Selasa, 17 Juli 2012

Orang Arab : Bagian II


Membicarakan urusan orang lain memang –terasa- menyenangkan. Kekurangan atau kejelekan, sesedikit apapun sering kali menutupi kelebihan-kelebihan yang jauh lebih banyak. Sungguh, kita cenderung melihat orang lain secara tidak objektif. Kekurangan selalu menjadi bumbu paling gurih yang ditambahkan. Entah karena kita tidak suka dengan orang tersebut, entah juga karena kita sedang menyembunyikan kejelekan kita dengan menyebut-nyebut kekurangan orang lain. Pun begitu dengan yang akan kita bicarakan di tulisan ini, yang merupakan  kelanjutan tulisan-tulisan sebelumnya. Mengapa juga aku tidak menanyakan langsung kepada orang-orang arab sendiri, bukan pada orang-orang Indonesia yang tinggal di sana. Bagaimanapun, mereka adalah orang asing di mata orang arab. Dari banyak hal, terutama mengenai kebudayaan dan kebiasaan tentu saja berbeda. Tapi apa mau di kata, selain kendala bahasa, aku juga tak cukup punya waktu dan kesempatan untuk bertanya langsung pada sumbernya. Semoga saja yang saya sampaikan di sini tak berbeda jauh dari kenyataan, setidak-tidaknya dengan sudut pandang orang asing seperti saya.
Bahwa orang arab itu.
10.  Menggunakan pakaian Khas. Sudah menjadi kebiasaan tiap bangsa memiliki pakaian khas sendiri-sendiri. Di Arab saudi –Terutama Mekah dan Madinah- orang arab menggunakan baju “thob” untuk pria. Sejenis baju kurung terusan, berwarna putih,  berlengan panjang dengan kerah di leher. Lengkap dengan saku di dada kiri dan dua saku lainnya di pinggang kanan dan kiri. Belakangan saku pingang di modifikasi dengan sebuah kantung kecil di dalamnya. Katanya untuk menyimpan HP. Beberapa orang juga menggunakan pelengkap sejenis jubah sebagai identitas, seperti coklat, hitam, dan lain sebagainya. Tak lupa menggunakan sejenis sorban yang disebut kafiyeh.

Sementara untuk perempuan menggunakan baju abaya berwarna hitam. Lengkap dengan cadar, sebagian membiarkan kedua mata terbuka, sebagian lagi memilih menutupi seluruh wajah, menggunakan semacam burkha khas seperti Afganistan yang lebih mirip jendela. Hanya saja burkha arab menggunakan  dua kain tipis (setidaknya lebih tipis dari baju dan kerudungnya) untuk menutupi wajah. Seperti kaca riben saja. Ada step satu dan step dua. Step satu untuk terang, step dua untuk yang lbih gelap. Tidak seperti pakaian pria. Thob pria bisa berwarna warni hijau, putih, coklat dan lain sebagainya. Sementara pakaian perempuan arab selalu berwarna hitam. Pertanyaan saya adalah ketika para perempuan berpapasan di jalan, bagaimana mereka saling mengenali satu sama lain?

11. Sering nabrakin kendaraan. Untuk urusan ini aku juga tak terlalu mengerti. Seperti di kota-kota besar lainnya. Di Mekah dan Madinah juga sering terjadi kemacetan. Kalo di indonesia macetnya pas berangkat ataupun pulang kantor. Hla kalau di sana macetnya ya pas bubaran sholat fardu. Orang arab tidak suka berlincah ria menginjak rem dan kopling seperti di Indonesia. Kalau malas ya sudah tabrakin saja. Maju kena mundur juga kena. Ya tabrakin saja. Setelah itu ribut sebentar. Saling berargumen, menyalahkan satu sama lain. Mencari alibi sendiri-sendiri. Saling beristighfar, berzikir. Kemudian mencari jalan masing-masing. Terbukti dari setiap “Ijaroh” atau taksi yang saya lihat selalu ada penyok entah di body samping,  bember depan atau di belakang. Entahlah, mungkin karena mobil di sana murah-murah kali. Kalau rusak ya tinggal saja di jalan. Kan nanti bisa beli lagi. Selain taksi dan mobil pribadi, mobil derek juga terlihat di sana sini. Mengangkut mobil-mobil yang berparkir sembarangan. Mungkin juga karena ditinggal sama yang mpunya.
12. Orang arab -relatif- jarang Ngrumpi. Khusus statement ini adalah hipotesis saya sendiri. Rumah-rumah di arab bentuknya kota-kota bertingkat paling sedikit dua atau tiga, ndak limasan seperti di indonesia. Rumah-rumah di arab ada yang berpetak dempet, ada juga yang berpagar tinggi. Satu keluarga biasanya menepati satu lantai. Satu rumah biasanya ditempati beberapa keluarga. Dari kakek sampai cucu. (Na kalo yang ini berdasarkan info dari Syeh Andi mutowwif saya). Lha jadinya kalo ibu-ibu mau ngrumpi paling ya sama anak atau adek-adeknya saja. Jadi di arab tidak ada kebiasaan “Nonggo” –main ke rumah tetangga, atau ngumpul di satu tempat untuk ngrumpi-. Selain cuaca di sana sangat panas (Kalo musim panas, kalo musim dingin ya dingin sekali), para wanita juga relatif terisolir dari pergaulan umum.  Ndak seperti di indonesia. Selain gerobak tukang sayur, warung tetangga juga menjadi tempat favorit ibu-ibu atau mba-mba berngerumpi ria. Sepanjang saya berada di saudi. Tak ada satu acara tv atau koran yang membahas “Berita Kuning”. Istilah untuk conten gosip. Jadi intensitas ngerumpi orang arab relatif lebih sedikit dari pada orang-orang indonesia.

13. Orang arab gila pepsi. Menurutku istilah itu pantas disematkan. Bayangkan, sarapan pagi minumnya pepsi, makan siang pepsi, makan malam juga pepsi. Dengan catatan “harus dingin”. Seperti iklan di Indonesia saja. Jadi sedikit beda, di Arab apapun makannannya, minumnya yang Pepsi. Aku masih tidak mengerti, aku dulu pernah di protes salah seorang pelanggan saat jualan pepsi di kampus. Katanya pepsi berafiliasi dengan gerakan zeonis Israel. Heran juga di arab pepsi malah justru sangat digemari. Sekali lagi tua-muda, miskin kaya, apapun makannya minumnya selalu pepsi.
14. Orang arab terobsesi dengan yang serba dingin. Karena kondisi yang cenderung panas, menjadikan orang arab terobsesi dengan yang serba dingin, baik ruangan ataupun minuman. Kalo belum minum dingin belum minum rasanya. Air zam-zam di masjidil harom dan Nabawi pun ditaruh dalam termos besar agar tetap dingin. Bahkan di pasar Misfala dekat Masjidil kharom, yang super panas, kita masih bisa menikmati air zam-zam super dingin dan menyegarkan.
Pernah suatu pagi saat menginap di Jeddah, aku bangun dengan tiba-tiba. Menggigil seluruh badanku karena kedinginan. Tenggorokanpun terasa amat sakit. Kelu. Temperatur di remot kontrol menunjukkan angka 21 derajat celsius. Dengan bunyi blower diffuser terdengar kencang. Entah karena masih jetlek entah karena udara di ruangan memang super dingin. Begitupun selama perjalanan di dalam bis. Selalu saja menggigil. Suhu yang sama. Padahal di luar ruangan atau di luar bis, temperatur rata-rata antara 39 s.d 44 derajat celcius. Di arab –pada umumnya- temperatur udara relatif tinggi di musim panas, hujan sangat jarang turun. Pemandangan kanan kiri di sepanjang perjalanan hanya pasir dan batu. Tepatnya gunung batu.  Sangking gersangnya, rumputpun tidak mau tumbuh. Kebayang ndak? 2000 tahun yang lalu, nabi Ibrohim AS tanpa babibu melaksanakan perintah Alloh. Meninggalkan ibunda Siti Hajar nabi Ismail di mekah yang  gersang, tempat rumput pun tidak mau tumbuh? SubhanAlloh
15. Orang-orang di arab paling seneng dengan orang indonesia. Ada semacam kebiasaan memanggil orang yang tidak dikenal di arab. Orang arab biasanya di panggil Ahmad, orang india atou pakistan Badrun,sedangkan orang indonesia atau perempuan indonesia dengan “Siti Rahmah”. Sebenarnya nama itu seperti nama olok-olok untuk para pembantu rumah tangga (TKI – tenaga Kerja Indonesia? Bener ndak?). Namun kemudian berkembang menjadi sebutan umum.
Nah curi-curi dengar ini, selain terkenal kecantikannya, orang indonesia juga terkenal ramah-ramah. Paling rajin berbelanja. Sampe-sampe ada istilah “Towaf di Chronice” . Chronice adalah sebuh area belanja terkenal di daerah Jeddah. Tempat para ibu-ibu menghabiskan real mereka. Karena, pandangan kita beda-beda tipis antara belanja dan ibadah jadilah ritual itu menjadi seperti wajib. Khas orang-orang indonesia sehabis merantau atau pulang mudik, sibuk borong-borong. Dan orang-orang indonesia diperantauan sangat pandai berwira usaha. Maka jadilah sederet toko-toko bernama indonesia. “ali Murah” “Sultan  Murah” dan lain sebagainya. Pokoknya selalu ada embel-embel murah dibelakangnya.
Yang menyenangkan lagi, orang indonesia jarang menawar saat berbelanja, tentu saja selain masalah bahasa. Orang kita tak enak  menawar di sana.
Selain towaf di Chronice, hampir bisa dipastikan selesai bubaran masjid, orang indonesia tak lupa menyempatkan ke toko-toko atau belanja di obralan pasar kaget di depan masjid. Jangan tanya nawarinnya, ya pake bahasa indonesia.
“Hajj... Hajj... “
“Sepuluh real..  Sepuluh real..”
“Murah... Murah...” (Dialek  india mode: ON)
  Orang indonesia kalo belanja atau naik taksi,  umumnya lebih suka mengikhlaskan kembalian jika pedagang atau sopir tidak punya uang kembalian. Jangan tanya kalo orang dari negara lain. Bisa ribut berlama-lama itu.
Yang paling berasa tidak nyaman adalah jika mengenai “Kharim” bahasa gampangnya cewek. Rasanya saya lihat orang-orang di sana “gatel” kalau lihat cewek. Terutama orang indonesia. Cantik-cantik katanya. Kebetulan selama perjalanan saya dititipi dua perempuan, utusan dari biro di jakarta. Saat di hotel para petugas (yang semua laki-laki, di arab perempuan jarang yang bekerja di sektor publik, paling mentok ya guru atau dokter, trus pedagang –itupun orang badui-, selebihnya dikerjakan para pria,para wanita berada di rumah, mengurus anak dan lain sebagainya), mereka memaksa masuk –dengan alasan membersihkan kamar- ke kamar muhrim saya, sontak ditolak dong. Akhirnya Icha –salah satu muhrim saya-  menelepon meminta bantuan. Untung saja kamar kami masih satu lantai. Jadilah keributan kecil siang itu. Setelah peristiwa itu saya bener-bener yakin, bahwa kemanapun perempuan pergi di sana, semestinya harus didampingi mahromnya. Kalo ndak bisa gawat. Menurutmu kepiye?

16. Termasuk korban mode. Suatu malam, selepas dari jama’ah isya di masjid aku merasa kelelahan. Ah, kira-kira selepas umro ke dua.  Aku menunggu sampai jama’ah agak sepi, baru keluar dari masjid. Bukankah selepas isya adalah jam paling ramai di sana. Memang, bangunan sekitar masjid sudah di penuhi mall-mall dan hotel bintang lima. Sebut saja, Intercontinental, Bin Dawood, Soffa tower, dan yang paling tinggi adalah tower zam-zam. Saat berjalan-jalan di jabal rahmah, tower itu masih kelihatan. Terlihat anggun, atau sombong barangkali.
Pelataran masjid masih ramai, di sana-sini orang duduk-duduk di pelataran. Menggelar tikar, menjeplak begitu saja. Ketawa-ketiwi, sambil menikmati kudapan santap makan malam, sayangnya lebih banyak menu KFC dari pada menu kebab yang dinikmati.
Kembali ke masalah mode. Saat berjalan melewati tempat wudlu, aku berpapasan dengan serombongan ABG bercadar. Mereka tampak saling menggoda, dengan bahasa yang tidak aku mengerti. Arab ‘Ammiah. Berkejaran satu sama lain. Mau tak mau ekor mataku mengikuti gerakan mereka. Yang tak biasa selain sepatu mereka, diujung sepatu  terlihat jelas bahan levis. Mereka mengenakan celana levis. Untuk baju atasannya, aku tidak tentu tidak tahu. Hanya mendengar dari para TKW bahwa mereka juga menjadi korban mode seperti kita di negara timur. Bahkan masih di pelataran masjid nabawi, ada toko yang memajang jelas di jendela show room pakaian yang semestinya tidak dipajang di Arab secara vulgar. Setidaknya di depan masjid.
Untuk pria sebenarnya tidak banyak variasi. Selain menggunakan variasi warna thob. Paling juga memodifikasi bentuk krah baju, saku, dan kancing lengan baju. Sebagian memberikan accesories bordiran di sekitar dada kanan. Sebagian dibuat agak lebih ketat, agar bentuk tubuh mereka lebih kelihatan macho gitu. (Kalo yang ini murni prasangka saya). Tapi setidaknya, hampir tak ada pria (dalam pakaian resmi) yang menggunakan pakaian selain Thob.
Ini akhir jilid dua, berikutnya cekidot lagi ya......

3 komentar:

  1. seruuu...
    ini seperti cerita temen yg umroh tapi tertata, jadi berasa ngrumpi di kantor, hehehe

    BalasHapus
  2. wah detil banget y mas pengamatannya:)

    BalasHapus