Minggu, 18 Maret 2012

Dilema Imam, Bag II


Sudah genap seminggu aku full tinggal di karawang. Kontrakan di cakung harus segera ditinggalkan. Ditinggalkan karena sewanya sudah habis,  ditinggalkan karena memang urusan di kantor pusat sudah mulai berkurang, sementara karawang sudah tidak bisa menunggu. Teman-teman sudah tidak boleh disambi lagi. Harus lebih focus di proyek.
Hari ini, sabtu pertama menghabiskan seminggu di karawang. Biasanya, aku berpetualang ke Jakarta tiap beberapa hari. Namun tidak untuk minggu ini. Target pekerjaan memang mulai banyak. Karawang memang panas. Tapi lebih tenang, jauh dari keramaian dan keruwetan kota Jakarta. Aku bisa berlama-lama nongkrong di bawah pohon belimbing depan rumah kontrakan. Menikmati semilir angin sepoy-sepoy.
Hpku bordering. Ada pesan singkat. Rahmat mengabari.
“Ke tempat Imam agak siangan ya?, soale aku mampir ke tempat temanku, nagih jatah bulanan.”
Aku menjawab singkat.
“Woke”
“Abis dzuhur ya”. Di balas kembali.
“Siip”
Adikku datang tepat aku sedang berkemas. Yang lain juga sedang berkemas. Hari sabtu kerja setengah hari. Masing-masing bersiap pulang. Kembali ke keluarga yang menunggu di rumah. Kami ber lima belas di kantor ini. Sebenarnya kami berdua puluh orang, sebagian memiliki urusan lebih banyak di Jakarta. Jadilah kami berlima belas, lebih dari cukup untuk jadi tim futsal yang kompak. Eh tim proyek yang solid. Semoga sampai selesai, kami tetap utuh. Pekerjaan kali ini bisa selesai sempurna.
Aku bersiap dengan tas kecil di cangklong. Jaket biru kesayanganku. Dan helm merah yang selalu kubawa-bawa kemana saja. Tak lupa mampir sebentar ke Alfamart depan jalan. Membeli air mineral kemasan. Ini perjalanan jauh. Air putih tidak boleh ketinggalan. Air putih itu pesan banyak orang. Ndak boleh dilawan.
Motor Jupiter melaju kencang. Beberapa kali harus memegangi helmku. Takut lepas. Ukuran dalam helm beberapa mili lebih besar dari kepalaku yang selalu kupotong cepak, hampir gundul. Urusan branding. Biar gampang dihafal. Rahmat juga jago ngebut. Saat kulirik, speedometer tak pernah menunjuk dibawah angka 60 km/jam. Saat jalanan lurus dan sepi,jarum speedometer cepat bergeser ke kanan, mendekati angka 90 km/jam. Was wis wus.. kuenceng. Sama seperti iklannya. Untung saja baju kami tidak perlu robek-robek. Ha ha ha ha… lebay.
Kami tiba di rumah Imam, ba’da asar, sekitar pukul setengah lima. Fikri –anak imam- sedang digendong mba Nur –istri imam-. Fikri tampak lemah digendongan, kepalanya terlalu berat. Syukurlah sudah tidak tumbuh membesar lagi. Fikri memang istimewa, nafsu makannya besar, badannya sehat. Bersih terawat. Mba Nur, tampak biasa saja. Seperti tidak ada yang bermasalah dengan fikri. Hanya Mb Nur yang tau bahasa tubuh fikri. Kapant Fikri lapar, haus, buang kotoran, atau juga merasa tidak nyaman. Aku tetap tak mengerti arti cinta ibu kepada anak-anaknya. Maha suci Alloh yang menganugerahkan kasih sayang ibu kepada anak-anaknya. Mba Nur juga begitu, tak perlu ada yang ditangisi, tak perlu ada yang disesali. Ini pemberian, anugerah dari Alloh. Seandainya pun Fikri tak sama dengan anak-anak pada umunya, Ia amanah yang harus tetap di jaga. Tetap banyak hal-hal yang bisa disyukuri.
Imam menyalami aku sebentar. Mempersilahkan. Kemudian meminta Mba nur menyiapkan minum untuk kami berdua. Ada pasien datang. Harus didahulukan.  Aku seharusnya datang setelah maghrib. Menunggu sampai Imam selesai melayani pasien.  Biarkan saja, sembari menunggu, aku bisa melihat-lihat sekitar. Melihat-lihat taman obat di depan rumah imam. Sebagian aku mengenali tumbuhan-tumbuhan itu, banyak tumbuh dipekarangan belakang rumah. Sebagian yang lain baru aku temui sama sekali.  Imam tau semua. Hafal diluar kepala, nama berikut kasiat dan takarannya.
Selepas isya giliranku baru tiba. Aku merasa nyeri luar biasa saat imam menekan salah satu titik akupuntur di punggungku.  Aku berteriak. Eh beristighfar. Sakit luar biasa. Ngilu.
“sering bergadang ya?” imam bertanya singkat.
  “Iya..” masih terasa ngilu.
Bagaimana dia tau?
Biarkan saja, bukankah untuk ini kedatanganku ke sini.
Ini kunjungan keduaku ke rumah imam, setelah bertahun-tahun tak bersua. Ia mewanti-wantiku untuk datang setiap bulan.
“Tak usah bayar’” katanya datar.
“kirim pulsa saja”
“Oke bos….” Jawabku singkat. Melet-melet. Lidahku masih terasa pahit, sisa minum jamu.
Sudah sepakat, sebulan sekali aku harus berkunjung ke tempat imam. Ngambil jamu, ngambil madu. Kalo perlu di bekam. Seperti sekarang ini. Terserah sajalah. Semoga badanku terasa lebih baik sesudahnya. Dan penyakit-penyakit di badan ini lekas hilang. 
Sempurna 16 kop bekam menempel di seluruh punggungku. Aku menolak saat ditawarkan bekam di jidatku. Tak usah saja. Trauma bulan kemarin. Di ledek semingguan.
“Habis berantem di mana mas?”
Yang lain bilang,
“KDPP”
Alias
“Kekerasan Dalam Pekerjaan Proyek”
Wah macem-macemlah ejekannya. Bikin tengsin saja. Prioritasin penyakit yang di punggung deh om. Jangan yang “Mbleber-mbleber” sampe jidat. Rempong mbanget.
Ritual bekam hamper usai. Imam  membersihkan darah kotor di kop bekam. Ditampung saat keluar dari sesetan punggungku setelah di vakum. Sudah seperti jeli. Merah tua, kehitaman.
“Menurutmu aku harus bagaimana yok?” imam memulai percakapan.
Aku masih meringis kesakitan. Entahlah jarum seset imam kali ini terasa lebih tajam. Nyeri sekali sekujur badanku.
“Maksudnya?” sekenanya aku menjawab. Nyeri oy.
“Aku ini Cuma lulusan pesantren, selain ngaji, aku Cuma diajari pengobatan alternative.”
“Pengobatan herbal seperti ini.”
“Ini juga masih belajar..”
“Kamu tau sendiri kan yox, saat maghrib dan isya tadi?”
Aku tak menjawab. Mendongakkan kepala. Melihat kearah imam.
“Sekarang ini orang Islam semakin bermacam-macam saja.”
“Pada beda-beda, mulai nyalah-nyalahke siji liane”
“sebagian nganggap bid’ah, sebagian nganggep syiar”
“aku mesa’ake lihat jama’ah, bingung mereka”
“Aku yo piye…”
“Begini diomong.. begitu dirasani..”
“Wis-wis.. namanya warga itu..”
“Pikirku mbok yao jangan aneh-aneh..”
Imam berhenti bicara tepat saat kop yang terakhir usai dibersihkan. Darah kotor langsung ditampung di plastic keresek. Segera dibuang. Tak ada bau amis darah. Tanda darah penyakit. Imam mengatakan itu tempo hari.
Aku bangkit dari kamar bekam. Mengenakan kembali kaos yang sedari tadi kutanggalkan. Sembari merapikan baju. Aku berjalan ke ruang depan rumah imam. Tempat ia menggelar bermacam-macam obat-obatan herbal. Dari biji-bijian, dedaunan, akar-akaran aneka parem kocok dan lain sebagainya.
Rupanya imam sudah duduk di sana.  Nikmat menghisap rokok kretek. Sejak tadi sore belum sebatangpun disulut. Aku hanya menyeringai. Duduk menyampingi. Tak berkomentar. Bagaimanapun imam tumbuh dalam tradisi pesantren tradisional. Rokok tidak dilarang di sana. Tempo hari saat dia menanyakan hukumnya padaku. Kujawab sekenanya.
“Bos.. setahuku rokok itu ndak ada contohnya di jaman nabi.”
“Ndak ada hadisnya pula rosul membolehkan ato melarang.”
(kalo yang ini sok tau banget, blum ngecek kitab hadist, sok-sokan)
“Aku ndak mau berdebat sama ustadz kaya sampean ini.”
“Semua orang sudah tau manfaat dan bahayanya. Jadi monggo silakan saja.”
“Tapi, kalo nanti ada yang sakit gara-gara rokok.”
“Ojo sambat. Jangan mengeluh. Rasakan sendiri.”
“ha ha ha ha ha….” Kami semua tertawa. Imam tertawa nakal.
Dari dalam ruangan. Mba Nur membawa nampan berisi dua gelas kecil. Meletakannya di atas meja.
“silakan mas..”
Aku mengangguk. Masih ada uap panas menyembul di sana.
Masih panas.
“Sampai dimana kita tadi?”
aku memulai pembicaraan. Imam masih menikmati kreteknya. Masih separo batang. Menengok ke arahku. Memainkan asap rokok yang keluar dari mulut.
“ya begitu tadi,”
“Tau kan rasanya jadi panutan?”
“Diperhatikan banyak orang”
“susah juga harus ngikuti kata-kata banyak orang..”
“Njuk kepiye?”
Aku menyeringai lagi. Menjawab –sekenanya lagi- pertanyaan Imam.
“Ya begitu nasibnya jadi selebritis”
“Banyak yang memonitor”
“Ndak bisa kita nuruti semua permintaan orang”
“Kita ya ndak bisa hidup dengan persetujuan orang lain”
“Jadi diri sendiri saja, lebih nyaman”
“Nabi saja, yang jelas-jelas orang paling baik seluruh dunia”
“Banyak yang ndak suka, banyak yang ndak setuju sama pendirian bliau sewaktu hidupnya..”
“La apalagi kita, yang jelas-jelas semblotongan ?”
“Hobine kaya kita ini, ahli ngakali hukum”
“Hobi mbenar-mbenarke aturan biar sesuai sama kepenginan kita?”
“jauh om.. jauh….”
Imam manggut-manggut. Rokoknya tinggal seperempat.
Aku meraba gelas jamu. Sudah mulai dingin. Aku minum saja. Pahit campur getir.  padahal sudah dicampur dua sendok madu. Aku melet-melet lagi. Lebih pahit dari yang kemarin-kemarin. Mungkin tadi lupa mengangkat jamu. Jadi lebih kental dari biasa. Dan lebih pahit tentunya.
“Lha terus menurutmu aku mesti bagaimana?”
Aku tahu betul. Ini pertanyaan menjebak. Nge-tes.
“Mam, Kamu ini punya kemampuan luar biasa”
Aku harus memujinya dahulu. Jurus buaya nomer 61. Inspirasi dari buku Men are from mars, women are from venus karya Jhon gray. Tak satupun manusia yang tak suka dipuji.
“Coba bayangkan berapa banyak orang Islam yang hebat kaya sampean ini”
“Masih muda, pinter ngaji, pinter ngobati, Dipercaya banyak orang…,”
Dan jurus pujian ini memang ampuh. Imam hanya nyengir, tak mengerti bagaimana bersikap saat dipuji. Melepaskan hembusan asap terakhir. Hembusan terdalam. Paling nikmat para perokok. 
“Sudahlah… “
“Masing-masing dari kita punya cara tersendiri untuk berarti bagi orang banyak…”
“Bukankah yang sebaik-baik dari kita adalah yang paling banyak manfaatnya bagi orang lain?”
“Mau jadi guru, dokter, pegawai, tukang sampah… apa saja..”
“Semua punya peluang yang sama untuk berkarya..”
“Dan orang-orang kaya sampean ini punya peluang lebih banyak dari ku, dari jutaan orang  sekalipun”
“Sampean ini bisa menolong banyak orang, menjadi perantara bagi yang sakit menjadi sehat, membantu yang ndak ngerti jadi paham…”
“Kalau nanti sampean menularkan ilmu ini kepada orang lain, maka jadi amal jariah”
“Setiap orang yang disembuhkan murid-muridmu nanti, sampean akan kecipratan pahalanya juga”
Imam nyengir lagi. Tambah sulit menerima pujian. Sangat wajar.
“Berhentilah saling menyalahkan, gunakan peran kita masing-masing.”
“Sekuat tenaga, sebaik kita bisa”
“Sudah terlalu lama kita semua bertengkar, meributkan yang paling benar”
“Tidakkah lebih baik,  jika kita gunakan energy yang luar biasa banyak untuk sesuatu yang bermanfaat, berguna bagi diri dan umat”
“Mungkin kita tidak akan merubah terlalu banyak keadaan umat, tapi  setidaknya lebih produktif, ada hasilnya”
“yakinlah sesederhana apapun yang kita lakukan, tetap ada nilainya,”
“Tetap ada manfaatnya,”
“Tetap ada pahalanya”
Aku menghabiskan setengah botol aquaku, setengah yang lain sudah aku minum untuk mengobati pahit jamu. Haus juga bicara sedari tadi. Rasa pahit di lidah belum juga hilang. Sepahit menyaksikan saudara-saudara sendiri saling membenci. Saling menyalahkan satu sama lain. Merasa paling benar sendiri. Menyisakan orang-orang baik seperti Imam. Yang dengan kesederhanaan dan ketulusan luar biasa, ingin memberi, ingin berbagi. Agar kehidupan umat bisa lebih baik, lebih sejahtera. Dengan keterbatasan yang ia mampu, dengan kemampuan yang dia bisa.  
 










2 komentar:

  1. hmm..memberi pencerahan tentang memahami orang lain :)

    BalasHapus
  2. bukankah kunci dari semuanya adalah bagaimana memahami satu sama lain?

    BalasHapus