Selasa, 29 Mei 2012

Dilema Imam bag III: Bekam ke-3


Hari Sabtu beberapa waktu yang lalu...
“Boz... pelan-pelan dong..!!”
“MasyaAlloh sakit banget..!”
Aku mengeluh. Eh melenguh. Menahan sakit dan ngilu. Imam asyik memencet salah satu jari kakiku. Kelihatan biasa saja. Tapi kalau engkau ikut merasakannya. Sungguh ngilu luar biasa. Sakitnya sampe ke ubun-ubun. Sekujur tubuhku sampai mengeluarkan keringat dingin. Tak tahan aku menahan sakit.
“Brisik...” Imam membentak.
“Kalo mau sehat ya nurut !!!”,
“sakit dipelihara...”
 ia nampak puas. Cengar cengir. Bahagia sekali melihat penderitaanku ini.
“Wadow!!!” aku menjerit lagi.
Imam tak juga mengendurkan pencetan  tangan di kakiku. Genap sudah sepuluh jari kakiku dipencet-pencet imam. Genap sudah penderitaanku sore itu. Eh belum ding, kan belum dibekam. Tusukan jarum bekam benar-benar maknyus. Sakit clegit-clegit. Namanya, orang ndak sehat, disenggol sedikit saja, sakit rasanya.
Selain bekam dan jualan jamu herbal,  Imam punya keahlian memijit. Pijat refleksi istilahnya. Jadi apapun sakitnya, imam tak menyentuh langsung bagian yang sakit. Namun memijat seputaran tangan dan kaki.  Imam biasanya mendeteksi penyakit pasien dengan melihat mata, kuku, lidah dan gerak badan pasien. Kemudian, untuk memastikan perkiraan ato bahasa kerennya hipotesis, imam memencet jari-jari  kaki atau tangan pasien. Setelah itu baru melakukan bekam atau pun memberikan racikan jamu herbal. Kalo tak pikir-pikir imam sudah seperti tokoh Jang Geum di sinetron favouritku. Jewel in the Palace. Itu-tu dokter korea yang super cantik, pekerja keras, dan paling hebat mengobati para pasien. Baik permaisuri maupun sang raja. Tenang bro, aku tak begitu maniak dengan sinetron korea.  Selain sinetron itu aku males nonton, takut kecanduan. He he he he. Lha wong baru satu sinetron  saja sudah tak koleksi itu sampe 22 gigabyte di hardisk. Ngebak-ngebaki to? Apalagi kalo nonton yang lain juga. Bisa-bisa felm yang lain ndak kebagian.  Padahal sebenarnya tetep saja karena alasan yang pertama.
Oke kembali ke laptop.
Puas memijat kakiku, imam menyiapkan alat bekam. Ini kali ketiga aku dibekam. Waktu pertama kali dibekam, tubuhku serasa lemas semua. Seperti tak lagi tersisa darah dibadan ini. Lebay.com.  Kedua kali, sedikit segar. Tapi jangan tanya di urusan makan. Tambah rakus saja setiap hari. Mudah-mudahan yang ketiga kalinya akan terasa baikan. Kembali segar berenergi. Wes hwes hwes... bablas angine... (Alm. Basuki Mode:On).
“Enak ya kerja di Proyek yo?” imam mengelap punggungku dengan sesuatu.
Aromanya tak asing. Minyak klentik.
Aku menjawab dengan Aww lagi. Imam memijit titik akupuntur di punggung sana.
“Urip yo sawang-siwangan om..”
“Yo ndak bisa kerjaan kita dibanding-bandingkanlah...”
“profesi kita kan beda”
“Saya mah ndak neko-neko om”
“Saya digaji dari yang saya kerjakan saja”
“Gajiku ya rejekiku tiap bulan, cukup ndak cukup ya harus dicukup-cukupin..”
“Sebesar apapun gaji kita, sebenarnya ya cukup”
“Kitanya saja yang neko-neko, pengin ini pengin itu, macem-macem pokoke”
“Lha mau ngorupsi ya buat apa om, kalo dimakan yo ndak jadi daging, kalo jadi daging ya pol-pole Cuma jadi daging penyakit, ya kolesterol, ya tumor, ya sebangsanya itulah ...”
Imam mengelap sisa darah di punggungku. Memasukan ke dalam kantong keresek, bersama tisu kotor dan jarum sisa bekam. Alat bekam diletakan di sebelah washtafel, segera dibersihkan. Agar darah tak lekas mengering, mengurangi higienitas peralatan. Rasa perih terasa saat cairan dibalurkan. Tak asing juga. Ini aroma alkohol kadar rendah. Revanol. Aku masih tidak mengerti urusan alkohol ini. Alkohol memang dihukumi harom apa bila di konsumsi (dimakan atau diminum). Tapi bukankah Alkohol tidak najis? waAllohu ‘alam.
“Wah kowe iki iso bae gole njawab yo”
(Wah kamu ini bisa saja njawabny yo)
Imam meratakan basuhan revanol. Aku meringis, perih sekali.
“Lha terus mau gimana?”
“Namany orang hidup itu yo sepaket”
“Kita mewarisi rasa ingin memiliki, ingin menguasai, ya to?”
“Itu yo fitroh, bawaan lahir”
“kalo kita punya rasa iri, pengin punya yang orang lain miliki yo sudah sewajarnya om...”
“Tapi sering kali kita ini lupa, setiap keinginan ada konsekwensinya,”
“Setiap yang kita miliki itu amanah, dan tiap-tiap amanah ada pertanggungjawabannya”
“Ya tanggung jawab di dunia, ya tanggung jawab di akherat”
“misalnya?” Imam menyela. Aku lihat lebih mirip ngetes.
“kalo kita punya montor, enak bisa dinaiki kemana-mana”
“Ndak perlu jalan kaki, ndak perlu bercapek-capek”
“Tapi yaitu, harus diisi bensin, ban diisi angin, kalo rusak harus dibeneri.”
“Ada biaya, ada pengorbanannya”
“Contoh lain lagi....”
“Punya anak, punya istri, sama juga begitu... “
“Ndak bisa Cuma dibangga-banggakan tok, ada konsekwensinya itu?”
“Harus dijaga sebaik-baiknya..”
“Harus dididik yang benar, yang baik, ya pengajaran agama ya pengajaran ilmu pengetahuan”
“Ndak Cuma dikasih makan, makanan yang (harus) halal, sumber nafkahnya (harus) benar”
 Imam manggut-manggut. Mengiyakan.  Kedua tangan imam asik menari di pundakku. Aku nyerocos terus sedari tadi. Kapan lagi terus dipijit begini. Semua orang juga tau. Aku ini ibarat menggarami lautan. Imam tetap jauh lebih paham urusan agama dari padaku. Beliau ini lulusan pesantren ternama, lha aku ini yo mung pinter ngomong saja. 
Kullukum ro'in, wa kullukum mas-ulun 'an ro'iyatihi...
Spontan Imam membacakan sesuatu. Aku agak sedikit familiar. Ingat-ingat jaman sekolah dulu. Pas pelajaran pengajian. Lha bagaimana mau paham, kalo diterangkan tauziah kan hobinya ngantuk. Jadi yo dengarnya separo-separo. Sriwing-sriwing gitu.
Setiap kalian adalah pemimpin, dan setiap peminpin akan dimintai pertanggungjawaban atas apa yang dipimpinnya.” Imam melanjutkan.
Terbukti kan, dihadapan imam aku ini sangat kecil. Imam hapal di luar kepala. Imam jauh lebih paham maknanya daripadaku. Imam rajin mengamalkanya. Dengan caranya.
“Ya kira-kira begitulah maksudku om.” Aku ngeles. Sok tahu.
“Ha ha ha ha ha.” Kami berdua tertawa. Menertawakan diri sendiri. Aku menertawakan sok tahuan ku. Imam tertawa karena bliau sukses mengajariku urusan ini. Tak dipungkiri, aku dan imam memang punya banyak kesamaan.  Selain ukuran tubuh kami, kami sama-sama model pria “mercon renteng” meletup-letup.  Berekspresi spontan. Bereaksi sedikit berlebihan.
Ups salah. Aku buru-buru menutup mulut. Kami tertawa terlalu keras barusan. Aku lihat fikri bergerak-gerak. Terbangun dari tidur. Tak  bersuara. Hanya kedua mata dan bibir si kecil yang bereaksi. Terganggu oleh kelakuan kami.
Kata mba Nur –istri Imam- sudah dua hari ini fikri demam. Panas tinggi, sampe 39 derajat celcius. Ia Lebih banyak istirahat,  tergolek di dipan dari pada dibawa jalan-jalan. Seandainya, fikri sehat sepertia nak-anak yang lain, mungkin sudah mengatakan sakitnya. Dimana yang sakit. Umur fikri sudah hampir tiga tahun sekarang. Semestinya sudah bisa berjalan. Berlarian ke sana-kemari seperti anak-anak kebanyakan.
Terapi hari ini selesai sudah. Aku harus segera pamit. Urusanku masih banyak. Biasa, sok sibuk gitu. Tadi imam juga bilang, ia mau kondangan. Fikri sakit, jadi tak bisa diwakilkan mba Nur. Ia harus datang. Tak enak aku berlama-lama di sini. Biar sama-sama nyaman. Toh bulan depan masih bisa main ke tempat imam lagi. Masih bisa ketemu lagi. InsyaAlloh. 
Saat pulang, imam membawakanku sebungkus “jamu godog” dan sebotol kecil madu setengah kilogram. Saat berpamitan, sekilas aku melihat ke arah fikri. Agak lama. Sesuatu sedang terjadi. Entahlah.  Mudah-mudahan tidak terjadi apa-apa. Mudah-mudahan fikri sehat kembali seperti sedia kala.


Tidak ada komentar:

Posting Komentar