Sabtu, 22 September 2012

Catatan perjalanan Umroh: Keajaiban-keajaiban


Sebenarnya, usai shalat duhur  aku  tak ingin buru-buru pulang ke hotel.  Ada shofa marwa yang belum aku datangi. Tempat-tempat istijabah tak boleh aku lewatkan begitu saja. Inginnya puas-puasin di masjidil kharom, tetapi panitia juga harus dihormati. Ada makan siang yang menunggu di hotal. Tak enak sudah disiapkan sedari tadi. Siang kemarin, kami dapat komplen karena pulang ke sorean. Keasikan di masjid, sampai lupa ditungguin panitia.

Baiklah, waktunya pulang dulu ke hotel. Nanti juga bisa mbalik lagi ke masjid. Aku pun bergegas. Berjalan cepat. Melewati tangga babul maut, Aku melirik jam besar di menara zam-zam,  Pukul 13.25.  Menerobos lantai towaf berwarna putih bersih. Udara di dalam masjid terasa panas, namun lantai granit itu terasa amat dingin. Seputih hati ini Engkau telah bersihakan, sedingin pikiran ini saat duduk termangu memandangi  rumah-Mu.  aku memilih lewat depan maqom ibrohim. Sebuah bangunan kecil di dekat pintu ka’bah  berupa sebuah batu dengan cerukan bekas dua kaki nabi ibrohim. Inginnya bisa towaf lagi. Kakiku berjalan ke arah babul malik Fahd, tapi kedua mataku tak juga berpaling dari ka’bah. Sebentar ya, aku mau makan dulu. Nanti aku akan datang lagi. Gumamku pada ka’bah.

Maqom Ibrohim-Tempat berpijaknya nabi Ibrohim AS saat membangun ka’bah

Perjalan panas sepanjang masjid ke hotel cukup menyiksa. Cuaca Mekkah bulan-bulan ini memang sedang tidak bersahabat. Panas menyengat. Perjalanan 5 menit pun terasa sangat lama. Panas 43 derajat celcius sering kali dihembusi angin gurun yang panas juga. Berasa di depan perapian saja. Sepanjang kanan kiri jalan nampak pembangunan sedang giat-giatnya. Banyak hotel-hotel bintang tiga nampak dikosongkan. Diruntuhkan. Di sisi lain bangunan-bangunan baru nampak mulai berdiri kokoh. Sebagian bangunan perluasan masjid, sebagian lagi untuk membangun hotel baru yang lebih tinggi, yang lebih megah lagi. 

Angin dingin menyambutku saat membuka pintu hotel. Lobi hotel nampak rame. Ternyata bapak dan ibu ishak juga ada di sana. Mereka sedang nampak bedebat, bersitegang dengan petugas hotel. Ternyata kunci hotel pak ishak tidak ada di loker penitipan. Bapak ishak merasa belum membawa kunci, sementara petugas hotel kekeh sudah ada yang mengambil kunci kamar beliau. Tak mau ribut lebih lama,  solusi di cari. Sudahlah, yang penting kamar bisa dibuka dahulu. Petugas hotel akhirnya mau membuka pintu kamar dengan kunci cadangan, namun menolak memberikan kunci cadangan kepada mereka. Jadilah keributan kecil terjadi. Ibu terlihat marah, hendak mengejar petugas. Sedikit memaki. Aku mengejarnya, memegang pundak ibu, menenangkan, meminta beliau beristighfar.
“Kita di tanah harom ibu, jangan marah.”
“Sudahlah, nanti juga kuncinya ketemu”
Ibu  terdiam. Lirih beristighfar. Wajah kesalnya belum juga hilang.
Tiba-tiba bapak berhamdalah.
“Kuncinya sudah ketemu mas”
“masyAlloh, Saya ndak tau, tiba-tiba ada di kantong baju”
“Saya yakin belum mengambilnya, tadi kantong saya kosong”
“Sekarang tau-tau sudah ada di sini”
Aku lega, bapak lega. Ibu masih diam. Jengkelnya berubah jadi malu. Menyesal sudah marah-marah.
Selesai urusan kunci, aku kembali ke kamarku. Istirahat sebentar, kemudian bersiap kembali ke masjid.
Itulah “Keajaiban pertama”.

Selesai sholat asar aku menyempatkan towaf. Selepas asar adalah waktu yang pas untuk towaf, Selain waktu dhuha. Udara tidak terlalu panas. Masjid juga belum terlalu ramai. Para jamaah biasanya datang satu setengah  jam sebelum maghrib, sekitar pukul setengah 6 sore. Sekarang ini masih jam 4 sore. Towaf selesai, aku berdoa  di belakang maqom ibrohim.  Sembari menunggu maghrib aku iseng berjalan-jalan di masjid. Ingin menikmati masjid di sepanjang sudutnya. Di sebuah sudut masjid aku melihat sekumulan arab badui sedang berkumpul, sibuk membagi kurma ke wadah-wadah. Kurma kecil berwarna kuning kecoklatan, seukuran jempol tangan orang dewasa. Sepertinya enak, pikirku. Coba bisa merasakannya. Aku terus berjalan, berkeliling, sambil berharap bisa mencicipi buah kurma. Baru sepuluh langkah berjalan, ada kerumunan, seorang pria arab sedang sibuk membagikan korma kepada jamaah. MasyaAlloh, belum juga doa itu diucapkan, sekarang korma itu sudah di depan mata. Aku menerima pemberian itu dengan senang hati. Aku diberi tahu ustad, bahwa kita tak boleh menolak pemberian di masjidil kharom. Nanti hilang berkahnya, katanya.

Lelah berkeliling, aku berhenti di arah malik fahd, masih di lantai putih area towaf  dekat keran zam-zam. Hari  semakin sore, jamaah semakin banyak, berdesakkan di sana-sini. Macet di setiap pintu masuk.
Aku duduk bersila, di samping kiriku seorang turki sedang sibuk membaca. Di sebelah kanan, mungkin orang pakistan atau bangladesh, sorbannya terlihat khas. Menunggu maghrib, aku membuka mushaf yang sedari tadi aku baca, masih ada beberapa lembar lagi, untuk satu jus target hari ini. Tiba-tiba seorang bocah kecil seumuran 8 tahunan berdiri di depanku. Menyodorkan sewadah kecil buah korma. MasyaAlloh, bukankah itu kurma yang tadi. Korma kuning kecoklatan yang aku inginkan. Aku mengambil beberapa buah. Cukup untuk sekedar mencicipi, cukup untuk tau rasanya.
Dan aku memutuskan sebagai “Keajaiban kedua”.
Sebenarnya masih ada banyak keajaiban yang lain. Mungkin banyak untuk diceritakan.

Bocah-bocah seperti ini yang memberikan kurma kuning kecoklatan untukkku


Maha Suci Alloh yang mempahalai ribuan kali lipat pahala orang-orang yang beribadah di masjidil kharom.  Tanah itu adalah tempat tinggal orang-orang pilihan Alloh. Tempat yang didoakan para nabi pilihan Alloh. Jauh hari sebelum berangkat, aku berharap Alloh mempahalai ibadah kita sama seperti mempahalai orang-orang yang beribadah di masjidil kharom. Biarlah itu hadist nabi, tapi jakalau Alloh mau? Kenapa tidak? Dan setelah pulang pun. Aku berharap begitu, bukan agar orang-orang tidak perlu menziarahi rumah-Nya. Akan tetapi agar semua orang yang karena memang keterbatasannya, tidak bisa mengunjungi ka’bah bisa tetap  meminta sekhusu’ itu kepada-Mu.

Sering kali kita mendengar cerita-cerita dari orang-orang yang pergi ke sana, - haji entah umroh- selalu membawa cerita yang berbeda-beda. Katanya perbuatan kita di tanah air langsung di balas di sana. Katanya begitu berdoa langsung dikabulkan di sana. Katanya ini katanya begitu. Semua tentang yang ajaib-ajaib.
Menurutku statemen ini benar adanya, bukankah Alloh berfirman dalam Al Qur’an.
“Ud’uni astajiblakum”
“Berdoalah niscahya akan Aku kabulkan.”

Kita sering kali lupa dengan ayat ini. Alloh menyuruh kita berdoa, agar Ia mengabulkan doa-doa yang kita inginkan. Lalu kenapa –seperti- ada perbedaan antara ketika di tanah kharom dengan di tanah air? Tentu saja jelas berbeda. Tanah kharom adalah tanah yang diberkahi. Tanah yang didoakan oleh nabi ibrohim, kekasih Alloh. Sedangkan kita di tanah yang entah berantah?

Apabila kita amati,  di luar berita-berita kurang menenangkan yang kita dengar, secara umum orang-orang di arab begitu taat beribadah. Begitu adzan berkumandang di masjid, semua kegiatan berhenti. Toko-toko tutup. Tak ada aktivitas selain sholat. Bahkan setelah iqomat, towafpun berhenti. Semua orang berhidmat kepada Alloh. Menyembah kepada-Nya. Pun demikian juga, saat kita berada di masjidil kharom atau masjid nabawi pada kususnya. Sesiapapun  yang pernah kesana tentunya merasakan sesuatu yang berbeda. Secara umum, Kita jadi lebih  rajin beribadah –tentunya dengan bandingan dari di tanah air-. Sholat tepat waktu. Tadarus. Rajin bersedekah. Berkelakuan baik. Tidak menggunjing. Tidak bertengkar. Tidak melakukan hal-hal tercela. Bukankah sedari awal niat kita adalah untuk beribadah. Bukan untuk berbelanja. Apalagi untuk membanggakan diri kepada tetangga.

Diakui atau tidak,  hal-hal baik yang kita lakukan, tentu akan mempengaruhi hati dan pikiran. Saat kita berbuat baik. Kita jadi berasa lebih tenang. Berasa sejuk. Betapapun panasnya udara Mekkah, tetap berasa nyaman di badan dan pikiran. Saat hati dan pikiran kita merasa tenang, maka kita menjadi lebih sensitif. Menjadi lebih peka terhadap hal-hal yang terjadi disekeliling kita. Tentang hal-hal yang terasa menyenangkan atau menyedihkan. Bahwa, apapun yang menimpa diri kita, senantiasa kita hadapi dengan lapang dada. Semua adalah  bukti kasih sayang Alloh. Tidak ada penyesalan, tidak ada keluhan. Susah atau pun senang tetap menjadi anugerah yang harus disukuri dan dijalani dengan sepenuh hati.

Saat kita pulang ke tanah air, semestinya kebeningan hati selama di mekkah juga harus turut di bawa serta. Tak ditinggal begitu saja. Alloh senantiasa mengabulkan doa-doa kita. Selalu ada keajaiban sebagaimana yang dialami saat berada di tanah harom. Hanya saja sifat iri, dengki, hasut  sering menghalangi mata hati kita untuk melihat besarnya karunia Alloh. Kebanggaan akan pengalaman kita, membuat kita menjadi takabur. Tinggi hati, dan merendahkan orang lain.

Sungguh, Tidak ada yang salah dengan doa-doa kita. Alloh akan tetap mengabulkan doa-doa kita di manapun kita berada. Ya di tanah harom, ya di tanah air. Bisa jadi, Yang tidak pas adalah isi doa-doa kita, dan  ketidaksabaran kita    menunggu terkabulnya doa-doa kita dikabulkan segera.

Maka
Saat Alloh mengabulkan doamu, Ia ingin menguji imanmu..
Saat Alloh tak –jua- mengabulkan doamu, Ia meminta kesabaranmu...
Saat Alloh mengabulkan yang bukan doamu, yakinlah Ia telah menganugerahkan yang terbaik untukmu...  

3 komentar:

  1. ceritanya detail, ajdi kebayang. tanah suci itu seperti apa. semoga bisa menyusul.Amiin Amiin Yaa Rabb. semoga semakin bertambah keberkahan kpd orang yg menceritakannya, menjadikan hikmah bagi yg membacanya.

    BalasHapus
  2. merinding bacanya mas *_*
    terima kasih inspirasi dan semangatnya :)

    BalasHapus
  3. Subhanallah....pingin segera berangkat umroh.....Amiiin

    BalasHapus