“Yang laki-laki ke belakang, yang perempuan ke depan”
“Yang laki-laki ke belakang, yang perempuan ke depan”
Pramuniaga busway sibuk memberikan instruksi saat pintu busway terbuka lebar. Seperti biasa, penumpang berebut masuk. Mengabaikan aturan di pintu. Antrian pria, antrian wanita. Jelas terpampang, berikut gambar animasinya. Bukan jakarta namanya kalo tidak semrawut. Pintu langsung tertutup setelah semua penumpang naik. Cawang UKI selalu ramai, entah pagi siang apalagi sore. Alhasil bapak pimpinan yg berkumis tebal itu memilih si “komodo” untuk menampung koridor 10 yang padat.
Penumpang segera memilih tempat duduk masing-masing. Seperti instruksi pramuniaga barusan. Aku kagum. Nyatanya orang Jakarta yang terkenal “semrawut” bisa tertib juga. Yang tidak kebagian, segera mencari celah. Kalaupun tidak duduk, setidaknya bisa bersandar di sudut ruang yang lebih lengang.
Wajah-wajah lelah terlihat di sana-sini. Jakarta yang menjanjikan sejuta kebahagiaan berbayar mahal. Tekanan pekerjaan, kemacetan jalan, dan segala ketidakteraturan sudah lebih dari cukup untuk memaksa mereka hanya peduli dengan diri sendiri.
Namun, yang paling lelah dari mereka ternyata mas-mas berseragam di samping pintu geser. Entah sudah berapa banyak tenaga dihabiskan untuk berteriak sedari pagi. Mengatur para penumpang yang hamper selalu tak tertib. Menjawab pertanyaan tentang jurusan yg jelas-jelas jawabanya menempel di papan pengumuman.
Ah.. memang tak ada habisnya cerita di busway.. cerita yang memang tidak ditemui ditempat lain..
Namun bukan itu yang ingin kuceritakan kepadamu kawan… namun lain lain tempo hari..
Hari itu perjalanan rutinku, aku lebih memilih bus way dari kendaraan umum. Lebih murah, aman, dan ber –AC-. Sok mewah dikit boleh kan?
Aku memilih jalur biasa Tomang-Pulo gadung. Jalur yang menyenangkan. Jalur yang special. Memotong Jakarta tepat di tengahnya. Dari barat ke timur.
Sesuatu mengalihkan konsentrasiku. Seseorang naik di halte senen. Orang aneh. Cengar-cengir sendiri... "tepe-tepe". Duduk tepat didepanku. waduh!!! repot nih... (waktu itu belum banyak aturan yg macem-macem seperti sekarang, terutama tentang pembagian tempat duduk)
Aroma busway seketika langsung berubah, wewangian murahan khas kendaraan tiba-tiba lenyap. Digantikan aroma lain yang menyengat. Yang berlebihan memang selalu tidak menyenangkan. Pun yang terlalu wangi, akan membuat pening kepala.
“MasyaAlloh” aku nyebut lirih.. Rambutnya pirang.. "srowal-srawil.." tidak bisa dibedakan orang cacingan atau kepanasan? Kurang gizi atau jarang sampoan..
Sementara tangan kirinya “Nyangklong” tas khas perempuan, tangan kanan membawa kipas. Mengibaskan tangan ke sana-kemari, menggeleng-gelengkan kepala, sengaja menunjukkan rambut srowal-srawil warna warni. Cuek. Yang di sekitarnya tambah pening.
Aku menghela nafas pelan, bukannya Busway sudah pake AC... ko masih kipasan segala?
Matanya biru, mirip orang bule.. tapi perasaan memang ada bule yang idungnya pesek?
Mengingatkan istilah dosenku dulu.
LKMD –“Londo Ketok Mung nDase” (Bule Cuma kepalanya saja).
Kusebut saja “Si Boneka India”. Mirip lagu lawas yang dipesetkan Djony Iskandar dkk di PMR (Pengantar Minum racun). Sepertinya sangat cocok. (maaf ya..)
Yang kasian, perasaan sudah jaman kemerdekaan. Pakaianya masih kurang bahan. Macam lagu “Tumini” yang sering kudengar. Apa malah tandeman sama pakean adeknya mba? opo yo ndak dingin?
Ah.. Tidak boleh kuteruskan lagi masalah pakaian. Nanti banyak yg mikir aneh-aneh. Nanti di complain mbak-mbak yang ngerasa tidak nyaman dengan tulisanku.
yang ndak “nguati” dengan PD pake head phone segede 'gaban'. Praktis menutupi separo kepala kanan dan kiri. Aku berprasangka baik. Mungkin abis siaran radio.. lupa mbalikin..
Katanya sih lagi in.. mirip iklan di tivi. “Biar gaol gitoo” (Wendy cagur, mode:on)
Sepanjang perjalanan aku memilih diem, bingung mo bagaimana, pengin ketawa, yo mesa'ke, yo lucu... sambil sesekali nyebut.. geleng-geleng kepala…
opo yo sampean ndak rumongso to mbak...
Orang jakarta sudah pada butuh refresing kali... tekanan hidup ternyata sukses membuat orang bertingkah aneh-aneh.
Busway melaju semakin pelan. Suara paging dari operator menyebut halte terakhir, waktunya turun. Mas-mas pramuniaga ikut mengingatkan. Menirukan rekaman di pengeras suara. Sudah semakin pelan saja suaranya. Lebih pelan dari saat aku naik tadi. Namun ada gurat lega di wajahnya, tugasnya hari ini selesai sudah. Saatnya istirahat, refreshing, melepas penat dan lelah.
Aku segera turun saat pintu busway terbuka. Berjalan pelan. Masih menahan tawa, membayangkan si boneka india..
“Yang laki-laki ke belakang, yang perempuan ke depan”
Pramuniaga busway sibuk memberikan instruksi saat pintu busway terbuka lebar. Seperti biasa, penumpang berebut masuk. Mengabaikan aturan di pintu. Antrian pria, antrian wanita. Jelas terpampang, berikut gambar animasinya. Bukan jakarta namanya kalo tidak semrawut. Pintu langsung tertutup setelah semua penumpang naik. Cawang UKI selalu ramai, entah pagi siang apalagi sore. Alhasil bapak pimpinan yg berkumis tebal itu memilih si “komodo” untuk menampung koridor 10 yang padat.
Penumpang segera memilih tempat duduk masing-masing. Seperti instruksi pramuniaga barusan. Aku kagum. Nyatanya orang Jakarta yang terkenal “semrawut” bisa tertib juga. Yang tidak kebagian, segera mencari celah. Kalaupun tidak duduk, setidaknya bisa bersandar di sudut ruang yang lebih lengang.
Wajah-wajah lelah terlihat di sana-sini. Jakarta yang menjanjikan sejuta kebahagiaan berbayar mahal. Tekanan pekerjaan, kemacetan jalan, dan segala ketidakteraturan sudah lebih dari cukup untuk memaksa mereka hanya peduli dengan diri sendiri.
Namun, yang paling lelah dari mereka ternyata mas-mas berseragam di samping pintu geser. Entah sudah berapa banyak tenaga dihabiskan untuk berteriak sedari pagi. Mengatur para penumpang yang hamper selalu tak tertib. Menjawab pertanyaan tentang jurusan yg jelas-jelas jawabanya menempel di papan pengumuman.
Ah.. memang tak ada habisnya cerita di busway.. cerita yang memang tidak ditemui ditempat lain..
Namun bukan itu yang ingin kuceritakan kepadamu kawan… namun lain lain tempo hari..
Hari itu perjalanan rutinku, aku lebih memilih bus way dari kendaraan umum. Lebih murah, aman, dan ber –AC-. Sok mewah dikit boleh kan?
Aku memilih jalur biasa Tomang-Pulo gadung. Jalur yang menyenangkan. Jalur yang special. Memotong Jakarta tepat di tengahnya. Dari barat ke timur.
Sesuatu mengalihkan konsentrasiku. Seseorang naik di halte senen. Orang aneh. Cengar-cengir sendiri... "tepe-tepe". Duduk tepat didepanku. waduh!!! repot nih... (waktu itu belum banyak aturan yg macem-macem seperti sekarang, terutama tentang pembagian tempat duduk)
Aroma busway seketika langsung berubah, wewangian murahan khas kendaraan tiba-tiba lenyap. Digantikan aroma lain yang menyengat. Yang berlebihan memang selalu tidak menyenangkan. Pun yang terlalu wangi, akan membuat pening kepala.
“MasyaAlloh” aku nyebut lirih.. Rambutnya pirang.. "srowal-srawil.." tidak bisa dibedakan orang cacingan atau kepanasan? Kurang gizi atau jarang sampoan..
Sementara tangan kirinya “Nyangklong” tas khas perempuan, tangan kanan membawa kipas. Mengibaskan tangan ke sana-kemari, menggeleng-gelengkan kepala, sengaja menunjukkan rambut srowal-srawil warna warni. Cuek. Yang di sekitarnya tambah pening.
Aku menghela nafas pelan, bukannya Busway sudah pake AC... ko masih kipasan segala?
Matanya biru, mirip orang bule.. tapi perasaan memang ada bule yang idungnya pesek?
Mengingatkan istilah dosenku dulu.
LKMD –“Londo Ketok Mung nDase” (Bule Cuma kepalanya saja).
Kusebut saja “Si Boneka India”. Mirip lagu lawas yang dipesetkan Djony Iskandar dkk di PMR (Pengantar Minum racun). Sepertinya sangat cocok. (maaf ya..)
Yang kasian, perasaan sudah jaman kemerdekaan. Pakaianya masih kurang bahan. Macam lagu “Tumini” yang sering kudengar. Apa malah tandeman sama pakean adeknya mba? opo yo ndak dingin?
Ah.. Tidak boleh kuteruskan lagi masalah pakaian. Nanti banyak yg mikir aneh-aneh. Nanti di complain mbak-mbak yang ngerasa tidak nyaman dengan tulisanku.
yang ndak “nguati” dengan PD pake head phone segede 'gaban'. Praktis menutupi separo kepala kanan dan kiri. Aku berprasangka baik. Mungkin abis siaran radio.. lupa mbalikin..
Katanya sih lagi in.. mirip iklan di tivi. “Biar gaol gitoo” (Wendy cagur, mode:on)
Sepanjang perjalanan aku memilih diem, bingung mo bagaimana, pengin ketawa, yo mesa'ke, yo lucu... sambil sesekali nyebut.. geleng-geleng kepala…
opo yo sampean ndak rumongso to mbak...
Orang jakarta sudah pada butuh refresing kali... tekanan hidup ternyata sukses membuat orang bertingkah aneh-aneh.
Busway melaju semakin pelan. Suara paging dari operator menyebut halte terakhir, waktunya turun. Mas-mas pramuniaga ikut mengingatkan. Menirukan rekaman di pengeras suara. Sudah semakin pelan saja suaranya. Lebih pelan dari saat aku naik tadi. Namun ada gurat lega di wajahnya, tugasnya hari ini selesai sudah. Saatnya istirahat, refreshing, melepas penat dan lelah.
Aku segera turun saat pintu busway terbuka. Berjalan pelan. Masih menahan tawa, membayangkan si boneka india..
Tidak ada komentar:
Posting Komentar