Aku bagai komet di alam raya. Dalam ruang
antar bintang. Di kegelapan sempurna. Kecil namun terasa. Pelan tapi pasti. Kekuatan
itu menarikku ke pusat tata surya. Dan
semakin lama kekuatan grafitasi itu semakin kuat. Menuntunku bersama ribuan
komet dan batu-batu dilangit mengunjungi tata surya. Dalam sebuah gerakan
melengkung beraturan sangat panjang yang hampir-hampir lurus. Saatnya kami
bergerak menuju ke titik perihelium, titik terdekat. Tak seorangpun dari kami
akan tahu, apakah kami akan kembali dalam kebersihan, dimana dosa-dasa dan keburukan kami akan
terlelehkan olah pancaran matahari. Atau kami akan hilang sempurna bersama
panas matahari, sebelum sempat singgah di sekelilinganya. Atau juga tesesat
jatuh di salah satu planet nun jauh di depan sana. Menjadi meteorit. Menjadi seonggok
batu mati. Tanpa guna. Tanpa daya.
Aku tak punya penggambaran yang lebih nyata
selain menjadi sebagian kecil alam semesta, sebuah komet di tata surya. Yah..
ini perjalanan umroh pertamaku. Perjalanan mengunjungi tempat terindah di bumi.
Tempat setiap muslim menghadapkan wajahnya ketika shalat. Tempat kami
menghadapkan wajah di pembaringan terakhir di liang lahat. Apapun madzhab,
golongan, sempalan, paham, komunitas dan apapun yang mengaku islam. Kami semua
sepakat. Ka’bah adalah tempat kami semua seharusnya menghadap.
Ka’bah di Masjidl Kharom
Sesiapapun muslim di dunia ini, selalau
merindukan saat-saat perjumpaan dengan Ka’bah di tengah kota mekkah. Begitupun
diriku, aku merindukan berjumpaan dengan ka’bah sejak bertahun-tahun lalu. Rasa
rindu untuk mengunjungi rumah suci, Baitulloh. Rasa rindu ingin menapaktilasi
perjalanan para kekasih kebaggaan Alloh. Rasa kangen, untuk ikut merasakan
perjuangan para nabi. Dan, Perasaan itu semakin menguat setelah sebuah kartu
pos bergambar itu engkau kirimkan kepadaku beberapa tahun lalu. Kemudian,
-perlahan namun pasti- terus terpupuk bersama janji-janji itu. Janji-janji mulia
akan pemahaman kehidupan yang lebih baik di masa depan.
Dan setelah kejadian-kejadian itu,setelah
beberapa hal yang –karena ketidaktahuanku- akhirnya aku memahami bahwa rencana
Alloh memang sunguh luar biasa. Seakan-akan aku lupa, Bahwa sekehendak Alloh
memperlakukan kehidupan kita. Selalu
ada alasan kenapa hidup kita begini atau begitu. Hari ini aku baru memahaminya,
Alloh menginginkanku mengunjungi rumah-Nya terlebih dahulu. Tepat di depan
pintunya, tempat dikabulkannya segala doa-doa.
Sepuluh ribu
meter kini aku berada, sepuluh ribu kilo meter jarakku dari mekkah. Tenang di
atas bangku empuk pesawat Saudi Air lines. Aku tak paham persis tipe-tipe
pesawat terbang. Pesawat itu sungguh besar. Ruang penumpangnya saja cukup untuk
bermain futsal tiga tim sekaligus. Sepuluh bangku berjejer di setiap barisnya. Dengan
dua koridor memisahkan untuk hilir mudik para pramugari dan petugas yang
berjaga. Untuk lalu lalang penumpang saat naik atau turun. Ataupun saat hendak
buang hajat di belakang sana.
Setelah
keributan pagi itu, kami pun berangkat juga. Semua sembilan belas orang dalam
satu rombongan. Sepuluh orang adalah keluarga bapak Ali, seorang kaya raya
keturunan Yaman, beliau menolak disebut keturunan arab. Padahal dilihat dari
mana saja, ia tetap orang arab. Kenapa? Aku baru paham setelah pulang dari
perjalanan ini. Kuceritakan nanti. Empat orang keluarga bapak Candra, beliau
membawa istri dan 2 saudaranya berangkat serta. Pasangan serasi bapak dan ibu
Ishak. Dua petugas Travel yang cantik-cantik, Icha dan Windy. Yang terakhir ya
diriku sendiri. aku menyebutkan terakhir, lha karena datangnya paling terakhir.
Setelah
perjalanan yang panjang dan melelahkan. kami tiba di jeddah. Waktu di bandara
menunjukkan pukul setengah dua belas malam. Jam di hapeku sudah menunjuk pukul
setengah empat pagi. Bandara Jeddah adalah bandara kecil. Kami turun di
lapangan terbang. Menuruni empat meteran tangga pesawat. Kemudian dijemput bis
petugas bandara menuju terminal keberangkatan. Untuk mengambil miqot, niat
umroh. Untuk mengurus surat-surat imigrasi.
Sampai di
terminal imigrasi keributan kembali terjadi. Keluarga pak Ali ada-ada saja
acaranya. Selesai ribut dengan istri anak-anak, sepupu dan keponakan-keponakannya.
Kembali meributkan petugas. Yang diributkan malah ndak merasa berdosa. Ndak merasa
salah. Seenaknya mereka melayani kita. Satu cap untuk satu atau dua petugas. Sehingga
pelayanan menjadi lebih lama. Belum lagi disambi nelpon sana sini. Bercanda tiada
henti. Entahlah, mungkin style mereka seperti itu. Berprasangka baik saja. Bukankah
saat ikhrom, kita tidak boleh marah-marah, memaki-maki, berdepat sana sini. Dalam
Ikhrom kita kembali, putih bersih seperti bayi. Bersih di pakaian, bersih di
hati.
Setelah dua
jam yang menguras tenaga dan kesabaran. Kami melanjutkan perjalanan. Dari dalam
bis aku menyaksikan ribut-ribut diluar sana. Kelihatannya juragan potter
barang-barang sedang rame berdebat dengan petugas travel. Ribut dengan upah
yang tidak sesuai. Ribut dengan perlakuan petugas yang mengacuhkan diri. Jarak Jeddah-Mekkah
tak terlalu jauh, butuh waktu sekitar satu setengah jam perjalanan menggunakan
bis dengan kecepatan rata-rata seratusan km/jam. Seratus lima puluhan kilo
meter. Jangan di bayangkan jalanan di Arab seperti di Indonesia, yang banyak
perempatan dan rumah penduduk, termasuk warung kaki lima di kanan kiri jalan. Di
arab hanya ada batu dan pasir, kecuali di dalam kota. Ada perumahan dan sedikit
taman-taman, selebihnya batu dan gunung batu.
Waktu
menunjukkan pukul tiga pagi. Kami berhenti tepat di depan hotel Haneen. Hotel
kecil bintang 2 atau 3 ya? Aku tak peduli, Yang penting, aku sudah sampai di
mekkah. selama enam hari kedepan kami akan menginap di sana. Sementara keluarga
pak Ali menginap di hotel seberang. Jalanan memang macet, Kendaraan di
mana-mana. Klakson tiada henti. Lalu lalang, tak mau mengalah. Jalanan juga
penuh dengan jamaah yang hendak ke masjid. Padahal subuh masih satu jamman
lagi.
Demi melihat
jamaah yang bergegas ke masjid, aku tak sabaran juga untuk ikut pergi. Kusegerakan
berbenah diri. Menyiram badan dengan air hangat. Agar badan segar kembali. Sebenarnya
tidak dianjurkan, takut ada bulu yang rontok. Dendanya lumayan. Satu bulu kita,
entah rambut entah bulu badan yang lain, seekor kambing. Betul ndak ustad? Pukul
empat kami berkumpul di lobi. Sembilan orang berkumpul di temani seorang ustad
muda, bernama Ustad Andi. Setelah semua berkumpul, kami langsung berangkat
menuju masjid. Masjidil Kharom.
Keluar dari
hotel kami disambut angin mekkah yang panas. Berasa di depan api unggun. Yah,
kalau digambarkan suasananya seperti di depan api unggun seperti jaman pramuka
dulu. Tak terbayangkan di siang harinya. Lha jam 4 pagi saja panas begitu,
apalagi siangnya. Secara geografis, Mekkah memang berada di bumi bagian utara. Di
bulan juli seperti sekarang ini, posisi matahari sedang berada di utara
equator. Berarti lagi panas-panasnya. Keringnya kondisi mekkah menambah panas
dan menyiksanya iklim di sana. Setelah dicek diberita TV, suhu rata-rata di
arab saudi, termasuk mekkah berkisar antara 39 sampai dengan 44 derajat
celcius. Tak terbayang seperti apa
kondisinya 4000 tahun yang lalu. Saat nabi Ibrohim AS meninggalkan istri dan
anaknya di tanah bakkah. Menuruti perintah Alloh. Sedangkan kita di indonesia,
yang luar biasa nyaman, masih sering kurang menerima. Kurang ridlo dengan
segala macam kelimpahan rejeki yang kita terima, termasuk cuaca dan keadaan
alamnya.
Lokasi masjid
tak seberapa jauh dari hotel kami, tak sampai tujuh menit berjalan kaki. Kami memasuki
masjid melewati pintu Malik Fahd. Salah satu raja saudi. Atau pintu 79. Kami lebih
senang menyebutnya pintu kuning. Karena di dalam sana tertulis plang berwarna
kuning. Memang sebagian pintu masjid punya nama. Sebagian menggunakan nama raja
arab. Sebagian menggunakan nama yang lain, seperti pintu umr, pintu billal,
adalagi yang dinamai pintu mayt, karena pintu itu dipakai untuk keluar masuk
jenazah saat akan di sholatkan. Oh ya, hampir setiap selesai sholat selalu ada
shalat jenazah. Jadi jkalau teman-teman berkesempatan berziarah ke sana,
ikutlah sholat jenazah. Insyalloh akan sangat berguna.
Pelayanan
pemerintah saudi di masjidil kharom harus diacungi jempol. Secara umum kondsi masjidil
Karom sangat bersih dan rapi, lengkap
dengan eskalator hingga kita tak perlu berjalan kaki kalau ingin menuju lantai
atas. Meski di luar panas luar biasa, di masjid berasa sangat nyaman, ada
puluhan kipas angin yang terus berputar, ada puluhan diffuser yang terus mengalirkan
udara dingin yang memanjakan jamaah. Tempat wudlu dan toilet juga bersih. Bagaimana
tidak, ada ratusan petugas yang senantiasa bekerja di sana yang stndby setiap
waktu. Ada yang memberikan kantorng plastik untuk sandal,untuk kita simpan
sendiri. Ada yang menyapu, ngepel, serta mengganti air zam-zam setiap waktu
agar bisa dinikmati setiap hari.
Sesampai di
masjid, iqomat sudah berkumandang. Ustad Andi memilihkan kami tempat untuk
sholat subuh. Jamaah pria di sebelah kanan, di sebelah kiri jamaah putri. Kami di
batasi koridor tempat orang berlalu lalang, dua puluh meter dari pintu masuk.
Berdekatan dengan gentong-gentong berisi air zam-zam. Entahlah, aku berasa
aneh, perasaan ini bercampur-campur. Berasa sadar, berasa mimpi. Tak bisa aku
mengerti. Mengapa jadi begini?
Selesai
shalat, Ustad Andi mengumpulkan kami, mengomando kami untuk memulai thowaf. Aku
tak terlalu mendengarkan. Aku semakin tak berkonsentrasi. Gelisah luar biasa. Tak
sabar ingin bertemu dengan ka’bah. Tak sabar untuk melihat bangunan itu.
Kami pun
berjalan beriringan, terus masuk ke Masjidil kharom. Saat ka’bah terlihat di
depan mataku, tangisku pecah. Yang terjadi-terjadilah. Air mataku meleleh
begitu saja. Dadaku terasa amat penuh, ingin meledak. Nafasku sesak. Tenggorokanku
tercekat. Agak lama aku sesenggukan.
Kawan, Jikalau
engkau melihat ka’bah untuk pertama kali. Engkau pun akan terharu. Engkau akan
menagis. Rasanya seperti seorang anak yang terpisah dengan ibunya setelah
sekian lama. Tak sabar ingin menangis dipangguanya. Rasanya seperti seorang ibu
yang terpisah dari buah hatinya. Tak sabar ingin merengkuhnya. Tak sabar ingin
memeluknya erat.
Komet itu pun
meleleh jua. Terbakar oleh pesona pusat jagat raya. Mengikis semua kotoran yang
membeku dalam kegelapan. Membuka kembali inti komet yang lama tak mendapatkan cahaya.
Agar saat kembali nanti penuh dengan cahaya. Meski kecil tak terlihat, tak jadi
mengapa.
Aku berdoa,
semoga air mata ini pun membawa pula dosa-dosa yang selama ini kuperbuat. Besar
atau pun kecil. Disengaja ataupun tidak. Semoga Alloh membersihkan hatiku dari
segala kekotoran. Seperti matahari mengikis semua kotoran beku di permukaan
komet itu. Semoga Alloh senantiasa memberikan hidayah kepadaku, seperti
matahari yang senantiasa menyinari bumi. Semoga Alloh senantiasa menunjukkan
bahwa yang baik adalah baik, dan diberikan kekuatan untuk mengerjakannya. Serta
menunjukkan bahwa yang buruk adalah buruk, dan diberikan kekuatan untuk
meninggalkannya. Semoga, aku yang sangat kecil ini, dengan segala kecilnya
hal-hal yang kuperbuat bisa menjadi jalan bagi sebanyak-banyaknya orang agar
bisa melakukan kebaikan, agar hidup dalam kehidupan yang membaikkan.
Istirahat di Bukit Marwa
setelah tahalul pada umroh pertama
subhanallah, semoga diundang oleh Allah utk menyusul ke tanah suci
BalasHapusAmin...
BalasHapus