Minggu, 18 Agustus 2013

Sore Di Pasar Rebo

Akhir-akhir ini hujan turun tiada berhenti. Bukankah ini bulan desember? Orang  jawa bilang bulan desember adalah kependekan dari  “Gede-gedene Sumber”, sebesar-besarnya sumbe r –penghidupan- .  Bersyukurlah kita yang tinggal di Indonesia. Sepanjang tahun Alloh menganugerahkan hujan. Menurunkan berkah dari langit.  Ijo royo-royo.  Al hasil bumi kita ini seperti surga saja. Tempat segala macam tetumbuhan dan hewan hidup. Berkah untuk disyukuri dengan tidak menyia-nyiakannnya, berkah untuk memanfaatkannya dengan bijaksana.
Minggu-minggu ini aku memang sibuk sekali. Bolak-balik karawang-jakarta. Untuk benyak keperluan, entah koordinasi, entah mengurus dokumen dan lain sebagainya.  Butuh waktu sekitaran 4 jaman sekali jalan. Berarti 8 jam Pulang pergi. Jadi kalau aku berangkat dari karawang pukul tujuh, potong segala urusan dan lain sebagainya. Maka aku paling cepat nyampai lagi di karawang abis maghrib. Waktunya abis di jalan. Tua di jalan pokoknya. Melelahkan bukan?
Langit nampak menghitam sejak aku naik mayasari di simpang point square. Biasanya aku naik busway nyampai point square kemudian lanjut mayasari atau koantas bima. Yang mana saja, yang penting bisa segera sampai di kp Rambutan untuk kemudian lanjut ke Karawang. Kali ini mayasari yang duluan lewat, aku langsung naik. Hawa dingin dan aroma pewangi murahan menghembus sejak aku membuka mayasari. Kontras dengan aroma   koantas bima, bau keringat dan “umpel-umpelan”. Ongkosnya pun beda. Tiga kali lipat lebih mahal.
Kali ini pilihanku tepat. Alkhamdulillah, hujan mengguyur deras sejak keluar pintu tol fatmawati. Tak kebayang seandainya naik koantas bima. Biasanya bocor di sana sini. Ya dari pinggiran jendela –karena udah rusak, atau memang kacanya ndak ada-. Ya bisa juga dari atap angkot yang bocor. Masing-masing pilihan ada konsekwensinya. “Rego nggawa rupo”. Sementara di mayasari, berasa semakin “adem”. Mal’lum ac nya ndak pake inverter, jadi yo dinginnya ngucur terus. Brrrrrrr......
Setelah setengah jam perjalanan bus sampai di pasar rebo. Aku lebih mengenal pasar rebo, sebagai  sebuah persimpangan rame di ujung selatan-timur jakarta. Tempat bis, Ojek, pedagang, angkot ngetem. Terminal bayangan istilah gampangnya. Diakui atau tidak, pasar rebo jauh lebih rame dari pada kp rambutan, terminal  yang sebenarnya. Kami tak berarti terbebas dari keramaian pasar rebo. Bis berjalan tersendat di underpass. Ndak kehitung jumlah kendaraan yang berlalu lalang. Saling nglakson satu sama lain. Sudah macam pesta tahun baru saja.
Aku turun dari bis, beberapa saat setelah hujan reda. Belum bener-bener berhenti, masih cukup untuk membuat pakaian ini lepek. Jalanan basah, becek, genangan air nampak di sana-sini. Beberapa anak kecil “pengojek payung” nampak berkumpul. Menghitung rejeki selama hujan tadi. Lumayan untuk uang jajan. Para pedagang kaki lima mulai bersih-bersih, menunggu pastinya hujan turun. Bersiap membuka dagangan mereka kembali.  Aku melintas saja, berlalu menuju ke mushola kecil di pingir jalan. Sudah adzan maghrib.
Selesai shalat, aku bergegas keluar mushola. Waktunya menuju karawang. Tujuan terakhir. Gerimis-gerimis begini, enaknya makan gorengan. Ada  tukang gorengan dekat poho cherry. Alamak,  ada “mendoan”.  Sudah lumayan lama ndak pulang.  Kangen sama mendoan.
Uap panas mengepul saat  kulepaskan gigitan pertama. Aku mengap-mengap. Terasa Panas di rongga mulut, ngilu di gigi, gurih di lidah. Paduan sensasi rasa yang luar biasa. Gigi dan lidahku berjingkit bergantian menahan panas gorengan. Nikmat dirasakan, sayang untuk dimuntahkan.
Aku megap-megap..
“Huft... Haaaft.... Enyak... nyanyas...” gumamku.
Hujan masih turun rintik-rintik. Kendaraan berjalan pelan. Pak polisi sibuk mengatur angkutan dan bis yang -selalu- bandel. Bandel ngetem di puteran. Peluitnya sudah lama tak bersuara. Nafasnya sudah habis sedari siang tadi.
Aku beringsut ke dipan dekat warung sate. Ada tempat kosong. Tidak enak makan sambil berdiri. Malu sama sahabat nabi. Lagian masih sore ini. Tak perlu terburu-buru pulang ke karawang. Toh bis terakhir masih berangkat sampai tiga jam lagi. Jadi tidak perlu kawatir terdampar di sini.
Di dekat dipan, seseorang sedang sibuk mengupas sisir pisang. Agak layu berwarna kuning emas bergaris kecoklatan, sedikit layu. Tersenyum kepadaku. Kubalas dengan senyum bakbao. Gembung di pipi. Ada yang terasa panas di dalam sana. Ternyata beliau si empunya gerobak gorengan itu.  Senang melihatku melahap gorengan. Senang melihat daganganya laris.
“Mau pulang atau berangkat mas?” si bapak berbasa basi.
“Ke karawang pak, mau pulang”
“Bagaimana dagangan hari ini pak? Laris?” aku iseng bertanya.
“Ya Alkhamdulillah, beberapa hari ini lumayan..”
“Sering pulang cepat, dagangan cepet habis, ya ndak Bu’e?”
Yang di panggil  menengok. Tersenyum. Kemudian kembali menggoreng.
Lagi banyak pesanan. Lagi banyak yang mengantri.
“Yah.. beginilah saya mas.. “
“ Usaha apa saja, yang paling penting halal.Berkah.  Penginnya punya rejeki banyak, kaya sampean ini. Tapi sedikitpun ndak papa.Rejeki halal itu pasti berkah. Kalo di makan ke badan jadi daging, ke otak jadi pinter. Ke akhlak jadi bener. Kalo rejeki harom mas. Biar kata banyak. Kalo ke badan jadi kangker. Kalo ke akhlak jadi bandel, kalo pinter, jadinya keblinger”
si bapak mulai ber cerita. Mengupas pisang terakhir. Tapi pembicaraan ini jelas ditujukan kepadaku.
Aku manggut-manggut. Si bapak ini, pantesan gorengannya seenak ini.Empat jempol untuk si bapak.
“Terus.. terus...?” aku semakin antusias.
Si bapak meletakan pisau dan pisang ke nampan. Membuang kulit pisang ke tempat sampah. Aku memperbaiki posisi duduk.
Bapak ini orang bodoh, SD saja ndak tamat. Ndak kaya sampean ini mas?"
Aku sedikit mengangkat bahu. Rada GR.
"Mangkanya, bapak pengin anak-anak bapak jadi orang pinter. Sekolah setinggi –tingginya"
"Pinter yang ndak Cuma pinter, tapi sekaligus baik akhlaknya"
"Biar pinternya ndak buat minteri, ndak buat ngakali hukum, ndak buat korupsi"
Kami terdiam. Bergelut dengan pikiran masing-masing.
Makin malam, jalanan tambah ramai. Gerimis mulai reda. Sepertinya orang-orang yang menepi mulai melanjutkan perjalanan kembali.
Ÿowis pak… "
aku pamit dulu..
sudah malam pak…
"Oke.. sukses yo mas!" Si bapak membalas, menepuk bahuku. Aku mengangguk.
 Aku bergegas menyangklong tas, pergi meninggalkan mereka berdua. Bis merah sudah merapat.
Semoga Alloh membalas kesungguhan bapak ibu berdua. Makin laris dagangannya yo pak. Makin pinter dan soleh solehah anak-anaknya. Makin sukses usahanya.

Tukang Gorengan.  (Ilustrasi aja)


Tidak ada komentar:

Posting Komentar