Sebenarnya, usai
shalat duhur aku tak ingin buru-buru pulang ke hotel. Ada shofa marwa yang belum aku datangi.
Tempat-tempat istijabah tak boleh aku lewatkan begitu saja. Inginnya
puas-puasin di masjidil kharom, tetapi panitia juga harus dihormati. Ada makan
siang yang menunggu di hotal. Tak enak sudah disiapkan sedari tadi. Siang
kemarin, kami dapat komplen karena pulang ke sorean. Keasikan di masjid, sampai
lupa ditungguin panitia.
Baiklah,
waktunya pulang dulu ke hotel. Nanti juga bisa mbalik lagi ke masjid. Aku pun
bergegas. Berjalan cepat. Melewati tangga babul maut, Aku melirik jam besar di
menara zam-zam, Pukul 13.25. Menerobos lantai towaf berwarna putih bersih.
Udara di dalam masjid terasa panas, namun lantai granit itu terasa amat dingin.
Seputih hati ini Engkau telah bersihakan, sedingin pikiran ini saat duduk
termangu memandangi rumah-Mu. aku memilih lewat depan maqom ibrohim. Sebuah
bangunan kecil di dekat pintu ka’bah berupa sebuah batu dengan cerukan bekas dua
kaki nabi ibrohim. Inginnya bisa towaf lagi. Kakiku berjalan ke arah babul
malik Fahd, tapi kedua mataku tak juga berpaling dari ka’bah. Sebentar ya, aku
mau makan dulu. Nanti aku akan datang lagi. Gumamku pada ka’bah.
Maqom Ibrohim-Tempat berpijaknya nabi
Ibrohim AS saat membangun ka’bah
Angin dingin
menyambutku saat membuka pintu hotel. Lobi hotel nampak rame. Ternyata bapak
dan ibu ishak juga ada di sana. Mereka sedang nampak bedebat, bersitegang
dengan petugas hotel. Ternyata kunci hotel pak ishak tidak ada di loker
penitipan. Bapak ishak merasa belum membawa kunci, sementara petugas hotel
kekeh sudah ada yang mengambil kunci kamar beliau. Tak mau ribut lebih
lama, solusi di cari. Sudahlah, yang
penting kamar bisa dibuka dahulu. Petugas hotel akhirnya mau membuka pintu
kamar dengan kunci cadangan, namun menolak memberikan kunci cadangan kepada
mereka. Jadilah keributan kecil terjadi. Ibu terlihat marah, hendak mengejar
petugas. Sedikit memaki. Aku mengejarnya, memegang pundak ibu, menenangkan,
meminta beliau beristighfar.
“Kita di tanah
harom ibu, jangan marah.”
“Sudahlah, nanti
juga kuncinya ketemu”
Ibu terdiam. Lirih beristighfar. Wajah kesalnya
belum juga hilang.
Tiba-tiba bapak
berhamdalah.
“Kuncinya sudah
ketemu mas”
“masyAlloh, Saya
ndak tau, tiba-tiba ada di kantong baju”
“Saya yakin
belum mengambilnya, tadi kantong saya kosong”
“Sekarang
tau-tau sudah ada di sini”
Aku lega, bapak
lega. Ibu masih diam. Jengkelnya berubah jadi malu. Menyesal sudah marah-marah.
Selesai urusan
kunci, aku kembali ke kamarku. Istirahat sebentar, kemudian bersiap kembali ke
masjid.
Itulah
“Keajaiban pertama”.
Selesai sholat
asar aku menyempatkan towaf. Selepas asar adalah waktu yang pas untuk towaf,
Selain waktu dhuha. Udara tidak terlalu panas. Masjid juga belum terlalu ramai.
Para jamaah biasanya datang satu setengah jam sebelum maghrib, sekitar pukul setengah 6
sore. Sekarang ini masih jam 4 sore. Towaf selesai, aku berdoa di belakang maqom ibrohim. Sembari menunggu maghrib aku iseng
berjalan-jalan di masjid. Ingin menikmati masjid di sepanjang sudutnya. Di
sebuah sudut masjid aku melihat sekumulan arab badui sedang berkumpul, sibuk
membagi kurma ke wadah-wadah. Kurma kecil berwarna kuning kecoklatan, seukuran
jempol tangan orang dewasa. Sepertinya enak, pikirku. Coba bisa merasakannya.
Aku terus berjalan, berkeliling, sambil berharap bisa mencicipi buah kurma. Baru
sepuluh langkah berjalan, ada kerumunan, seorang pria arab sedang sibuk
membagikan korma kepada jamaah. MasyaAlloh, belum juga doa itu diucapkan,
sekarang korma itu sudah di depan mata. Aku menerima pemberian itu dengan
senang hati. Aku diberi tahu ustad, bahwa kita tak boleh menolak pemberian di
masjidil kharom. Nanti hilang berkahnya, katanya.
Lelah
berkeliling, aku berhenti di arah malik fahd, masih di lantai putih area
towaf dekat keran zam-zam. Hari semakin sore, jamaah semakin banyak,
berdesakkan di sana-sini. Macet di setiap pintu masuk.
Aku duduk
bersila, di samping kiriku seorang turki sedang sibuk membaca. Di sebelah
kanan, mungkin orang pakistan atau bangladesh, sorbannya terlihat khas.
Menunggu maghrib, aku membuka mushaf yang sedari tadi aku baca, masih ada
beberapa lembar lagi, untuk satu jus target hari ini. Tiba-tiba seorang bocah
kecil seumuran 8 tahunan berdiri di depanku. Menyodorkan sewadah kecil buah
korma. MasyaAlloh, bukankah itu kurma yang tadi. Korma kuning kecoklatan yang
aku inginkan. Aku mengambil beberapa buah. Cukup untuk sekedar mencicipi, cukup
untuk tau rasanya.
Dan aku memutuskan sebagai “Keajaiban kedua”.
Sebenarnya masih ada banyak keajaiban yang lain. Mungkin banyak untuk diceritakan.
Bocah-bocah seperti ini yang memberikan kurma
kuning kecoklatan untukkku
Maha Suci Alloh
yang mempahalai ribuan kali lipat pahala orang-orang yang beribadah di masjidil
kharom. Tanah itu adalah tempat tinggal
orang-orang pilihan Alloh. Tempat yang didoakan para nabi pilihan Alloh. Jauh
hari sebelum berangkat, aku berharap Alloh mempahalai ibadah kita sama seperti
mempahalai orang-orang yang beribadah di masjidil kharom. Biarlah itu hadist
nabi, tapi jakalau Alloh mau? Kenapa tidak? Dan setelah pulang pun. Aku berharap
begitu, bukan agar orang-orang tidak perlu menziarahi rumah-Nya. Akan tetapi
agar semua orang yang karena memang keterbatasannya, tidak bisa mengunjungi
ka’bah bisa tetap meminta sekhusu’ itu
kepada-Mu.
Sering kali kita
mendengar cerita-cerita dari orang-orang yang pergi ke sana, - haji entah
umroh- selalu membawa cerita yang berbeda-beda. Katanya perbuatan kita di tanah
air langsung di balas di sana. Katanya begitu berdoa langsung dikabulkan di
sana. Katanya ini katanya begitu. Semua tentang yang ajaib-ajaib.
Menurutku
statemen ini benar adanya, bukankah Alloh berfirman dalam Al Qur’an.
“Ud’uni
astajiblakum”
“Berdoalah
niscahya akan Aku kabulkan.”
Kita sering kali
lupa dengan ayat ini. Alloh menyuruh kita berdoa, agar Ia mengabulkan doa-doa
yang kita inginkan. Lalu kenapa –seperti- ada perbedaan antara ketika di tanah
kharom dengan di tanah air? Tentu saja jelas berbeda. Tanah kharom adalah tanah
yang diberkahi. Tanah yang didoakan oleh nabi ibrohim, kekasih Alloh. Sedangkan
kita di tanah yang entah berantah?
Apabila kita
amati, di luar berita-berita kurang menenangkan
yang kita dengar, secara umum orang-orang di arab begitu taat beribadah. Begitu
adzan berkumandang di masjid, semua kegiatan berhenti. Toko-toko tutup. Tak ada
aktivitas selain sholat. Bahkan setelah iqomat, towafpun berhenti. Semua orang
berhidmat kepada Alloh. Menyembah kepada-Nya. Pun demikian juga, saat kita
berada di masjidil kharom atau masjid nabawi pada kususnya. Sesiapapun yang pernah kesana tentunya merasakan sesuatu
yang berbeda. Secara umum, Kita jadi lebih rajin beribadah –tentunya dengan bandingan
dari di tanah air-. Sholat tepat waktu. Tadarus. Rajin bersedekah. Berkelakuan
baik. Tidak menggunjing. Tidak bertengkar. Tidak melakukan hal-hal tercela. Bukankah
sedari awal niat kita adalah untuk beribadah. Bukan untuk berbelanja. Apalagi untuk
membanggakan diri kepada tetangga.
Diakui atau
tidak, hal-hal baik yang kita lakukan,
tentu akan mempengaruhi hati dan pikiran. Saat kita berbuat baik. Kita jadi berasa
lebih tenang. Berasa sejuk. Betapapun panasnya udara Mekkah, tetap berasa
nyaman di badan dan pikiran. Saat hati dan pikiran kita merasa tenang, maka
kita menjadi lebih sensitif. Menjadi lebih peka terhadap hal-hal yang terjadi
disekeliling kita. Tentang hal-hal yang terasa menyenangkan atau menyedihkan. Bahwa,
apapun yang menimpa diri kita, senantiasa kita hadapi dengan lapang dada. Semua
adalah bukti kasih sayang Alloh. Tidak
ada penyesalan, tidak ada keluhan. Susah atau pun senang tetap menjadi anugerah
yang harus disukuri dan dijalani dengan sepenuh hati.
Saat kita pulang
ke tanah air, semestinya kebeningan hati selama di mekkah juga harus turut di
bawa serta. Tak ditinggal begitu saja. Alloh senantiasa mengabulkan doa-doa
kita. Selalu ada keajaiban sebagaimana yang dialami saat berada di tanah harom.
Hanya saja sifat iri, dengki, hasut
sering menghalangi mata hati kita untuk melihat besarnya karunia Alloh. Kebanggaan
akan pengalaman kita, membuat kita menjadi takabur. Tinggi hati, dan
merendahkan orang lain.
Sungguh, Tidak
ada yang salah dengan doa-doa kita. Alloh akan tetap mengabulkan doa-doa kita
di manapun kita berada. Ya di tanah harom, ya di tanah air. Bisa jadi, Yang
tidak pas adalah isi doa-doa kita, dan
ketidaksabaran kita menunggu terkabulnya doa-doa kita dikabulkan
segera.
Maka
Saat Alloh
mengabulkan doamu, Ia ingin menguji imanmu..
Saat Alloh tak
–jua- mengabulkan doamu, Ia meminta kesabaranmu...
Saat Alloh
mengabulkan yang bukan doamu, yakinlah Ia telah menganugerahkan yang terbaik
untukmu...
ceritanya detail, ajdi kebayang. tanah suci itu seperti apa. semoga bisa menyusul.Amiin Amiin Yaa Rabb. semoga semakin bertambah keberkahan kpd orang yg menceritakannya, menjadikan hikmah bagi yg membacanya.
BalasHapusmerinding bacanya mas *_*
BalasHapusterima kasih inspirasi dan semangatnya :)
Subhanallah....pingin segera berangkat umroh.....Amiiin
BalasHapus