Membicarakan urusan
orang lain memang –terasa- menyenangkan. Kekurangan atau kejelekan, sesedikit
apapun sering kali menutupi kelebihan-kelebihan yang jauh lebih banyak.
Sungguh, kita cenderung melihat orang lain secara tidak objektif. Kekurangan
selalu menjadi bumbu paling gurih yang ditambahkan. Entah karena kita tidak
suka dengan orang tersebut, entah juga karena kita sedang menyembunyikan
kejelekan kita dengan menyebut-nyebut kekurangan orang lain. Pun begitu dengan
yang akan kita bicarakan di tulisan ini, yang merupakan kelanjutan tulisan-tulisan sebelumnya. Mengapa
juga aku tidak menanyakan langsung kepada orang-orang arab sendiri, bukan pada
orang-orang Indonesia yang tinggal di sana. Bagaimanapun, mereka adalah orang
asing di mata orang arab. Dari banyak hal, terutama mengenai kebudayaan dan
kebiasaan tentu saja berbeda. Tapi apa mau di kata, selain kendala bahasa, aku
juga tak cukup punya waktu dan kesempatan untuk bertanya langsung pada
sumbernya. Semoga saja yang saya sampaikan di sini tak berbeda jauh dari kenyataan,
setidak-tidaknya dengan sudut pandang orang asing seperti saya.
Bahwa orang arab
itu.
10. Menggunakan
pakaian Khas. Sudah menjadi kebiasaan tiap bangsa memiliki pakaian khas
sendiri-sendiri. Di Arab saudi –Terutama Mekah dan Madinah- orang arab
menggunakan baju “thob” untuk pria. Sejenis baju kurung terusan, berwarna
putih, berlengan panjang dengan kerah di
leher. Lengkap dengan saku di dada kiri dan dua saku lainnya di pinggang kanan
dan kiri. Belakangan saku pingang di modifikasi dengan sebuah kantung kecil di
dalamnya. Katanya untuk menyimpan HP. Beberapa orang juga menggunakan pelengkap
sejenis jubah sebagai identitas, seperti coklat, hitam, dan lain sebagainya.
Tak lupa menggunakan sejenis sorban yang disebut kafiyeh.
Sementara untuk
perempuan menggunakan baju abaya berwarna hitam. Lengkap dengan cadar, sebagian
membiarkan kedua mata terbuka, sebagian lagi memilih menutupi seluruh wajah,
menggunakan semacam burkha khas seperti Afganistan yang lebih mirip jendela.
Hanya saja burkha arab menggunakan dua
kain tipis (setidaknya lebih tipis dari baju dan kerudungnya) untuk menutupi
wajah. Seperti kaca riben saja. Ada step satu dan step dua. Step satu untuk
terang, step dua untuk yang lbih gelap. Tidak seperti pakaian pria. Thob pria
bisa berwarna warni hijau, putih, coklat dan lain sebagainya. Sementara pakaian
perempuan arab selalu berwarna hitam. Pertanyaan saya adalah ketika para
perempuan berpapasan di jalan, bagaimana mereka saling mengenali satu sama
lain?
11. Sering nabrakin kendaraan. Untuk urusan
ini aku juga tak terlalu mengerti. Seperti di kota-kota besar lainnya. Di Mekah
dan Madinah juga sering terjadi kemacetan. Kalo di indonesia macetnya pas
berangkat ataupun pulang kantor. Hla kalau di sana macetnya ya pas bubaran
sholat fardu. Orang arab tidak suka berlincah ria menginjak rem dan kopling
seperti di Indonesia. Kalau malas ya sudah tabrakin saja. Maju kena mundur juga
kena. Ya tabrakin saja. Setelah itu ribut sebentar. Saling berargumen,
menyalahkan satu sama lain. Mencari alibi sendiri-sendiri. Saling beristighfar,
berzikir. Kemudian mencari jalan masing-masing. Terbukti dari setiap “Ijaroh”
atau taksi yang saya lihat selalu ada penyok entah di body samping, bember depan atau di belakang. Entahlah,
mungkin karena mobil di sana murah-murah kali. Kalau rusak ya tinggal saja di
jalan. Kan nanti bisa beli lagi. Selain taksi dan mobil pribadi, mobil derek
juga terlihat di sana sini. Mengangkut mobil-mobil yang berparkir sembarangan.
Mungkin juga karena ditinggal sama yang mpunya.
12. Orang arab -relatif- jarang Ngrumpi. Khusus
statement ini adalah hipotesis saya sendiri. Rumah-rumah di arab bentuknya
kota-kota bertingkat paling sedikit dua atau tiga, ndak limasan seperti di
indonesia. Rumah-rumah di arab ada yang berpetak dempet, ada juga yang berpagar
tinggi. Satu keluarga biasanya menepati satu lantai. Satu rumah biasanya
ditempati beberapa keluarga. Dari kakek sampai cucu. (Na kalo yang ini
berdasarkan info dari Syeh Andi mutowwif saya). Lha jadinya kalo ibu-ibu mau
ngrumpi paling ya sama anak atau adek-adeknya saja. Jadi di arab tidak ada
kebiasaan “Nonggo” –main ke rumah tetangga, atau ngumpul di satu tempat untuk
ngrumpi-. Selain cuaca di sana sangat panas (Kalo musim panas, kalo musim
dingin ya dingin sekali), para wanita juga relatif terisolir dari pergaulan
umum. Ndak seperti di indonesia. Selain
gerobak tukang sayur, warung tetangga juga menjadi tempat favorit ibu-ibu atau
mba-mba berngerumpi ria. Sepanjang saya berada di saudi. Tak ada satu acara tv
atau koran yang membahas “Berita Kuning”. Istilah untuk conten gosip. Jadi
intensitas ngerumpi orang arab relatif lebih sedikit dari pada orang-orang
indonesia.
13. Orang arab gila pepsi. Menurutku
istilah itu pantas disematkan. Bayangkan, sarapan pagi minumnya pepsi, makan
siang pepsi, makan malam juga pepsi. Dengan catatan “harus dingin”. Seperti
iklan di Indonesia saja. Jadi sedikit beda, di Arab apapun makannannya,
minumnya yang Pepsi. Aku masih tidak mengerti, aku dulu pernah di protes salah
seorang pelanggan saat jualan pepsi di kampus. Katanya pepsi berafiliasi dengan
gerakan zeonis Israel. Heran juga di arab pepsi malah justru sangat digemari.
Sekali lagi tua-muda, miskin kaya, apapun makannya minumnya selalu pepsi.
14. Orang arab terobsesi dengan yang serba
dingin. Karena kondisi yang cenderung panas, menjadikan orang arab
terobsesi dengan yang serba dingin, baik ruangan ataupun minuman. Kalo belum
minum dingin belum minum rasanya. Air zam-zam di masjidil harom dan Nabawi pun
ditaruh dalam termos besar agar tetap dingin. Bahkan di pasar Misfala dekat
Masjidil kharom, yang super panas, kita masih bisa menikmati air zam-zam super
dingin dan menyegarkan.
Pernah suatu
pagi saat menginap di Jeddah, aku bangun dengan tiba-tiba. Menggigil seluruh
badanku karena kedinginan. Tenggorokanpun terasa amat sakit. Kelu. Temperatur
di remot kontrol menunjukkan angka 21 derajat celsius. Dengan bunyi blower
diffuser terdengar kencang. Entah karena masih jetlek entah karena udara di
ruangan memang super dingin. Begitupun selama perjalanan di dalam bis. Selalu
saja menggigil. Suhu yang sama. Padahal di luar ruangan atau di luar bis,
temperatur rata-rata antara 39 s.d 44 derajat celcius. Di arab –pada umumnya-
temperatur udara relatif tinggi di musim panas, hujan sangat jarang turun.
Pemandangan kanan kiri di sepanjang perjalanan hanya pasir dan batu. Tepatnya
gunung batu. Sangking gersangnya, rumputpun
tidak mau tumbuh. Kebayang ndak? 2000 tahun yang lalu, nabi Ibrohim AS tanpa
babibu melaksanakan perintah Alloh. Meninggalkan ibunda Siti Hajar nabi Ismail
di mekah yang gersang, tempat rumput pun
tidak mau tumbuh? SubhanAlloh
15. Orang-orang di arab paling seneng dengan
orang indonesia. Ada semacam kebiasaan memanggil orang yang tidak dikenal
di arab. Orang arab biasanya di panggil Ahmad, orang india atou pakistan
Badrun,sedangkan orang indonesia atau perempuan indonesia dengan “Siti Rahmah”.
Sebenarnya nama itu seperti nama olok-olok untuk para pembantu rumah tangga
(TKI – tenaga Kerja Indonesia? Bener ndak?). Namun kemudian berkembang menjadi
sebutan umum.
Nah curi-curi
dengar ini, selain terkenal kecantikannya, orang indonesia juga terkenal
ramah-ramah. Paling rajin berbelanja. Sampe-sampe ada istilah “Towaf di
Chronice” . Chronice adalah sebuh area belanja terkenal di daerah Jeddah.
Tempat para ibu-ibu menghabiskan real mereka. Karena, pandangan kita beda-beda
tipis antara belanja dan ibadah jadilah ritual itu menjadi seperti wajib. Khas
orang-orang indonesia sehabis merantau atau pulang mudik, sibuk borong-borong.
Dan orang-orang indonesia diperantauan sangat pandai berwira usaha. Maka
jadilah sederet toko-toko bernama indonesia. “ali Murah” “Sultan Murah” dan lain sebagainya. Pokoknya selalu
ada embel-embel murah dibelakangnya.
Yang
menyenangkan lagi, orang indonesia jarang menawar saat berbelanja, tentu saja
selain masalah bahasa. Orang kita tak enak
menawar di sana.
Selain towaf di
Chronice, hampir bisa dipastikan selesai bubaran masjid, orang indonesia tak
lupa menyempatkan ke toko-toko atau belanja di obralan pasar kaget di depan
masjid. Jangan tanya nawarinnya, ya pake bahasa indonesia.
“Hajj... Hajj...
“
“Sepuluh real.. Sepuluh real..”
“Murah...
Murah...” (Dialek india mode: ON)
Orang indonesia kalo belanja atau naik
taksi, umumnya lebih suka mengikhlaskan
kembalian jika pedagang atau sopir tidak punya uang kembalian. Jangan tanya
kalo orang dari negara lain. Bisa ribut berlama-lama itu.
Yang paling
berasa tidak nyaman adalah jika mengenai “Kharim” bahasa gampangnya cewek.
Rasanya saya lihat orang-orang di sana “gatel” kalau lihat cewek. Terutama
orang indonesia. Cantik-cantik katanya. Kebetulan selama perjalanan saya
dititipi dua perempuan, utusan dari biro di jakarta. Saat di hotel para petugas
(yang semua laki-laki, di arab perempuan jarang yang bekerja di sektor publik,
paling mentok ya guru atau dokter, trus pedagang –itupun orang badui-,
selebihnya dikerjakan para pria,para wanita berada di rumah, mengurus anak dan
lain sebagainya), mereka memaksa masuk –dengan alasan membersihkan kamar- ke
kamar muhrim saya, sontak ditolak dong. Akhirnya Icha –salah satu muhrim
saya- menelepon meminta bantuan. Untung
saja kamar kami masih satu lantai. Jadilah keributan kecil siang itu. Setelah
peristiwa itu saya bener-bener yakin, bahwa kemanapun perempuan pergi di sana,
semestinya harus didampingi mahromnya. Kalo ndak bisa gawat. Menurutmu kepiye?
16. Termasuk korban mode. Suatu malam,
selepas dari jama’ah isya di masjid aku merasa kelelahan. Ah, kira-kira selepas
umro ke dua. Aku menunggu sampai jama’ah
agak sepi, baru keluar dari masjid. Bukankah selepas isya adalah jam paling
ramai di sana. Memang, bangunan sekitar masjid sudah di penuhi mall-mall dan
hotel bintang lima. Sebut saja, Intercontinental, Bin Dawood, Soffa tower, dan
yang paling tinggi adalah tower zam-zam. Saat berjalan-jalan di jabal rahmah,
tower itu masih kelihatan. Terlihat anggun, atau sombong barangkali.
Pelataran masjid
masih ramai, di sana-sini orang duduk-duduk di pelataran. Menggelar tikar,
menjeplak begitu saja. Ketawa-ketiwi, sambil menikmati kudapan santap makan
malam, sayangnya lebih banyak menu KFC dari pada menu kebab yang dinikmati.
Kembali ke
masalah mode. Saat berjalan melewati tempat wudlu, aku berpapasan dengan
serombongan ABG bercadar. Mereka tampak saling menggoda, dengan bahasa yang
tidak aku mengerti. Arab ‘Ammiah. Berkejaran satu sama lain. Mau tak mau ekor
mataku mengikuti gerakan mereka. Yang tak biasa selain sepatu mereka, diujung
sepatu terlihat jelas bahan levis. Mereka
mengenakan celana levis. Untuk baju atasannya, aku tidak tentu tidak tahu. Hanya
mendengar dari para TKW bahwa mereka juga menjadi korban mode seperti kita di
negara timur. Bahkan masih di pelataran masjid nabawi, ada toko yang memajang jelas
di jendela show room pakaian yang semestinya tidak dipajang di Arab secara
vulgar. Setidaknya di depan masjid.
Untuk pria
sebenarnya tidak banyak variasi. Selain menggunakan variasi warna thob. Paling juga
memodifikasi bentuk krah baju, saku, dan kancing lengan baju. Sebagian memberikan
accesories bordiran di sekitar dada kanan. Sebagian dibuat agak lebih ketat,
agar bentuk tubuh mereka lebih kelihatan macho gitu. (Kalo yang ini murni
prasangka saya). Tapi setidaknya, hampir tak ada pria (dalam pakaian resmi)
yang menggunakan pakaian selain Thob.
Ini akhir jilid
dua, berikutnya cekidot lagi ya......
seruuu...
BalasHapusini seperti cerita temen yg umroh tapi tertata, jadi berasa ngrumpi di kantor, hehehe
wah detil banget y mas pengamatannya:)
BalasHapuscekidot jilid berikutnya....
BalasHapus