Rabu, 16 Mei 2012

Kisah Mamak bag III : Uri


Aku bisa mengatakan malem ini sangat cerah. Bulan bersinar lebih terang dari biasanya. Ya karena langit sedang cerah, ya karena –katanya para ahli astronomi- malam ini ada “super moon”. Tak aku mengerti maksud yang pas dari istilah supermoon. Yang jelas, sore ini langit Jakarta cerah. Hujan terbukti sangat ampuh membersihkan Jakarta. Tak hanya debu-debu di dinding gedung tinggi nan megah, namun di seluruh langit Jakarta. Yang jadi korban selalu saja got. Mampet di sana-sini. Bau busuk mengunggun, menusuk hidung. Anggep saja, ini kompensasi dari cerahnya angkasa. Sedikit lebih baik. Lebih baik dari pada bau dan langit berdebu.
Aku duduk di “Lincak” tempat biasa warga gang buntu ngobrol. Tempat paling istimewa di kontrakan mas ku. Besok ada acara di Jakarta. Urusan kerjaan. Jadi ngalahi datang sejak sore ke Jakarta. Biar paginya ndak terburu-buru. Tidak seperti biasa, lincak masih sepi. Mungkin, masih pada sibuk ngurusi urusan rumah. Ato belum pada pulang dari tempat bekerja.
Bukankah sudah pernah kukatakan kepadamu, jakarta memang kejam untuk orang-orang yang tak membekali diri dengan kemampuan maksimal. Ya kemampuan ilmu ya kemampuan dalam pengalaman. Apalagi yang tidak punya tujuan, saya nasehatkan jangang coba-coba. Jakarta akan jadi tempat yang sangat kejam. Istilah lama, “Ibu Kota lebih kejam dari pada ibu tiri”. Ibu tiri sekarang kejam kaya di felm “Ari anggara” ndak ya?. Semoga saj tidak, cukup ibu kota saja yang kejam, ibu tiri ndak usah ikut-ikut. Jadi perfikirlah sebelum bertindak. Berfikirlah masak-masak sebelum mengadu nasib di ibu kota. Sokbijak.com
Tiba-tiba mamak sama bapak datang. Wajah mamak serius. Sesuatu mungkin sedang dipikirkan. Ah, bukankah setiap hari juga begitu. Selalu direpotkan dengan masalah-masalah -yang menurutku- ndak perlu diributkan. Si bapak Daud jangan ditanya. Bliau ini tetap santai seperti biasa. Cengar-cengir. Seperti tidak terjadi apa-apa. Aku tetap sulit memahami cara berfikir bapak Daud. Hidup ya mengalir saja. Seperti kopi ditenggorokan. Seperti asap kretek dji sam soe di kerongkongan.
Aku tak juga beringsut dari tempat dudukku. Seperti sudah dikomando, mamak sama bapak Daud duduk berjejer. Tepat di depanku. Hanya dipisahkan gang buntu. Ada tiga kursi kecil di sana. Tempat biasa kami ngumpul.  Kali ini mamak terlihat lebih serius. Sementara bapak Daud terlihat makin santai. Nikmat sekali melihatnya menyedot keretek. Mesti tak lengkap. Kopi sepenuh hati mamak belum jadi. Airnya belum mateng. Takkan ada yang lebih mengganggu pikiran mamak selain sulungnya Uri. Sekarang Uri kelas tiga SMA. Mamak tentu bingung bagaimana nanti si Uri. Keluarga mamak memang tak punya banyak referensi. Mas bro sekalian juga tau, tak banyak perempuan betawi bersekolah tinggi. (Untuk statemen ini saya mohon maaf sebesar-besarnya, semoga hanya terjadi di gang buntu). Begitu lulus sekolah –kadang SMP atau SMEA- langsung dinikahkan. Budaya seperti ini sebagian masih jadi kebiasaan. Perempuan yo Dapur, Sumur, Kasur. Sebuah Ironi.
“Bagaimana ini om?” tanpa ba bi bu mamak langsung memulai pembicaraan.
“Bagaimana apanya mak?” aku jawab sekenanya. Si bapak Daud menyedot keretek semakin dalam. Sedotan terakhir.
“Si Uri lah om?, kan udah selesai ujian. Trus mau gimana om?
Mamak bertanya semakin serius. Penginnya nongkrong di sini biar santai, eh malah diajakin ngobrol serius. Seserius raut muka mamak seperti sekarang. Seserius sedotan bapak Daud di sisa puntung rokok.
(Maafkan bukan bermaksud mengeksplor iklan rokok. Tapi memang tidak ada yang lebih serius bagi bapak daud selain saat merokok, terutama di detik-detik terakhirnya.)
“Maksudnya bagaimana mak?” aku menyelidik.
“Yaitu om, nyari tau cabangan kek.”
“Ato nyariin lowongan buat Uri”
“Minta saran dong om?”
“saran apa gitu?”
Aku manggut-manggut. Diam beberapa saat. Tak juga menjawab.
Wajah serius mamak berubah, lebih kelihatan cemas. Kerutan di wajahnya tidak bisa bohong.
Lha ini siapa yang punya anak, siapa yang suruh ngurusi masa depannya. Lha yang njalani hidupnya yo Uri-uri juga.
“Kalo mamak minta pendapat saya, yo Uri harus sekolah lagi.”
 “Lagian jarang-jarang ada orang jakarta yang merantau jauh”
“Perempuan lagi.”
“Apa ndak hebat itu, sekolahnya tinggi.”
“Apa ndak keren itu mak?”
Mata mamak berbinar. Ada perasaan bangga di sana. Sebentar kemudian ditekuk lagi. Apa mungkin bisa?
“Tapi bagaimana biayanya nanti om?”
“Om tau sendiri sekolah SMA saja sudah mahal begitu”
“Bagaimana kuliah nanti?” mamak semakin kawatir.
Melihat Uri menjadi sarjana sepertinya cuma mimpi. Terlalu jauh dari kenyataan. Utophia bahasa kerennya. Bukankah kita sering kali begitu. Berhenti berharap dengan yang belum terjadi. Menggunakan akal kita yang sangat sederhana ini untuk mendahului takdir. Takdir yang Maha Kuasa. Dzat Yang membelah laut merah menjadi jalanan yang luas. Yang menjadikan bulan terbelah menjadi dua. Yang menjadikan matahari berdiam di peredaraannya. Sedangkan ini hanya urusan kecil saja. Pasti mungkin. Bergantung pada kita yang memperjuangkannya. Niatkan sepenuh hati. Kerjakan dengan sekuat tenaga. Kemudian serahkan hasilnya kepada yang punya Kuasa. Yang punya manusia.
“Mamak benar-benar pengin Uri sekolah lagi?”
Dijawab dengan anggukan. Mamak telihat lebih antusias.
“Sebenarnya kuliah itu ndak harus mahal-mahal mak..”
“Bahkan, kalo uri bisa diterima di tempat yang tepat, insyAlloh tidak akan lebih mahal dari biaya sekolah uri selama ini ma...”
“Lha gimana caranya itu om? Masak kuliah lebih murah dari SMA. Bukannya tingaktannya kan lebih tinggi?”
Mamak penasaran. Ingin tau. Mencoba berlogika.
“Lha ya harus nyari tempat kuliah yang jauhan dikit. Biar biayanya lebih murah.”
“ Jangan lupa.”
“ Semahal-mahalnya Kuliah di negri tetap saja masih lebih murah dari pada kuliah di swasta ma.”
“Lha kata tetangga kemarin nyekolahin anaknya di UNJ, mahal banget om?”
“Katanya, uang pangkalnya saja sembilan juta.
“Lha dia bisa mbayarnya, lha kita?”
“Uangnya dari mana om?”
Masuk akal juga alasan mamak. Bukankah bapak Daud seorang buruh pabrik. Tidak sedang merendahkan, namun susah dihitung dengan matematika. Pendapatan bapak Daud tidaklah besar. Mamak membantu apa saja untuk menopang kebutuhan keluarga. Ya mencuci baju orang, ya momong anak orang, ya macem-macemlah. Untuk kebutuhan sehari-hari berikut menyekolahkan anak-anak. Apalagi harus menyekolahkan sampai dengan tingkat perguruan tinggi. Bagamana mengaturnya, bagaimana mencukupkannya. Betapun kuliah itu murah. Tetap saja butuh biaya yang tidak sedikit. Tak semua orang tau bagaimana cara  ngakalinya.
“Kan ada beasiswa mak?”
“Trus mbayar uang bangunananya kan bisa dicicil mak”
“Tapi kan kalo segitu tadi kan banyak mbanget om”
“Kalo dicicil juga kapan lunasnya...” mamak memotong buru-buru.
Aku tersenyum. Masuk diakal juga.
“Trus buat makan sehari-hari di sana gimana om?”
“Buat buku, photo kopi, dan lain-lain,  tetek mbengek, dan segala macemnya gimana om?”
“Lha kemarin pas di SMA saja ribet mbanget, apalagi kalo ntar kuliah?”
“Pusing om, waduh... duh..  duh..” mamak kembali berargumen.
Tak lupa bumbu lebai, nepok-nepok jidat.
Aku kembali tersenyum. Sedikit berbeda. Aku memasang gaya bijaksana. Macam Pak Bina di serial Mbangun Desa dulu. Masih ingat kan, itu lho gerombolannya Den Baguse Ngarso, Sronto, sama juragan antagonis si Kuriman yang selalu mbikin onar. Berikut argumen-argumen masuk akal, yang justru menambah runyam suasana. Kalo yang jaman kecilnya suka nonton TVRI pasti lah tau sinetron ini. Intinya si Pak Bina ini tokoh paling bijaksana. Yang memberi solusi untuk semua permasalahan. Masalah bagi Den Mbagus yang kemaki plus sok tau. Trus menjembatani Sronto sama istrinya yang lugu dan selalu dikerjai dan dimanafaatkan. Ya sama den bagus, ya sama kuriman. Lha kalo aku ini jelas bukan Pak Bina. Tapi gayanya tok yang mirip. Padahal sok tau. Namanya juga lagi memberikan semangat buat orang lain. Kudu optimis. Harus bisa meyakinkan orang yang diajak bicara. Tidak lupa ditambah bumbu-bumbu pengalaman pribadi. Wis mantap pokoke lah.
 “Begini mak, mamak mau melakukan apa saja biar uri bisa sekolah?”
Mamak mengangguk.
“Kalo mamak pengin Uri sekolah, Pertama mamak harus ikhlas pisah dengan uri”
“Biarkan ia merantau jauh, biar biayanya lebih murah”
“Kalo sekolah di daerah, apalagi yang negri kan biayanya murah”
“Mungkin di Semarang, solo, ato jogja mak”
“Nah, asalkan mamak mau menyisihkan uang sedikit lagi dari biasanya, insyaAlloh akan cukup”
“Pas SMA uri mbayar brapa mak?”
“Tiga ratus mapuluh om?”
“Sebulan?”
“iya Om, namanya jakarta, apa-apa mahal, sayuran aja mahal, apalagi sekolahan”
“Nah, klo Uri bisa sekolah di daerah, Mamak perlu nambahin sedikit lagi.”
“Ya sekitar tiga ato empat ratus ribu lagi”
“Itu cukup untuk SPP, sama biaya hidup Uri di sana nanti”
“InsyAlloh mak..”
“Itu beneran om?”
Aku mengangguk. Kali ini anggukanku lebih mantap. Menyemangati mamak.
“Lha terus nyari tambahanya itu om yang susah?” Ada saja argumen mamak.
Aku tidak menjawab. Aku mengarahkan pandanganku ke bapak daud. Masih sibuk dengan batang kreteknya. Pandangannya meleng. Tapi telinganya tajam mendengarkan.
“Beh, babeh kalo ngrokok sehari paling ndak habis sebungkus kan?”
Yang ditanya tidak menjawab. Hanya menyeringai. Ya begitulah.
“Nah mak, Rokok sebungkus kan harganya sepuluh ribu”
“Kalo sehari sepuluh ribu, kalo sebulan kan berarti tiga ratus ribu mak”
“Suruh saja si babeh berhenti merokok?”
“Mana mau Om, orang udah kebiasaan gitu”
Suara mamak meninggi. Sebel lihat suaminya tiap hari mbakar duit.
“Lha itu kan baru salah satu contoh, yang lain kan masih banyak lagi”
“Kalo masalah ini, silakan bapak Daud yang milih”
“Apa milih merokok, atau mbiarin anaknya yang lagi sekolah dirantau sana kelaparan?”
Mamak terlihat optimis. Mata kanan mamak melirik ke arah bapak Daud. Dengerin tuh.
“Pokoke dicoba dulu mak”
“Ikutan ndaftar perguruan tinggi, apa itu namanya SNMPTN”
“Berusaha dulu, nanti hasilnya seperti apa, serahkan saja kepada Yang Punya Kuasa.”
“Kudu tetep optimis, ndak boleh putus asa”
“Dan Jangan lupa itu mak, urusan rokoknya bapak Daud,”
“Kan lumayan bisa ditabung. Buat sekolah anak-anak”
Suara motor kencang berbunyi. Lewat di depan kami. Tetangga sebelah pulang kerja. Sempurna memotong sebentar perbincangan kami. Gang buntu memang sempit. Tapi hati-hati kami para penghuni gang buntu senantiasa lapang. Ada masalah kita biacarakan bersama. Ada makanan, ya kita habiskan bersama. Seperti apapun masalah yang ada selalu ada penyelesaian sesudahnya.
Uri muncul dari balik pintu. Membawa nampan berisi minuman. Teh manis untukku, dan kopi sepenuh hati untuk bapa Daud. Sedari tadi ia mendengarkan perbincangan kami dari dalam. Wajahnya berbinar. Ramai seperti gang buntu. Bersiap menjemput masa depanya yang cemerlang. Tetap semangat Ri. Semoga Alloh menunjukan jalan yang baik. Menganugerahkan takdir kehidupan yang luar biasa untukmu. Menjadi pembeda untuk orang-orang disekelilingmu. Semoga Alloh mengabulkan.  InsyaAlloh.

2 komentar: