Minggu, 19 Februari 2012

Janji Mulia, di Hari Kedua

Pertengahan September 2002
Aku belum genap dua bulan menginjakkan kaki di Jogjakarta. Kota gudek, kata orang. Yang lain lebih suka menyebut kota pelajar. Yang lain lagi menyebut kota budaya. Aku memilih Jogjakarta kota impian. Tempat mengadu nasib, menjemput cita-cita. Tak pernah terpikir bisa belajar di kampus  ini. Kampus rakyat yang besar prestasinya, besar tempatnya dan besar pula biayanya.
Hari ini hari ke dua kuliah. Jam dinding belum tepat pukul delapan. Kami Masih semangat, layaknya api yang baru disulut. Masih menyala besar. Euphoria anak muda.  Ruang kuliah ramai. Sebagian berebut mencari tempat duduk. Rebutan di belakang. Sebagian memilih duduk-duduk di koridor. Menunggu dosen. Siapa tau ada mahasiswi jurusan lain lewat. Itikiwiirrr…..
Di barisan belakang, terdengar yang paling riuh. Dua barisan terbelakang. Berisi anak-anak aneh. Berisik.  Ada yang usil saling mengerjai. Aku tetap tidak paham –bahkan hingga sekarang- bagaimana mungkin? Entah mereka sangking pinternya, sampai kekuarangn usaha untuk menghabiskan energy, entah karena beruntung bisa diterima di kampus ini. Tebakanku tetap yang pertama. Saat engkau sangking cepatnya bergerak, maka engkau akan kehabisan hal yang harus diselesaikan. Sehingga akan mencari cara untuk menghabiskan energy. Mencari-cari masalah.
Dibarisan tengah lebih tenang. Barisan ini berisi orang-orang unik. Tampang culun. Berpakaian kota-kotak, dimasukkan ke celana. Bersepatu hitam bertali merk “warior”, dengan garis putih yang mulai berwarna kecoklatan. Jarang dicuci. Sedikit kebesaran. Rambut cepak. Nampak bingung. Menengok sana sini. Sebagian memberanikan  mengobrol dengan teman di samping kanan-kiri. Bertanya asal dan  alamat. Sekedar formalitas. Sebagian lain memilih diam. Ngantuk.  Mungkin kebanyakan sarapan. Mungkin juga tak bisa tidur semalaman, tak terbiasa tidur di kosan. Jauh dari rumah dan orang tua.
Dua barisan paling pertama selalu duduk orang-orang  pinter. Awalnya itu hanya dugaanku. Dan pada akhirnya terbukti begitu. Tipe kamus berjalan. Segala tau. Gengsi kalo sampe ada informasi pengetahuan terbaru tidak tahu. Ngalah-ngalahi simbah. “Simbah google”.  Bermata empat, alias berkacamata super tebal. Macam pantat botol.  Berambut klimis. Berbaju rapi, -atas putih, bawahan hitam-  dengan bekas garis sertikaan yang masih tercetak jelas di baju dan celana. Sepatu pantovel super mengkilap. Sibuk membaca, buku-buku super tebal. Entah kamus entah ensiklopedia. Mengacuhkan keadaan sekitar. Terlihat asocial. Belakangan kata mereka, ini tentang efektivitas. Memanfaatkan waktu sebaik mungkin. Update status, bahwa ilmu yang harus diketahui jauh lebih banyak dari waktu yang dimiliki.
Aku memilih bangku paling depan, tentu dengan beberapa alasan. Pertama karena aku kepengin seperti orang-orang dibarisan terdepan, ketularan pinter-pinter. Kedua, Karena alasan fisik –tak kelihatan kalau duduk dibelakang-. Kebiasaan ini kubawa dari SMA. Karena hampir selalu datang paling akhir. Mau tak mau aku duduk di satu kursi tersisa. Di depan guru. Dan tentu alasan terkuat adalah alasan kedua. Semoga saja alasan pertama ikut nyamber, ketularan pinter.
Kami berseratus dua puluh tiga –pada awalnya- satu angkatan. Entah tinggal berapa saat kami –satu-persatu- lulus, meninggalkan kampus. Hanya ada satu perempuan diangkatanku. Satu mahasiswi diantara seratus dua puluh dua mahasiswa. Kelihatan janggal, tapi memang begitulah kenyataannya. Seperti bidadari di sarang penyamun.
 Perempuan memang makhluk langka di jurusan ini. Dosen perempuan pun nyaris tak ada,  bisa dihitung dengan jari. Kalau saya perhatikan, hanya ada tiga dosen perempun. Itupun hanya satu yang mengajar kami, dua yang lainnya tidak sempat, tepatnya tidak akan pernah. Jadi jangan coba-coba bertampang aneh-aneh, terutama bagi perempuan. Agar nasibnya tak seperti dosen tamu beberapa waktu lalu. Dosen muda itu dikerjain habis-habisan. Siapa suruh berpakaian aneh, berpenampilan “pink” sepanjang badan. Dari ujung rambut sampai sepatu. Kalau ingat peristiwa siang itu, aku masih sering tertawa sendiri.
Tapi ya sudah, di terima saja. Belakangan Ratna –satu-satunya perempuan di angkatan kami- jatuh cinta pada jogja. Dibela-belain pindah rumah sekeluarga dari riau. Keterusan. Enggan meninggalkan tempat itu.  Semoga saja beliau sudah lulus. Terus sukses karir dan usahanya.  Tak putus ditengah jalan. Seperti beberapa sahabat-sahabat yang lain.
Sekarang pukul delapan lewat sepuluh menit. Pintu terbuka tepat jarum terpanjang “detikan” melewati melewati angka dua belas. Seorang lelaki paruh baya masuk ke ruangan. Spontan menghentikan semua keriuhan di dalam kelas. Mengunci semua mulut anak-anak di barisan kursi belakang.  Menghentikan si mata empat membaca. Menambah grogi anak-anak di bagian tengah. Dan tentu saja, menghentikan lamunanku.
Ia seorang lelaki paruh baya. Menggunakan setelan jas berwarna abu-abu. Dengan dasi garis-garis berwarna biru. Rambut disisir klimis, dengan hiasan putih-putih yang nampak dominan di kepala. Rambut uban. Pertanda usia. Tak seperti bayangan dosen umumnya, beliau tak terlihat menyeramkan. Tidak killer seperti dosen hari kemarin.
Setelah meletakkan tas jinjing warna pekat. Pak dosen mengambil kapur, dan menuliskan sebuah nama di sana. Diikuti kuliah yang akan bliau ajarkan kepada kami semester ini. Tidak banyak. Tak disangka, yang akan diajarkan biasa saja. Seperti mengulang pelajaran di SMA.  Aku pikir akan seperti apa. Ternyata sama saja. Pelajaran itu-itu juga.
Pak dosen kemudian duduk di kursi. Kedua tangannya bersedekap di dada. Tersenyum kemudian.
“Selamat pagi”
“Pagi”
Dijawab sekenanya.
“Pertama kali, saya ingin mengucapkan selamat kepada kalian semua.”
“kalian adalah orang-orang pinter.”
“Orang-orang yang dipilih, diseleksi dari ribuan orang seantero Indonesia”
Bangga kami di puji, sebagian menyeringai, tak mengerti bagaimana harus berekspresi.
“Kalian,  para –calon- sarjana adalah orang-orang hebat di Negara ini”
“Kalian bertanggung jawab pada perubahan dan perbaikan Negara kita di masa mendatang”

“Kalian..”
“Para –calon- sarjana…”
“Orang-orang pinter”
Berhenti sejenak.
“semestinya lebih bisa memahami orang lain”
“Orang-orang yang, baik secara pendidikan formal atau yang pengetahuannya lebih rendah dari pada kalian semua.!!”
“Pengetahuan kalian bukan untuk gagah-gagahan.”
“karena yang diketahui lebih banyak dari pada orang lain, sering kali orang-orang pinter itu tertipu”
“tak sabaran, kemudian menjadi arogan”
Kami terdiam. Masing-masing terbang ke angan-angan. Bahwa menjadi mahasiswa  adalah amanah. Setiap amanah ada konsekwensinya. Ada pertanggungan jawabnya.
“saya tidak tahu..,”
“Diantara kalian tentu ada yang memiliki orang tua sarjana, ada pula yang tidak, mungkin malah tidak sekolah”
“Ada pula yang berasal dari kota, tentu ada yang berasal dari pelosok”
“Ada yang orang tuanya kaya raya, ada pula yang pas-pasan”
“Maka saya ingatkan kepada kalian”
“Sehebat apapun kalian nanti?”
“sampai di mana kalian akan pergi?”
“Ingat-ingatlah”
“Ingatlah siapa kalian sebenarnya”
“Dan dari mana kalian berasal !!!”
Kami diam lagi. Ruangan semakin sepi. Berkebalikan dengan saat kami masuk tadi.
“yang membedakan kalian dengan orang lain adalah..”
“kalian semestinya memiliki cara berfikir yang berbeda”
“Kehadiran kalian adalah sebagai pencerah, sebagai solusi bagi masarakat di mana kalian nanti tinggal.”
“Bukan sebagai sampah, ngakali aturan yang ada”
“Kemampuan besar selalu diikuti tanggung jawab yang besar pula”
“Berlakulah mulia, jadilah penyebab bagi orang banyak”
“berbuatlah sebanyak-banyaknya untuk kesejahteraan masarakat.”
“Karena di masa depan, kalian yang akan meneruskan Negara ini, menggantikan kami-kami yang sudah tua.”
“sekali lagi saya ucapkan selamat belajar !!”
“selamat berjuang !!”
Tersenyum kemudian.
“Kuliah hari ini sampai di sini saja.”
“Kuliah dilanjutkan minggu depan.”
“Siapkan bab pertama. Siap-siap ada kuis”
Kami yang sedari tadi diam mendadak ribut. Dan serempak ber- “Huuuuuu… “ bersama.
 Tanda perjuangan segera di mulai. Perjuangan menggapai asa. Menjemput cita-cita. Janji tetang kehidupan di masa depan yang lebih baik.
Kuliah bubar. Pak dosen meninggalkan ruangan. Diikuti sebagian besar dari kami. Sebagian yang lain tetap di kelas. Melanjutkan keributan yang terhenti tadi. Aku masih duduk di kursi kuliah. Tak beranjak. Merenungi kuliah tadi. Mencoba memahami.
“Semoga saja aku bisa.”



Tidak ada komentar:

Posting Komentar