Minggu, 12 Februari 2012

Dilema Imam

Hari masih pagi. Kampungku sudah sejak tadi terbangun. Sejak mbah Saidi mengumandangkan adzan subuh dengan suara amat cempreng. Dari simbahku yang masih dijaga baik oleh orang-orang tua. Memaksa semua orang terbangun. Memaksa semua jangkrik berhenti menderik. Memaksa semua ayam berhenti berkokok. Kalah saing.
Kampungku memang sangat indah. Hamparan sawah nampak berwarna hijau zamrud. Dilatar belakangi pegunungan biru. Memanjang dari utara ke selatan. Puncak-puncak pegunungan nampak berebut sebagai yang paling tinggi. Menyembul diantara kabut pagi yang mulai menipis. Pemandangan akan semakin indah saat matahari semakin meninggi.  Kabut putih akan tergantikan cahaya emas matahari. Menampilkan pemadangan sempurna, hijau zamrud persawahan, biru berlian pegunungan.
 Aku menghirup nafas dalam-dalam. Menikmati kesegaran udara pagi pedesaan. Basah, segar, mengisi penuh paru-paruku. Kemudian menghembuskannya kembali. Bersama semua kepenatan yang aku rasakan. Sampai umurku yang sudah dua puluhan. Hanya sedikit yang berubah. Aku memang kehilangan lapangan bola di belakang rumah. Namun, sawah dan pegunungan di utara sana tidak berubah. Selalu indah saat di pandang. Insah dinikmati. Menghilangkan semua persoalan dan masalah. Meski barang sejenak saja.
Seperti hari biasa, pagi seperti ini selalu ramai. Banyak orang berjalan pagi. Ada yang sendiri-sendiri, ada yang berombongan. Katanya biar tetap sehat. Sekelompok anak-anak tanggung nampak  ramai berjalan bersama. Menyapa saat bertatap denganku. Nampak dua adikku juga ada di rombongan itu. Ini hari minggu. Semua sekolah libur. Waktunya main bola.
Di ujung jalan, nampak dua orang sedang berjalan beriringan. Berjalan ke arahku. Ritual jalan pagi selalu sama. Berjalan ke gedung sekolah SD di ujung desa, kemudian berbalik. Kembali ke rumah masing-masing. Sepertinya sepasang suami istri. Yang putri nampak menggendong seorang bayi. Sesekali terlihat saling bicara. Membicarakan sesuatu. Aku mempercepat langkahku. Sepertinya aku mengenal salah satu dari mereka. Memang benar, dia teman lamaku.
“Assalamu’alaikum”
“Wa’alaikumussalam warokhmatulloh”
Kami bersalaman.  bepelukan agak lama. Betapapun ini bukan pertemuan pertama setelah berpisah lama.  Kami memang sahabat karib. Setiap kali kami bertemu. Semua kenangan masa lalu akan selalu terbayang. Melintas begitu saja, seperti burung-burung pipit yang sedang berterbangan di persawahan.  
“Ini istriku..” sobatku menunjuk
Yang ditunjuk tersenyum. Mengatupkan kedua tangan. Aku mengikuti. Mengatupkan kedua tangan di dada. Bukan muhrim. Tak perlulah bersalaman.
Aku melirik perempuan di samping sahabat lamaku ini. Seorang perempuan cantik. Penampilanya  sangat sederhana. Mengenakan baju kurung panjang berwarna hijau. Kerudung putih sempurna menutupi aurotnya. Khas pakaian santri. Yang dilihat menunduk, Nampak sibuk memperbaiki posisi kain penggendong bayi. Sedari tadi sudah mulai melorot. Gesekan sepanjang jalan-jalan. Di gendongannya nampak seorang bayi sedang tertidur pulas. Sesekali terlihat menggeliat. Menggerakkan bibir mungilnya. Enggan membuka mata. Silau sama matahari.
 “Dia ini wanita solehah, asli pondok pesantren” ia mengangkat jempol.
“Insya Alloh bahagia dunia akhirat”
Aku mengamini. Tak mau banyak bertanya. Enggan membahas. Urusan istri masalah sensitive. Dan percuma berdebat. Ujung-ujungnya Cuma di “cengi”. Diledek tiada henti.  Kalau sudah waktunya juga nanti dapat. InsyaAlloh. Kalau istilah abg-abg labil jaman sekarang. “akan indah pada waktunya”
 “Kamu kapan boz?”  aduh pertanyaan ini muncul lagi. Males aku menjawabnya.
“Kerja terus, mang duitnya buat apa?”
“Ndak dibawa mati juga? Ya kan?”
“Buruan, keburu kiamat!!”
“Ini ni sunah rosul, setengah agama,”
“nanti kalo diakhirat sana kebagian separuh tok surganya”. Aku menepok jidatku. Repot. Kalo ngomong sama ustad. Kebanyakan ceramah. 
Sahabat lamaku ini bernama imam. Kami sudah berteman lama. Sudah jadi hukum alam. Kami bersahabat karena banyak alasan. Karena banyak kesamaan. Sama-sama pecicilan, sama-sama bersekolah di tempat yang sama. Sama-sama punya kekurangan, -lebih tepatnya keistimewaan- sama-sama punya masalah tinggi badan. Kami saling mengenal sejak masih sekolah taman kanak-kanak. Setelah lulus Sekolah dasar kami berpisah. Imam melanjutkan pendidikan di madrasah tsanawiah. Sekalian nyantri di sebuah pesantren terkenal di daerah cilacap. Lumayan jauh dari kampong kami. Sementara aku melanjutkan sekolah SMP di gombong, Sampai SMA. Kemudian melanjutkan kuliah di jogja. Sempurna sudah perpisahan kami. Makin ke sini makin jarang bertemu.
Imam anak yang lincah dan sangat berbakat. Hari-hari kami selepas pulang sekolah diisi dengan banyak urusan. Nyari belut di sawah. Ngejar layangan putus, -selalu tak dapat layangan, kalah sama yang lebih tinggi-. Ciblon di kali saat banjir. Mancing joran di pinggir kuburan yang super seram di ujung kampong.
 Aku lebih suka menghampiri ke rumah Imam untuk mengajak main. Ia berbeda RW dengku. Lumayan jauh. Tentu bukan tanpa alasan, di depan rumah imam ada pohon “basbul” yang sangat enak. Basbul ini model buah langka. Rasanya seperti kesemek. Pohon basbul menjulang tinggi bak pohon cemara. Nyaris tak bisa dipanjat.  Daun basbul lebar-lebar. Kulit luar basbul ditumbuhi bulu-bulu halus yang gatal. Kami harus merontokan bulu-bulu halus itu sebelum memakannya. Terakhir menikmati basbul saat kelas 6 SD, menjelang libur panjang. Menjelang akhirnya di tebang. Punah dari kampung kami. Mungkin punah dari  Indonesia. Lebay.com
Selepas Madrasah aliyah –Setingkat SMA- imam merantau ke Jakarta. Berbekal kemampuan agama dan pengobatan tradisional, imam didaulat untuk menjadi marbot sebuah masjid baru atas inisiatif saudaranya yang lebih dahulu tinggal di sana.  Aku sempat mengunjungi imam beberapa waktu yang lalu. Diantar masku, aku akhirnya mengunjungi imam. Tempatnya lumayan jauh, di ujung timur laut Jakarta.
Imam baru saja keluar dari masjid saat aku datang ke sana. Boleh dibilang kunjunganku adalah pertemuan pertama sejak lama kami berpisah. Aku baru saja lulus kuliah. Sedang sibuk mencari-cari kerja di Jakarta. Aku agak pangling dengan penampilan imam. Imam mengenakan setelan jas warna hijau. Nampak kedodoran, berpeci hitam, dengan sarung kotak-kotak dengan buntelan besar di perut. Nampak sangat berwibawa. Ia tinggal di depan masjid. Di beri sepetak tanah untuk dibangun sendiri sebagai tempat tinggal.
 Tak mau menggantungkan kehidupan sebagai marbot masjid, imam memulai usaha kecil-kecilan. Toko sembako. Untungnya tentu tak banyak, setidaknya ia tak kekurangan. Tak jarang imam rugi. Dagangan imam amblas, banyak konsumen sering menunggak bayaran. Untungnya, Sesekali ada saja orang yang minta pertolongan kepada imam. Semasa di pesantren, imam memang dibekali keahlian pengobatan tradisional dan pijat memijat. Agar setelah lulus, santri bisa mandiri. Tak perlu bergantung pada orang lain. Apalagi meminta-minta. Pantangan bagi imam. Dalam mengobati pasien, Imam tak pernah mematok harga, seikhlasnya saja. Entah sudah berapa orang imam bantu. Ia tidak kaya, masih muda, namun sangat dihormati.
Lambat tapi pasti, usaha imam meningkat pesat. Saat kerja keras imam mulai membuahkan hasil. Imam terpaksa menutup semua dagangannya. Ada saja orang iri yang merasa tersaingi. Ada saja orang iri yang menginginkan imam bangkrut. Tak ingin berseteru, imam memutuskan pindah. Sebenarnya banyak yang keberatan, namun keputusan imam sudah bulat. Menikah menjadi alasan imam untuk pindah. Ia butuh tempat yang lebih luas untuk keluarganya kelak. Bukankah sudah aku katakan kepadamu kawan. Rasa dengki itu sangat berbahaya. Ia menghancurkan diri dari dalam. Merusak kebaikan, seperti api membakar dedaunan.
Imam langsung dinikahkan pak kyai. Tak lama setelah mengajukan keinginan menikah beberapa bulan sebelumnya saat sowan ke pesantren. Langsung dipilihkan santri putri  yang baik oleh pak kyai. Wanita yang sekarang ada di samping imam. Enak juga jadi santri. Tinggal matur langsung dapat. Sayang aku tak dapat hadir dipernikahan imam. Sedang ada urusan di luar kota. Maafkan ya.
“Aih.. aih..  sudah bangun.. ya?”
imam menegok bayi yang digendong istrinya. Manggut-manggut. Pun wanita itu, menengok ke arah gendongan. Keduanya tersenyum. Memanggil-manggil bayinya. Sungguh aku iri melihat pemandangan ini. Semoga kelak bisa berbahagi seperti mereka.  Amin.
Istri imam kembali memperbaiki gendongan si jabang bayi. Bersamaan dengan itu, topi bayi imam tersingkap. Pandanganku tepat mengarah ke bayi imam. Tertahan sebentar. Sesak menahan nafas. Tercekat menahan kata. Aku tidak bisa berkata-kata.
Aku memandangi imam datar. Bertanya-tanya? Kenapa bayimu mam?
“Alloh memang maha adil”
“tak bosan Ia member cobaan kepada kita yo..”
Aku tertunduk. Imam menatap jauh ke depan. Sejauh angan dan cita-cita imam. Sejauh ia telah menahan diri. Bersabar atas segala cobaan. Istri imam juga tertunduk, sibuk memperbaiki gendongan bayi, sibuk memperbaiki topi si bayi. Sibuk menguatkan hati. Si bayi nampak lelah di gendongan, berat menahan beban.  Matanya nanar menatap kami. Menatap percaya pada kedua orang tuanya.  Bahwa suatu saat ia akan tumbuh besar. Sempurna seperti kami semua.
Anak imam didiagnosis menderita  Hidrosefalus. Kepala bayi imam membesar, tumbuh lebih cepat dari bagian tubuh yang lain. Dari buku-buku yang ku baca Hidrosefalus  adalah penyakit yang terjadi akibat gangguan aliran cairan di dalam otak (cairan serebro spinal). Gangguan itu menyebabkan cairan tersebut bertambah banyak yang selanjutnya akan menekan jaringan otak di sekitarnya, khususnya pusat-pusat saraf yang vital.
“Sejak kapan mam?” ragu-ragu aku bertanya.
“sudah sejak lahir”
“Alloh memang menakdirkannya begitu”
“Aku hanya berusaha dan berdoa”
“Sudah dicoba diobatkan ke sana-kemari, namun belum sembuh juga.”
“Mungkin akunya yang masih kurang ikhlas”
“Masih terlalu banyak berbuat dosa”
“Masih terlalu banyak mengeluh”
Aku memegang pundak imam. Memberi semangat. Ikut menatap jauh ke depan. Ke biru pegunungan.
Alloh memang selalu memberi cobaan kepada hamba-hamba yang dicintai-Nya.
“Aku hanya bisa pasrah, yo.”
“sekarang ini, aku ingin berbuat yang terbaik, berbuat baik sebanyak-banyaknya.”
“sambil mencari cara untuk menyembuhkannya.”

“Tak peduli sampai kapan? Aku akan tetap berusaha.”
Diam kemudian. Suara angin semilir pelan. Menggoyang ujung padi  menghijau. Burung-burung pipit berterbangan. Terusik oleh gerakan dedaunan. Menghindar dari ancaman.
Bukankah sudah kukatakan kepadamu kawan, saat melakukan hal yang mulia, maka kita harus tabah. Karena hidup akan terasa tidak adil. Seringkali kita harus merelakan apa yang paling kita inginkan. Namun sungguh besar  penghargaan Tuhan di hari kemudian.

Tangisan bayi imam memutuskan obrolan kami. Mulai siang. Mulai panas. Tentu bayi imam mulai tidak tahan. Istri imam, kembali memperbaiki gendongan. Membenamkan bayi imam lebih dalam, agar tak kepanasan. Kemudian memandang ke arah imam. Waktunya pulang.
Kami pun berpisah. Aku menyalami imam, berpelukan lama.
“sing sabar boz.”
“Pasti ada jalan, InsyaAlloh”
Imam mengangguk mantab. Wajahnya lebih terang. Merasa lebih baik. Kami pun berpisah kemudian.
“Assalamu’alaikum” aku memberi salam.
“Wa’alaikumussalam warokhmatulloh” dijawab mantab keduanya. 
Sementara imam pulang, Aku melanjutkan jalan-jalan. Mencari sarapan pagi, nasi rames buatan mak Atun. Menyusuri jalanan kampung, di pinggir persawahan. Menandangi hamparan persawahan hijau jamrud, memandangi pegunungan membiru. Yang seindah cita-cita imam. yang setegar kesabaran imam.




Tidak ada komentar:

Posting Komentar