamai pintu mayt, karena pintu itu dipakai untuk keluar masuk jenazah saat akan di sholatkan. Oh ya, hampir setiap selesai sholat selalu ada shalat jenazah. Jadi jkalau teman-teman berkesempatan berziarah ke sana, ikutlah sholat jenazah. Insyalloh akan sangat berguna.

Pelayanan pemerintah saudi di masjidil kharom harus diacungi jempol. Secara umum kondsi masjidil Karom  sangat bersih dan rapi, lengkap dengan eskalator hingga kita tak perlu berjalan kaki kalau ingin menuju lantai atas. Meski di luar panas luar biasa, di masjid berasa sangat nyaman, ada puluhan kipas angin yang terus berputar, ada puluhan diffuser yang terus mengalirkan udara dingin yang memanjakan jamaah. Tempat wudlu dan toilet juga bersih. Bagaimana tidak, ada ratusan petugas yang senantiasa bekerja di sana yang stndby setiap waktu. Ada yang memberikan kantorng plastik untuk sandal,untuk kita simpan sendiri. Ada yang menyapu, ngepel, serta mengganti air zam-zam setiap waktu agar bisa dinikmati setiap hari.

Sesampai di masjid, iqomat sudah berkumandang. Ustad Andi memilihkan kami tempat untuk sholat subuh. Jamaah pria di sebelah kanan, di sebelah kiri jamaah putri. Kami di batasi koridor tempat orang berlalu lalang, dua puluh meter dari pintu masuk. Berdekatan dengan gentong-gentong berisi air zam-zam. Entahlah, aku berasa aneh, perasaan ini bercampur-campur. Berasa sadar, berasa mimpi. Tak bisa aku mengerti. Mengapa jadi begini?

Selesai shalat, Ustad Andi mengumpulkan kami, mengomando kami untuk memulai thowaf. Aku tak terlalu mendengarkan. Aku semakin tak berkonsentrasi. Gelisah luar biasa. Tak sabar ingin bertemu dengan ka’bah. Tak sabar untuk melihat bangunan itu.

Kami pun berjalan beriringan, terus masuk ke Masjidil kharom. Saat ka’bah terlihat di depan mataku, tangisku pecah. Yang terjadi-terjadilah. Air mataku meleleh begitu saja. Dadaku terasa amat penuh, ingin meledak. Nafasku sesak. Tenggorokanku tercekat. Agak lama aku sesenggukan.

Kawan, Jikalau engkau melihat ka’bah untuk pertama kali. Engkau pun akan terharu. Engkau akan menagis. Rasanya seperti seorang anak yang terpisah dengan ibunya setelah sekian lama. Tak sabar ingin menangis dipangguanya. Rasanya seperti seorang ibu yang terpisah dari buah hatinya. Tak sabar ingin merengkuhnya. Tak sabar ingin memeluknya erat.     

Komet itu pun meleleh jua. Terbakar oleh pesona pusat jagat raya. Mengikis semua kotoran yang membeku dalam kegelapan. Membuka kembali inti komet yang lama tak mendapatkan cahaya. Agar saat kembali nanti penuh dengan cahaya. Meski kecil tak terlihat, tak jadi mengapa.

Aku berdoa, semoga air mata ini pun membawa pula dosa-dosa yang selama ini kuperbuat. Besar atau pun kecil. Disengaja ataupun tidak. Semoga Alloh membersihkan hatiku dari segala kekotoran. Seperti matahari mengikis semua kotoran beku di permukaan komet itu. Semoga Alloh senantiasa memberikan hidayah kepadaku, seperti matahari yang senantiasa menyinari bumi. Semoga Alloh senantiasa menunjukkan bahwa yang baik adalah baik, dan diberikan kekuatan untuk mengerjakannya. Serta menunjukkan bahwa yang buruk adalah buruk, dan diberikan kekuatan untuk meninggalkannya. Semoga, aku yang sangat kecil ini, dengan segala kecilnya hal-hal yang kuperbuat bisa menjadi jalan bagi sebanyak-banyaknya orang agar bisa melakukan kebaikan, agar hidup dalam kehidupan yang membaikkan.   

Istirahat di Bukit Marwa setelah tahalul pada umroh pertama

Jumat, 10 Agustus 2012

Catatan Perjalanan Ziarah: Bapak Ishak


Aku mengintip sela jendela pesawat, tepat di sisi  Icha duduk. Jendela berupa dinding transparan seukuran 30 x 20 cm, dengan kaca super tebal dan kuat untuk menjaga perbedaan tekanan dan temperatur di luar dan dalam pesawat.  Tak terbuka penuh,  terhalang sayap pesawat, namun masih cukup jelas untuk melihat suasana di luar sana. Ribuan  meter di atas bumi, ribuan kilo meter ke tempat aku seharusnya kembali. Dari sini langit sungguh kelihatan sangat indah, bersih tak terhalang awan. Icha terlihat menengok ke arah jendela. Mungkin sedang menikmati hal yang sama. Windy dan ibu masih terlelap di sebelahnya. Sepertinya kelelahan juga.

Aku juga kelelahan. Sungguh, ini rasa lelah tak tertahankan. Lelah fisik, lelah perasaan. Lelah karena hampir dua minggu nyaris kurang tidur dan istirahat, plus suasana musim panas yang ekstrim. Lelah manahan harap agar bisa kembali ke tanah suci itu. Perjalanan menuju Baitulloh memang terasa sangat panjang. Rasa rindu, penasaran tercampur menjadi satu. Tak sabar rasanya ingin segera bertemu. Bersua dengan tempat yang paling mulia di seluruh dunia. Pun demikian perjalanan pulang. Rindu ini semakin terpupuk. Dan rasa lelah karena menahan rindu sungguh tak tertahankan. Perjalanan kembali pun menjadi teka-teki. Apakah suatu saat nanti aku bisa mengunjungi rumah-Mu lagi? Insya Alloh.   

Seperti rombongan yang lain aku nyaris tak terbangun dari tidurku di sepanjang perjalanan, kecuali saat panggilan alam datang. Dan saat pramugari menawarkan makanan. Hingga saat kejadian itu tiba-tiba datang.
Sesaat setelah pilot mengumumkan bahwa kami akan segera mendarat. Penumpang di depanku seperti terlempar dari tempat duduknya. Aku kaget luar biasa. Tanpa babibu bapak Ishak lompat dari tempat duduknya, lari ke arah toilet sambil memegang perut. Dari raut wajahnya, aku melihat ekspresi kesakitan. Ia seperti menahan sesuatu. Padahal sesuai prosedur, kami harus duduk tenang di bangku, dengan seatbelt terpasang sempurna. Kontan pramugari di belakang kami menahan pak Ishak. Dalam posisi landing, kami dilarang melakukan aktivitas apapun, selain duduk manis di kursi penumpang.

 Lama pak Ishak berada di toilet pesawat. Ada lebih dari dua puluh menit. Aku mulai merasa kawatir. Sejak berangkat di Soekarno-Hatta, aku mengiringi pasangan serasi itu. Membuntuti mereka kemana pergi. Aku reflek membawakan tas-tas mereka berdua, selama perjalanan ini. Belakangan aku tau bahwa tas-tas itu berisi beras dan rice cooker untuk memasak di sana. Bukan tanpa alasan. Ibu Ishak punya diabetes, selain obat ia harus masak sendiri makananya. Dengan beras kusus tanpa gula tentunya. Aku senang saja saat di kira anak mereka. Setidaknya, bisa mengobati rasa rinduku setelah 3 bulan tak bersua. Sangat bahagia menjadi anak –anakan- bapak dan ibu Ishak. Biar gampang mbacanya aku panggil mereka bapak dan ibu saja ya? Setuju lah.

Waktu menunjukkan pukul setengah empat sore waktu singapura, jam di HP ku masih menunjukkan pukul setengah sebelas. Berarti pukul setengah tiga waktu jakarta. Perjalanan yang panjang. Kami take off pukul 23.00 waktu jeddah. Berarti sekitar hampir 12 an jam. Aku menuntun bapak sepanjang lorong pendaratan. –aku tak tahu nama tepatnya-. Sementara tas mereka berdua aku titipkan Icha dan Windy. Sepanjang perjalanan kami relatif tepat waktu. Seperti yang dijanjikan tulisan di bandara Jeddah. Tak terlambat lima menitpun. Berbeda dengan bis-bis antar kota yang aku tumpangi, sering ngaret ndak jelas. Sebagiannya karena macet. Sebagiannya karena sopir pengin menghemat solar. Jadi ndak perlu ngebut-ngebut. Seperti semboyan paling populer. “Biar lambat asal selamat”. Eh “Biar lambat asal telat”. Tak terbayang jika pesawat kami telat dengan kondisi bapak  seperti sekarang ini.


Bersama bapak Ishak dan lainya di bukit Marwa saat umroh I

Masuk di bandara changi kami langsung dijemput dua orang petugas berparas india dengan aksen melayu yang khas. kadang-kadang berbahasa inggris, kadang-kadang melayu. “campur-campur hey”. Sementara yang lain mengobrol, Aku mencari tempat  duduk. Lengan pak Ishak terasa basah dan hangat. Keringat di dahi bercucuran. Bukankah ini ruang ber-AC yang super dingin? Rasa sakitnya makin tak tertahankan. Sepertinya bliau sudah tidak kuat lagi berjalan. Aku mengajak bapak duduk di kursi tunggu, tak menghiraukan arahan petugas berwajah india beraksen melayu itu. Sementara ibu panik mencari obat, bapak menahan sakit, aku gelisah. Gelisah dengan semua pikiran yang berkecamuk dipikiranku. Kupikir sudah cukup perjalan berangkat saja yang membuatku super tegang, ternyata perjalanan pulang terasa jauh lebih menegangkan.

Aku mendorong kursi roda dengan bapak penumpangnya. Tak menuju ke area tiket transit, aku menuju toilet. Penyakit Prostat bapak kambuh, semalam bliau lupa minum obat. ditambah juga efek dari semua kelelahan selama umroh. Trus penyakit prostat itu apa? Aku tak begitu memahaminya, taunya ya ada gangguan saat buang air seni. Sering kebelet “pipis”. Dan rasanya sakit luar biasa. Lebih jelasnya tanya dokter saja ya, ane ndak paham. 

Suka tidak suka, aku harus mengacungi jempol fasilitas bandara changi. Selain keran-keran minum yang menyegarkan, lantai karpet super tebal, toilet bersih terawat, ada juga toilet kusus untuk orang sakit atau orang cacat. Ada juga ruangan kusus untuk menyusui.

Aku tak pernah tahu rasa yang lebih sakit dari pada dua malam tak tidur menahan sakitnya kencing batu beberapa waktu yang lalu. Sepertinya rasa sakit bapak sungguh sakit. Betapa ini tempat yang super dingin, keringat tak berhenti mengucur. Aku tak bisa berbuat banyak, selain berjalan mondar mandir di koridor. Sesekali mengintip bapak dan bertanya?

“Sudah belum pak?”
“Bagaimana keluar ndak?”  
Dijawab dengan erangangan. Selebihnya diam.

Selesai dari toilet, kami menuju mushola. Sudah waktu ashar. Jama’ takhir dengan duhur. Jama’ qosor. Kita rada buru-buru. Ya buru-buru ngejar pesawat. Ya buru-buru ingin segera ke toilet lagi. Sholat subuh kami kerjakan di pesawat. Berta’yamum. Sambil duduk,lengkap dengan isyarat ruku dan sujud. Bapak mengikuti saranku, sholat sambil duduk. Selesai sholat, Bapak khusuk berdo’a. Ibu mengintip dari tirai shof perempuan. Ingin tau kondisi bapak. Aku memperhatikan mereka dari jauh. Ini toh yang namanya pasangan serasi? Seperti ini toh, keluarga sakinah? Semoga saja aku bisa.

Usai sholat kami meluncur ke tempat transit. Aku lupa belum menyerahkan pasportku. Ikut panik mengurusi bapak tadi. Pesawat baru berangkat pukul 18.00 waktu singapure. Berarti masih satu setengah jam lagi. Ibu Nevi dan yang lain duduk-duduk di kursi ruang tunggu. Sesekali pak Ali dan pak Candra mencoba ngobrol dengan bapak.  Memberikan saran ini itu.  Bapak menjawabnya dengan anggukan dan gelengan saja. Kemudian mengajakku kembali. Balik lagi ke toilet.

Aku meminta petugas bandara membantu mempermudah urusan bapak dan ibu. Di layani dengan seorang petugas, berikut selembar surat pernyataan. Intinya, kalau terjadi apa-apa sama bapak maka pihak bandara maupun maskapai penerbangan tidak bertanggung jawab. Tidak bisa dituntut. Setelah berdiskusi dengan pak candra selaku kepala rombongan, surat tersebut aku isi untuk kemudian ditandatangani bapak. Pak Ali masih kelihatan emosional. Belum juga reda dari keributan di madinah dan jeddah ditambah lagi masalah di Changi. Pesawat delay satu jam. Penerbangan mundur menjadi pukul 19.00. Aku urung menyerahkan surat itu kepada bapak. Ia nampak sangat kesakitan. Komat-kamit terus berdzikr. Ibu menangis. Aku semakin cemas. Yang lain  memandang kami prihatin.

Kami bertiga masuk ke pesawat garuda paling awal. Bersama-sama dengan ibu-ibu gemuk keturunan tionghoa –yang juga sakit-. Nampaknya selepas berobat di negeri singa putih itu. Di belakang kami menguntit  dua artis terkenal, duduk di kursi VIP. Siapa itu Nia zulkarnain sama suaminya Arie Sihasale. Bangganya itu saja, selebihnya adalah hal yang paling menegangkan selama perjalanan.

Suasana kabin lumayan crowded. Bener ndak nulisnya? Koridor yang sempit menyulitkan para penumpang berlalu lalang. Keluarga pak Ali terlihat amat ribet. Bertukar penumpang satu dengan yang lain. Rusuh mengatur sana sini. Aku duduk bertiga dengan bapak dan ibu. Sementara ibu disamping jendela, bapak ditengah, aku di pinggir kiri dekat koridor. Bukan tanpa tujuan, biar lebih mudah meminta bantuan petugas.
Pesawat berangsur take off. Ada sedikit kelegaan. Berharap segera sampai di tanah air dengan selamat. Aku terus menahan agar bapak  tak beranjak dari tempat duduknya. Rasa sakit memang mengalahkan banyak hal. Aku tak tahan saat bapak menahan keakitan kali ini. Ia nampak kejang-kejang. Mendelik ke sana kemari. Menggeliat kesana kemari. Keringat dingin muncul segede-gede  beras.  Dilepasnya pakaian bapak. Di kendorkan semua kancing dan ikatan sabuk. Ia sangat ingin ke toilet. Ibu terus menangis. Beristighfar. Kebingungan. Takut terjadi apa-apa.  Aku semakin gelisah. Bermacam pikiran terus berkecamuk. Hingga kemungkinan yang paling buruk.

Aku harus berfikir cepat. Kami bertiga duduk di kursi ekonomi barisan bangku ke-7. Barisan nomer tiga dari depan. Aku menengok ke belakang, ke arah toilet. Jarak toilet dengan tempat duduk kami sekitar lima belasan meter. Dengan jarak sejauh dan koridor sesempit ini , tidak mungkin menggandeng bapak ke toilet. Takkan terjangkau. Pesawat masih terus naik menuju zona terbang 10.000 feet. Sekitar 3050 meter di atas tanah. Berarti tak boleh ada aktivitas penumpang, selain duduk manis dengan seatbelt terpasang erat. Bapak semakin kesakitan, ibu semakin kebingungan.

Aku mengambil tissu sisa snack. Memberikan kepada ibu. Memintanya memasukan –maaf- ke celana bapak. Ia muhrimnya, jadi tak ada masalah. Yang terjadi terjadilah, Pikirku. Ibu buru-buru melakukan seperti yang kuperintahkan. Agak ragu, kikuk tapi tetap saja dilakukan. Bapak juga ragu, kesakitan, lampu masih menyala terang. Tapi bukankah sudah kukatakan kepadamu. Rasa sakit akan mengalahkan banyak hal. Aku merobek plastik tempat headset untuk menampung tisu sisa mengelap air seni bapak. Sebagian untuk mengelap keringat bapak yang terus bercucuran. Bapak terlihat sedikit lega, beristighfar. Lumayan. Dari yang sangat-sangat sakit, turun menjadi sangat sakit.



Bersama bapak saat perjalanan Mekkah-madinah

Hampir satu jam perjalanan, pilot pesawat memberikan pengumuman. Pengumuman baik dan pengumuman buruk. Pengumuman baiknya kita sudah sampai di tanah air. Pengumuman buruknya, pesawat akan berputar-putar selama 20 menit menunggu antrian. Bandara soekarno-hatta sedang ramai. Lalu lintas sedang padat. Aku beristighfar pelan. Bapak terdiam. Ibu sudah tak menangis. Sibuk mengantongi tissu-tissu tadi. Sudah terkumpul dua bungkus. Bungkusan yang besar. Semoga semua baik-baik saja.

Setelah 20 menit berputar-putar, akhirnya pesawat landing juga. Semua merasa lega. Termasuk bapak dan ibu. Lirih aku mendengar bapak mengucap hamdalah. Masih dengan mata tertutup. Menahan sakit. Pesawat tak turun di tempat semestinya, kami turun di lapangan. Jadilah kami harus menuruni tangga pesawat setinggi lima meteran. Bagi kalian yang sehat, mungkin takkan jadi masalah. Namun bagi bapak yang menahan sakit. Itu  luar biasa berat. 

Kabar dari singapura, tentang penumpang pesawat direspon dengan baik. Sesampai di lapangan kami dijemput sebuah minivan. Sepertinya sudah dimodifikasi  untuk para penumpang berkebutuhan kusus. Sementara kami naik van, rombongan yang lain naik bus. Sama-sama menuju ke satu tempat. Bagian pemeriksaan pasprt. Apa namanya? Lupa aku.

Cekatan petugas memeriksa pasport kami bertiga. Sementara bapak didorong oleh petugas, aku berjalan bersama ibu, dengan tas di tangan kanan dan kiri yang semula di bawa Icha. Kembali seperti semua, seperti saat kami berangkat bersama. Berkali-kali ibu memelukku, menangis, mengucap terima kasih. Bapak hanya diam. Mata bapak terus saja basah. Menangis. Bersukur. Aku diam, terus  berusaha membesarkan hati ibu.

“Kalau ndak ada mas naryo, ibu sama bapak ndak tau bagaimana” Ibu terisak.
“Ibu...” aku berkata pelan.
“Seharusnya, saya yang berterima kasih sama ibu, berterima kasih sama bapak..”
“Bapak sama ibu sudah menjadi jalan saya agar bisa berbuat baik kepada orang lain..”
“Bisa saja Alloh mengutus orang lain untuk membantu bapak ibu.”
“Bisa saja Alloh mengatur agar saya kemarin telat, dan ndak bisa ikut?”
“Tapi Alloh memberikan kesempatan kepada saya untuk melakukan ini semua kepada bapak sama ibu?”
“Jadi seharusnya saya yang berterima kasih, bapak sama ibu menjadi perantara atas terkabulnya do’a-doa saya selama ini”

Tiba-tiba dadaku terasa sesak. Tenggorokanku tercekat. Lidahku kelu. Aku tak meneruskan kalimatku.
Ibu menangis. Menggeleng. Bapak juga menangis. Duduk diam di kursi roda. Menatap lurus ke depan.

Jujur, ini kedua kalinya aku di peluk atau meluk  perempuan, selain Ajeng –bungsuku-. Kali pertama adalah saat peristiwa gempa di jogja. Aku meluk ibu panti asuhan di piyungan, menjaganya agar tak kejatuhan genteng, atau jatuh tak kuat menjaga keseimbangan dari besarnya gempa. Tenang saja coy, dua-duanya sudah di atas 60 tahun. 

Selesai berurusan dengan petugas bandara dan menghubungi anak-anak bapak ibu. Aku langsung meluncur keluar, meninggalkan ibu dan barang-barang bawaan kami. Titipkan Icha saja. Di luar kami sudah disambut keluarga bapak. Bapak tetap diam, tanpa ekspresi. Haru juga melihat mereka.

“Bapak sakit, tolong segera di bawa ke rumah sakit!!” aku berkata tegas.

“Tolong ada yang ditinggal di sini untuk menjemput ibu dan membawa koper-koper”

Tak ada suara, hanya anggukan.

Setelah memastikan urusan bapak, aku meluncur ke ATM. Hanya 1 Real yang aku bawa dari sana.  Kemudian mencari tiket bis untuk pulang. Waktu sudah pukul sembilan malam. Harus segera dapat tiket, atau merogoh dompet lebih untuk naik taksi. Iri juga ngeliat banyak yang jemput. Tapi bukankah jemputanku lebih gede. Bis Damri. Selepas mengurus tiket pulang, aku kembali untuk tas-tasku. Setelah menunggu sebentar, akhirnya ibu dan yang lain keluar juga. Aku mengambil barang-barangku,Berpamitan, mencium tangan ibu, balik badan, kemudian pergi.

Aku tak tahan melihat  ibu menangis lagi. 


Buka bareng di Rumah pak Ishak. 4 Agustus 2012 di daerah Jati padang jakarta selatan