“Syeh.. besok pagi kita tahajjud ya?”
“Terus ke hajar aswad”
“InsyaAlloh syeh” aku menjawab mantab.
Malam ini akhirnya bisa beristirahat,setelah perjalanan yang panjang dan
melelahkan. Jakarta-singapura-Riyad-jeddah-mekah. Langsung dilanjut dengan
umroh. Sedari pagi hingga kembali pagi. Jam di hape sudah menunjuk pukul 23.00
waktu mekkah. Paling tidak berarti sudah pukul 3 pagi waktu tanah air. “Jetlek”,
Ngantuk luar biasa.
Ini cerita tentang Hajar aswad kawan. Engkau tentu sudah tahu bukan
tentang hajar aswad? Aku yakin kalian sudah jauh lebih tahu. Tapi aku tetap
ingin menceritakan hajar aswad padamu. Hajar
Aswad adalah batu berwarna hitam kemerah-merahan, terletak di sudut selatan,
sebelah kiri pintu Ka’bah. Ketinggiannya 1,10 m dari permukaan tanah. Ia
tertanam di dinding Ka’bah. Hajar 'Aswad merupakan batu yang berasal dari surga. Nabi
Ibrahim lah yang meletakkan hajar aswad saat membangun kabah. Dahulu kala, batu ini memiliki sinar yang terang dan dapat menerangi
seluruh jazirah arab. Namun semakin lama sinarnya semakin meredup dan hingga akhirnya
sekarang berwarna hitam. Batu ini memiliki aroma wangi yang unik dan ini merupakan aroma alami yang dimilikinya semenjak awal
keberadaannya.
Mencium hajar aswad adalah hal yang
dicontohkan oleh nabi Muhammad SAW. Namun sebagaimana dikatakan Umar Ibn Khatab
RA:
“Sesungguhnya aku tahu bahwa engkau
(hajar aswad) tidak dapat mendatangkan bahaya, tidak juga manfaat. Kalau sekiranya
aku tidak melihat Rosululloh ShollAllohu alaihi wasallam menciumu, niscahya aku
tidak akan menciummu.”
Hajar Aswad
“BismiKa Allohumma ahya wabismiKa amut”
“Dengan namamu ya Alloh aku hidup, dan dengan namamu pula aku mati”
Ustad andi sudah tidur di dipan sebelah, kecapean membimbing kami
seharian. Aceng masih sibuk dengan hp nya. Aku menguap. Kemudian bablas. Tertidur
pulas.
............................................................
Hapeku berdering nyaring. Alarm pagi berbunyi. Enggan aku
membuka mata. Masih pegal-pegal di sekujur badan. Tapi bukankah sudah pernah
kukatakan kepadamu. Rasa sakit mengalahkan banyak hal. Namun rasa rindu
mengalahkan banyak rasa sakit. Apalagi rasa kantuk?
Jam menunjuk pukul 02.30. Masih pagi.
Aku membuka selimut. Bergegas ke
kamar mandi untuk buang hajat dan bersih-bersih. Air hangat dari shower sungguh
menyegarkan. Semua rasa kantuk hilang seketika.
Setengah jam kemudian semua siap. Aceng
memekai setelan thob putih khas orang arab. Aku memilih baju koko putih oleh-oleh
simbok saat menjenguk cucu pertamanya, Najif –anak masku- di jakarta. Pas di
badan. Berasa simbok sama bapak juga ikut ke sini. Aku dan aceng bergegas ke masjidil harom. Atau
ustad andi dan orang-orang dari indonesia biasa menyebut harom saja. Kelihatannya ustad andi begitu
kelelahan. Kami meningalkan beliau di kamar. Nanti juga menyusul. Lima menit kemudian kita sampai di masjid. Langsung
meluncur ke tempat favourit pelataran tangga babul malik fahd. Dari sini ka’bah
sungguh terlihat sangat indah.
Aku memilih sholat tahajud di area
towaf. Agak menjorok ke tengah. Selesai delapan
rokaat dan berdo’a. Aku tak beranjak dari tempat dudukku. Hanya mengubah
posisi. Memeluk kedua lututku. Menyaksikan ramai orang bertowaf. Mengagumi ka’bah.
Yang semakin dilihat, semakin kita akan terperangkap. Semakin sulit untuk
berpaling darinya.
..........................................................................
Kira-kira setengah jam sebelum subuh.
Aceng mengajakku towaf.
“Waktunya towaf Syeh”
Aku menjawab dengan anggukan.
Menyambut uluran tangannya. Berdiri. Segera berjalan. Merangsek ke linggakaran
towaf. Melebur dengan para jamah. Layaknya para planet di jagat raya. Layaknya elektron
mengitari pusat masa.
Kawan, seandainya engkau tahu rasanya
towaf. Mungkin engkau akan memilih untuk terus towaf. Ada kenikmatan tak
terkatakan yang engkau rasakan saat terus berputar. Ada energi yang seakan
membawamu dalam gaya sentrifugal. Ada pesona tak tergambarkan saat terus
berputar mengelilingi ka’bah.
Selesai sudah tujuh putaran yang menyenangkan.
Padahal menurutku masih lima putaran. Aceng kekeh kita sudah tujuh putaran. Ikuti
saja dah, memang beliau yang menghitung jumlah putaran selama towaf. Aku sibuk
memperhatikan ka’bah dari ujung satu ke ujung yang lain. Dan tentu saja, si
sendu menawan. He he he.
Kami tepat berada di sisi rukun yamani di
putaran saat adzan subuh selesai dikumandangkan. Berarti tanda akhir dari towaf kami. Tepat di
arah hajar aswad kami mengucap doa sembari melambai kemudian mencium tangan,
atau mengusapkan ke dua tangan ke wajah dan seluruh badan.
“Bismillah, Allohu Akbar”
“Bismillah, Allohu Akbar”
“Bismillah, Allohu Akbar”
Kami berhenti tepat di arah pojokan
hajar aswad. Tak beringsut, kemudian sholat sunnah qobliyah subuh. Perlahan tapi
pasti. Orang-orang yang towaf secara berangsur-angsur berhenti. Yang belum
selesai bisa dilanjut setelah shalat subuh nanti. Sementara jamaah membentuk
shof sholat. Para askar mulai “mengusir” jamaah perempuan ke arah belakang. Bukan
rasisme, tapi memang kata nabi. Sebaik-baik shof jamaah pria adalah di depan. Sedangkan
sebaik-baik shof perempuan adalah di belakang. Namun ada pengecualian di masjidil
harom, jamaah pria dan wanita boleh
bercampur. Namun untuk area towaf dan
shof paling depan diisi jamaah pria.
Di masjidil kharom setiap orang
berlomba-lomba untuk sholat sedekat mungkin dengan ka’bah. Termasuk saya. kami
berdiri berdempet erat. Berlekatan satu sama lain. Tak ada ruang untuk lewat
sekalipun. Kaki bertemu kaki, siku bertemu siku. Bahkan lebih rapat lagi. Semua
ingin dekat dengan ka’bah. Ingin mendapat keutamannya. Aku dan aceng berdiri di
shof ke tujuh atau delapan lurus di
belakang hajr aswad.
Imam pagi ini syeh sudais, itu lho
imam masjidil kharom yang murotalnya sering kita dengar di MP3 atau di
radio-radio. Syeh sudais punya kemerduan suara yang luar biasa. Kekhasan syeh
sudais adalah sering menangis saat membaca Al qur’an. Kadang –seperti-
terdengar sesenggukan.
Aku terlena dengan bacaan syeh
sudais. Sesekali ikut tersentuh, saat bertemu dengan ayat yang –karena sering
dengar- tau artinya. Dan aku terpana dengan keindahan ka’bah. Sekali ini aku
baru melihat hajar aswad secara langsung. Tak ditutupi orang-orang besar yang
berebut mencium hajar aswad. Sadar atau tidak, aku melambatkan gerakku saat
menjelang ruku dan sujud dari duduk tawaruk, hanya demi melihat hajar aswad
lebih lama.
Begitu selesai salam, Orang-orang di depan kami berebut mencium hajar aswad. kami
serentak berdiri. Maju ke depan, ke arah hajar aswad. Aceng punya strategi sendiri agar kami
berhasil mencium hajar aswad. Kami meringsek ke arah pintu ka’bah. Ke multazam.
Kemudian masuk dari arah kaki askar yang menjaga pintu ka’bah. Kata aceng
sejauh ini itu strategi yang paling efektif untuk orang-orang kecil seperti
kita. Sangat sulit jika masuk lewat sisi rukun yamani. Apalagi lurus dari arah
garis star towaf.
Pelan tapi pasti. Aku meringsek
masuk. Tubuh kecil ini berguna, sekaligus rentan bahaya. Aceng menarikku masuk.
Ia sudah di depan hajar aswad. Sementara aku masih tertahan. Ada siku tangan
yang besar tepat menahan ulu hatiku. Rasanya ngilu sekali. Aku –nyaris- sesak
napas.
“syeh ayo masuk!!” aceng berteriak
kencang.
“Sebentar syeh, dadaku sakuit sekali”
aku sebentar-sebentar menggeleng. –hampir-hampir
Tak kuat menahan sakit.
Dan dalam hitungan detik. Aku sudah
berada tepat di depan hajar aswad. Kedua tanganku tepat menjeplak di bingkai
perak hajar aswad. kemudian aku “bengong” di sana. Aku melihat hajar aswad dari
jarak yang teramat dekat. Tiba-tiba suasana menjadi sangat tenang. Sunyi senyap.
Aku seperti di tempat lain dari dunia ini. Sampai sebuah tangan mendorongku ke
depan, tepat ke arah hajar aswad. Dua atau tiga kali aku mencium hajar aswad. Secepat
aku melepaskan bibir dan tanganku dari batu mulia itu. Aku tersadar kembali.
“Syeh... TARIIIIIKKKK!!!” Aku
berteriak sekencang-kencangnya.
Seketika itu juga, aku terlempar dari
posisiku semula. Entah aku melewati punggung orang lain. Entah dipapah di atas
kepala orang-orang seperti yang sudah aku lihat sebelumnya saat umroh kemarin
siang. Tau-tau aku sudah beberapa meter jaraknya dari hajar aswad. Dengan aceng
disampingku. Kemungkinan besar dia yang menariku. (Iya kan Syeh?) Bukankah badanku
kecil, tak sampai 160 cm tingginya. Jadi sangat mudah dilempar oleh orang-orang
asing super besar yang sedang berebut mencium hajar aswad.
Lewat bawah kaki askar berpakaian ala
pramuka itu kami lewat saat mencium hajar aswad
Aku minta istirahat sebentar, dadaku
masih ngilu. Kami berjalan menuju multazam untuk berdoa, kemudian bergeser ke
arah depan maqom ibrohim. Sholat dua rokaat kemudian berdoa di depan ka’bah. Tampak
bapak-bapak, ibu-ibu di kanan kiri kami. Semua berdoa ada yang menagis
sesenggukan. Ada yang berteriak. Ramai sekali di depan sini.
Masih belum selesai rupanya. Dengan napas
tersengal, masih ngo-sngosan, kami berjalan menuju hijr ismail. Area setengah
lingkaran di sisi timur ka’bah, antara rukun iraqi dan rukun syam. Sisi kebalikan
rukun yamani dan hajar aswad. (kalau saya keliru mohon diluruskan ya brow?). Dikatakan
bahwa, hijr ismail adalah bagian dari ka’bah. Sholat di
Hijir Ismail sama dengan sholat di dalam
ka’bah, seperti disebutkan dalam hadits, ketika Aisyah RA minta izin untuk
masuk kedalam ka’bah untuk sholat di dalam ka’bah, Rasulullah membawa Aisyah RA
ke hijir Ismail dan berkata “Sholatlah kamu disini kalau ingin sholat didalam
ka’bah karena ini termasuk sebagian dari ka’bah.”(HR Turmidzi)
Sekali lagi, tubuh kecil ini berguna
sekaligus rentan bahaya. Kami masuk melewati celah kecil dari sisi utara. Langsung
menuju dinding ka’bah. Kami shalat bergantian dengan aceng. Saling menjaga satu
sama lain. Kemudian mencium dinding ka’bah dan berdoa di sana. Aku sempat
mempersilahkan seorang nenek di sana. Ada ruang kosong dekatku.
“ummi.. tafadlol ummi”
(ummi.. silakan ummi)
Tawaranku hanya dibalas tatapan
heran. Entah karena tak mengerti maksudku, entah karena tawaranku tampak aneh. Tak
berapa lama kemudian kami menepi, dan keluar lagi lewat jalur kami masuk. Gantian
dengan yang lain.
Area setengah lingkaran yang dibatasi
dinding putih setinggi pundak orang dewasa adalah hijr ismail
Keluar dari hijr ismail, kami kembali
ke tempat fovourit kami. Pelataran tangga babul malik fahd. Masih di lantai
putih, dekat kran-kran air zam-zam. Sebotol
air zam-zam kami habiskan sekaligus. Masih nambah sebotol lagi. Masih
ngos-ngosan. Keringat membasahi pakaian kami. Masih ngilu di dadaku. Kemudian duduk
menjeplak. Duduk santai. Melihat orang-orang towaf. Mengagumi baitulloh. Sungguh
ini kenikmatan yang luar biasa. Sungguh diri ini merasa sangat beruntung hari
ini. Maka nikmat tuhanmu yang manakah yang kamu dustakan?
Maka berbahagialah orang-orang yang
diberikan Alloh kesempatan untuk mengunjungi Baitulloh serta mencium hajar
aswad. Maka mulialah orang-orang yang memberikan kesempatan kepada
sebanyak-banyaknya saudara seiman untuk bisa mengunjungi rumah Alloh.
Bukan
kebahagiaan yg membuat kita bersyukur. Tapi
(besarnya) rasa bersyukurlah yang membuat kita menjadi lebih berbahagia.
Sedang Besarnya kesyukuran kita sebagian bisa diukur dari besarnya rasa
terima kasih kita kepada Alloh, dan sebagian besarnya lagi dapat diukur dari
besarnya yang kita bagi kepada orang lain.
Tak terasa, Langit mekah mulai
terang. Merah merekah. Burung-burung mulai beterbangan di atas masjidil kharom.
Lalu lalang di antara menara-menara masjid. Para jamaah mulai meninggalkan
masjid. Kami pun begitu. Waktunya pulang. Kembali ke hotel. Mengisi tenaga. Bersiap
untuk petualangan berikutnya.
Bersama Aceng di pelataran tangga babul malik fahd.
Terima kasih kepada brother afganistan yang memfoto kami