Jumat, 28 September 2012

Catatan Perjalanan Umroh: Hajar Aswad


“Syeh.. besok pagi kita tahajjud ya?”
“Terus ke hajar aswad”
“InsyaAlloh syeh” aku menjawab mantab.
Malam ini akhirnya bisa beristirahat,setelah perjalanan yang panjang dan melelahkan. Jakarta-singapura-Riyad-jeddah-mekah. Langsung dilanjut dengan umroh. Sedari pagi hingga kembali pagi. Jam di hape sudah menunjuk pukul 23.00 waktu mekkah. Paling tidak berarti sudah pukul 3 pagi waktu tanah air. “Jetlek”, Ngantuk luar biasa.

Ini cerita tentang Hajar aswad kawan. Engkau tentu sudah tahu bukan tentang hajar aswad? Aku yakin kalian sudah jauh lebih tahu. Tapi aku tetap ingin menceritakan hajar aswad padamu. Hajar Aswad adalah batu berwarna hitam kemerah-merahan, terletak di sudut selatan, sebelah kiri pintu Ka’bah. Ketinggiannya 1,10 m dari permukaan tanah. Ia tertanam di dinding Ka’bah. Hajar 'Aswad merupakan batu yang berasal dari surga. Nabi Ibrahim lah yang meletakkan hajar aswad saat membangun kabah. Dahulu kala, batu ini memiliki sinar yang terang dan dapat menerangi seluruh jazirah arab. Namun semakin lama sinarnya semakin meredup dan hingga akhirnya sekarang berwarna hitam. Batu ini memiliki aroma wangi yang unik dan ini merupakan aroma alami yang dimilikinya semenjak awal keberadaannya.

Mencium hajar aswad adalah hal yang dicontohkan oleh nabi Muhammad SAW. Namun sebagaimana dikatakan Umar Ibn Khatab RA:

“Sesungguhnya aku tahu bahwa engkau (hajar aswad) tidak dapat mendatangkan bahaya, tidak juga manfaat. Kalau sekiranya aku tidak melihat Rosululloh ShollAllohu alaihi wasallam menciumu, niscahya aku tidak akan menciummu.”

Hajar Aswad

“BismiKa Allohumma ahya wabismiKa amut”
“Dengan namamu ya Alloh aku hidup, dan dengan namamu pula aku mati”
Ustad andi sudah tidur di dipan sebelah, kecapean membimbing kami seharian. Aceng masih sibuk dengan hp nya. Aku menguap. Kemudian bablas. Tertidur pulas.

............................................................

Hapeku berdering nyaring. Alarm pagi berbunyi. Enggan aku membuka mata. Masih pegal-pegal di sekujur badan. Tapi bukankah sudah pernah kukatakan kepadamu. Rasa sakit mengalahkan banyak hal. Namun rasa rindu mengalahkan banyak rasa sakit. Apalagi rasa kantuk?
Jam menunjuk pukul 02.30. Masih pagi.  

Aku membuka selimut. Bergegas ke kamar mandi untuk buang hajat dan bersih-bersih. Air hangat dari shower sungguh menyegarkan. Semua rasa kantuk hilang seketika.

Setengah jam kemudian semua siap. Aceng memekai setelan thob putih khas orang arab. Aku memilih baju koko putih oleh-oleh simbok saat menjenguk cucu pertamanya, Najif –anak masku- di jakarta.   Pas di badan. Berasa simbok sama bapak juga ikut ke sini.  Aku dan aceng bergegas ke masjidil harom. Atau ustad andi dan orang-orang dari indonesia biasa menyebut  harom saja. Kelihatannya ustad andi begitu kelelahan. Kami meningalkan beliau di kamar. Nanti juga menyusul.  Lima menit kemudian kita sampai di masjid. Langsung meluncur ke tempat favourit pelataran tangga babul malik fahd. Dari sini ka’bah sungguh terlihat sangat indah.

Aku memilih sholat tahajud di area towaf. Agak menjorok ke tengah.  Selesai delapan rokaat dan berdo’a. Aku tak beranjak dari tempat dudukku. Hanya mengubah posisi. Memeluk kedua lututku. Menyaksikan ramai orang bertowaf. Mengagumi ka’bah. Yang semakin dilihat, semakin kita akan terperangkap. Semakin sulit untuk berpaling darinya.

..........................................................................

Kira-kira setengah jam sebelum subuh. Aceng mengajakku towaf.
“Waktunya towaf Syeh”
Aku menjawab dengan anggukan. Menyambut uluran tangannya. Berdiri. Segera berjalan. Merangsek ke linggakaran towaf. Melebur dengan para jamah. Layaknya para planet di jagat raya. Layaknya elektron mengitari pusat masa.

Kawan, seandainya engkau tahu rasanya towaf. Mungkin engkau akan memilih untuk terus towaf. Ada kenikmatan tak terkatakan yang engkau rasakan saat terus berputar. Ada energi yang seakan membawamu dalam gaya sentrifugal. Ada pesona tak tergambarkan saat terus berputar mengelilingi ka’bah.

Selesai sudah tujuh putaran yang menyenangkan. Padahal menurutku masih lima putaran. Aceng kekeh kita sudah tujuh putaran. Ikuti saja dah, memang beliau yang menghitung jumlah putaran selama towaf. Aku sibuk memperhatikan ka’bah dari ujung satu ke ujung yang lain. Dan tentu saja, si sendu menawan.  He he he.

 Kami tepat berada di sisi rukun yamani di putaran saat adzan subuh selesai dikumandangkan.  Berarti tanda akhir dari towaf kami. Tepat di arah hajar aswad kami mengucap doa sembari melambai kemudian mencium tangan, atau mengusapkan ke dua tangan ke wajah dan seluruh badan.
“Bismillah, Allohu Akbar”
 “Bismillah, Allohu Akbar”
“Bismillah, Allohu Akbar”

Kami berhenti tepat di arah pojokan hajar aswad. Tak beringsut, kemudian sholat sunnah qobliyah subuh. Perlahan tapi pasti. Orang-orang yang towaf secara berangsur-angsur berhenti. Yang belum selesai bisa dilanjut setelah shalat subuh nanti. Sementara jamaah membentuk shof sholat. Para askar mulai “mengusir” jamaah perempuan ke arah belakang. Bukan rasisme, tapi memang kata nabi. Sebaik-baik shof jamaah pria adalah di depan. Sedangkan sebaik-baik shof perempuan adalah di belakang. Namun ada pengecualian di masjidil harom,  jamaah pria dan wanita boleh bercampur.  Namun untuk area towaf dan shof paling depan diisi jamaah pria.

Di masjidil kharom setiap orang berlomba-lomba untuk sholat sedekat mungkin dengan ka’bah. Termasuk saya. kami berdiri berdempet erat. Berlekatan satu sama lain. Tak ada ruang untuk lewat sekalipun. Kaki bertemu kaki, siku bertemu siku. Bahkan lebih rapat lagi. Semua ingin dekat dengan ka’bah. Ingin mendapat keutamannya. Aku dan aceng berdiri di shof ke tujuh atau delapan  lurus di belakang hajr aswad.

Imam pagi ini syeh sudais, itu lho imam masjidil kharom yang murotalnya sering kita dengar di MP3 atau di radio-radio. Syeh sudais punya kemerduan suara yang luar biasa. Kekhasan syeh sudais adalah sering menangis saat membaca Al qur’an. Kadang –seperti- terdengar sesenggukan.

Aku terlena dengan bacaan syeh sudais. Sesekali ikut tersentuh, saat bertemu dengan ayat yang –karena sering dengar- tau artinya. Dan aku terpana dengan keindahan ka’bah. Sekali ini aku baru melihat hajar aswad secara langsung. Tak ditutupi orang-orang besar yang berebut mencium hajar aswad. Sadar atau tidak, aku melambatkan gerakku saat menjelang ruku dan sujud dari duduk tawaruk, hanya demi melihat hajar aswad lebih lama.

Begitu selesai salam, Orang-orang  di depan kami berebut mencium hajar aswad. kami serentak berdiri. Maju ke depan, ke arah hajar aswad.  Aceng punya strategi sendiri agar kami berhasil mencium hajar aswad. Kami meringsek ke arah pintu ka’bah. Ke multazam. Kemudian masuk dari arah kaki askar yang menjaga pintu ka’bah. Kata aceng sejauh ini itu strategi yang paling efektif untuk orang-orang kecil seperti kita. Sangat sulit jika masuk lewat sisi rukun yamani. Apalagi lurus dari arah garis star towaf.

Pelan tapi pasti. Aku meringsek masuk. Tubuh kecil ini berguna, sekaligus rentan bahaya. Aceng menarikku masuk. Ia sudah di depan hajar aswad. Sementara aku masih tertahan. Ada siku tangan yang besar tepat menahan ulu hatiku. Rasanya ngilu sekali. Aku –nyaris- sesak napas.
“syeh ayo masuk!!” aceng berteriak kencang.
“Sebentar syeh, dadaku sakuit sekali”
aku sebentar-sebentar menggeleng. –hampir-hampir Tak kuat menahan sakit.

Dan dalam hitungan detik. Aku sudah berada tepat di depan hajar aswad. Kedua tanganku tepat menjeplak di bingkai perak hajar aswad. kemudian aku “bengong” di sana. Aku melihat hajar aswad dari jarak yang teramat dekat. Tiba-tiba suasana menjadi sangat tenang. Sunyi senyap. Aku seperti di tempat lain dari dunia ini. Sampai sebuah tangan mendorongku ke depan, tepat ke arah hajar aswad. Dua atau tiga kali aku mencium hajar aswad. Secepat aku melepaskan bibir dan tanganku dari batu mulia itu. Aku tersadar kembali.

“Syeh... TARIIIIIKKKK!!!” Aku berteriak sekencang-kencangnya.

Seketika itu juga, aku terlempar dari posisiku semula. Entah aku melewati punggung orang lain. Entah dipapah di atas kepala orang-orang seperti yang sudah aku lihat sebelumnya saat umroh kemarin siang. Tau-tau aku sudah beberapa meter jaraknya dari hajar aswad. Dengan aceng disampingku. Kemungkinan besar dia yang menariku. (Iya kan Syeh?) Bukankah badanku kecil, tak sampai 160 cm tingginya. Jadi sangat mudah dilempar oleh orang-orang asing super besar yang sedang berebut mencium hajar aswad.

Lewat bawah kaki askar berpakaian ala pramuka itu kami lewat saat mencium hajar aswad


Aku minta istirahat sebentar, dadaku masih ngilu. Kami berjalan menuju multazam untuk berdoa, kemudian bergeser ke arah depan maqom ibrohim. Sholat dua rokaat kemudian berdoa di depan ka’bah. Tampak bapak-bapak, ibu-ibu di kanan kiri kami. Semua berdoa ada yang menagis sesenggukan. Ada yang berteriak. Ramai sekali di depan sini.

Masih belum selesai rupanya. Dengan napas tersengal,  masih ngo-sngosan,  kami berjalan menuju hijr ismail. Area setengah lingkaran di sisi timur ka’bah, antara rukun iraqi dan rukun syam. Sisi kebalikan rukun yamani dan hajar aswad. (kalau saya keliru mohon diluruskan ya brow?). Dikatakan bahwa, hijr ismail adalah bagian dari ka’bah. Sholat di Hijir Ismail  sama dengan sholat di dalam ka’bah, seperti disebutkan dalam hadits, ketika Aisyah RA minta izin untuk masuk kedalam ka’bah untuk sholat di dalam ka’bah, Rasulullah membawa Aisyah RA ke hijir Ismail dan berkata “Sholatlah kamu disini kalau ingin sholat didalam ka’bah karena ini termasuk sebagian dari ka’bah.”(HR Turmidzi)

Sekali lagi, tubuh kecil ini berguna sekaligus rentan bahaya. Kami masuk melewati celah kecil dari sisi utara. Langsung menuju dinding ka’bah. Kami shalat bergantian dengan aceng. Saling menjaga satu sama lain. Kemudian mencium dinding ka’bah dan berdoa di sana. Aku sempat mempersilahkan seorang nenek di sana. Ada ruang kosong dekatku.

“ummi.. tafadlol ummi”
(ummi.. silakan ummi)

Tawaranku hanya dibalas tatapan heran. Entah karena tak mengerti maksudku, entah karena tawaranku tampak aneh. Tak berapa lama kemudian kami menepi, dan keluar lagi lewat jalur kami masuk. Gantian dengan yang lain.


Area setengah lingkaran yang dibatasi dinding putih setinggi pundak orang dewasa adalah hijr ismail


Keluar dari hijr ismail, kami kembali ke tempat fovourit kami. Pelataran tangga babul malik fahd. Masih di lantai putih, dekat kran-kran air zam-zam.  Sebotol air zam-zam kami habiskan sekaligus. Masih nambah sebotol lagi. Masih ngos-ngosan. Keringat membasahi pakaian kami. Masih ngilu di dadaku. Kemudian duduk menjeplak. Duduk santai. Melihat orang-orang towaf. Mengagumi baitulloh. Sungguh ini kenikmatan yang luar biasa. Sungguh diri ini merasa sangat beruntung hari ini. Maka nikmat tuhanmu yang manakah yang kamu dustakan?

Maka berbahagialah orang-orang yang diberikan Alloh kesempatan untuk mengunjungi Baitulloh serta mencium hajar aswad. Maka mulialah orang-orang yang memberikan kesempatan kepada sebanyak-banyaknya saudara seiman untuk bisa mengunjungi rumah Alloh.

Bukan kebahagiaan yg membuat kita bersyukur.  Tapi (besarnya) rasa bersyukurlah yang membuat kita menjadi lebih berbahagia.

Sedang Besarnya kesyukuran kita sebagian bisa diukur dari besarnya rasa terima kasih kita kepada Alloh, dan sebagian besarnya lagi dapat diukur dari besarnya yang kita bagi kepada orang lain.    

Tak terasa, Langit mekah mulai terang. Merah merekah. Burung-burung mulai beterbangan di atas masjidil kharom. Lalu lalang di antara menara-menara masjid. Para jamaah mulai meninggalkan masjid. Kami pun begitu. Waktunya pulang. Kembali ke hotel. Mengisi tenaga. Bersiap untuk petualangan berikutnya.

Bersama Aceng di pelataran tangga babul malik fahd. 
Terima kasih kepada brother afganistan yang memfoto kami




Tidak ada komentar:

Posting Komentar