Aku bisa
mengatakan malem ini sangat cerah. Bulan bersinar lebih terang dari biasanya.
Ya karena langit sedang cerah, ya karena –katanya para ahli astronomi- malam
ini ada “super moon”. Tak aku mengerti maksud yang pas dari istilah supermoon. Yang jelas, sore ini langit
Jakarta cerah. Hujan terbukti sangat ampuh membersihkan Jakarta. Tak hanya
debu-debu di dinding gedung tinggi nan megah, namun di seluruh langit Jakarta.
Yang jadi korban selalu saja got. Mampet di sana-sini. Bau busuk mengunggun,
menusuk hidung. Anggep saja, ini kompensasi dari cerahnya angkasa. Sedikit
lebih baik. Lebih baik dari pada bau dan langit berdebu.
Aku duduk di “Lincak” tempat biasa warga gang buntu
ngobrol. Tempat paling istimewa di kontrakan mas ku. Besok ada acara di Jakarta.
Urusan kerjaan. Jadi ngalahi datang sejak sore ke Jakarta. Biar paginya ndak
terburu-buru. Tidak seperti biasa, lincak
masih sepi. Mungkin, masih pada sibuk ngurusi urusan rumah. Ato belum pada
pulang dari tempat bekerja.
Bukankah sudah
pernah kukatakan kepadamu, jakarta memang kejam untuk orang-orang yang tak
membekali diri dengan kemampuan maksimal. Ya kemampuan ilmu ya kemampuan dalam
pengalaman. Apalagi yang tidak punya tujuan, saya nasehatkan jangang coba-coba.
Jakarta akan jadi tempat yang sangat kejam. Istilah lama, “Ibu Kota lebih kejam
dari pada ibu tiri”. Ibu tiri sekarang kejam kaya di felm “Ari anggara” ndak
ya?. Semoga saj tidak, cukup ibu kota saja yang kejam, ibu tiri ndak usah
ikut-ikut. Jadi perfikirlah sebelum bertindak. Berfikirlah masak-masak sebelum
mengadu nasib di ibu kota. Sokbijak.com
Tiba-tiba mamak
sama bapak datang. Wajah mamak serius. Sesuatu mungkin sedang dipikirkan. Ah,
bukankah setiap hari juga begitu. Selalu direpotkan dengan masalah-masalah
-yang menurutku- ndak perlu diributkan. Si bapak Daud jangan ditanya. Bliau ini
tetap santai seperti biasa. Cengar-cengir. Seperti tidak terjadi apa-apa. Aku
tetap sulit memahami cara berfikir bapak Daud. Hidup ya mengalir saja. Seperti
kopi ditenggorokan. Seperti asap kretek dji
sam soe di kerongkongan.
Aku tak juga
beringsut dari tempat dudukku. Seperti sudah dikomando, mamak sama bapak Daud
duduk berjejer. Tepat di depanku. Hanya dipisahkan gang buntu. Ada tiga kursi
kecil di sana. Tempat biasa kami ngumpul. Kali ini mamak terlihat lebih serius.
Sementara bapak Daud terlihat makin santai. Nikmat sekali melihatnya menyedot
keretek. Mesti tak lengkap. Kopi sepenuh
hati mamak belum jadi. Airnya belum mateng. Takkan ada yang lebih
mengganggu pikiran mamak selain sulungnya Uri. Sekarang Uri kelas tiga SMA.
Mamak tentu bingung bagaimana nanti si Uri. Keluarga mamak memang tak punya
banyak referensi. Mas bro sekalian juga tau, tak banyak perempuan betawi
bersekolah tinggi. (Untuk statemen ini saya mohon maaf sebesar-besarnya, semoga
hanya terjadi di gang buntu). Begitu lulus sekolah –kadang SMP atau SMEA-
langsung dinikahkan. Budaya seperti ini sebagian masih jadi kebiasaan.
Perempuan yo Dapur, Sumur, Kasur.
Sebuah Ironi.
“Bagaimana ini
om?” tanpa ba bi bu mamak langsung memulai pembicaraan.
“Bagaimana
apanya mak?” aku jawab sekenanya. Si bapak Daud menyedot keretek semakin dalam.
Sedotan terakhir.
“Si Uri lah om?,
kan udah selesai ujian. Trus mau gimana om?
Mamak bertanya
semakin serius. Penginnya nongkrong di sini biar santai, eh malah diajakin
ngobrol serius. Seserius raut muka mamak seperti sekarang. Seserius sedotan
bapak Daud di sisa puntung rokok.
(Maafkan bukan
bermaksud mengeksplor iklan rokok. Tapi memang tidak ada yang lebih serius bagi
bapak daud selain saat merokok, terutama di detik-detik terakhirnya.)
“Maksudnya
bagaimana mak?” aku menyelidik.
“Yaitu om, nyari
tau cabangan kek.”
“Ato nyariin
lowongan buat Uri”
“Minta saran
dong om?”
“saran apa
gitu?”
Aku
manggut-manggut. Diam beberapa saat. Tak juga menjawab.
Wajah serius
mamak berubah, lebih kelihatan cemas. Kerutan di wajahnya tidak bisa bohong.
Lha ini siapa
yang punya anak, siapa yang suruh ngurusi masa depannya. Lha yang njalani
hidupnya yo Uri-uri juga.
“Kalo mamak
minta pendapat saya, yo Uri harus sekolah lagi.”
“Lagian jarang-jarang ada orang jakarta yang
merantau jauh”
“Perempuan
lagi.”
“Apa ndak hebat
itu, sekolahnya tinggi.”
“Apa ndak keren itu
mak?”
Mata mamak
berbinar. Ada perasaan bangga di sana. Sebentar kemudian ditekuk lagi. Apa mungkin bisa?
“Tapi bagaimana
biayanya nanti om?”
“Om tau sendiri
sekolah SMA saja sudah mahal begitu”
“Bagaimana
kuliah nanti?” mamak semakin kawatir.
Melihat Uri
menjadi sarjana sepertinya cuma mimpi. Terlalu jauh dari kenyataan. Utophia
bahasa kerennya. Bukankah kita sering kali begitu. Berhenti berharap dengan
yang belum terjadi. Menggunakan akal kita yang sangat sederhana ini untuk
mendahului takdir. Takdir yang Maha Kuasa. Dzat Yang membelah laut merah
menjadi jalanan yang luas. Yang menjadikan bulan terbelah menjadi dua. Yang
menjadikan matahari berdiam di peredaraannya. Sedangkan ini hanya urusan kecil
saja. Pasti mungkin. Bergantung pada kita yang memperjuangkannya. Niatkan
sepenuh hati. Kerjakan dengan sekuat tenaga. Kemudian serahkan hasilnya kepada
yang punya Kuasa. Yang punya manusia.
“Mamak
benar-benar pengin Uri sekolah lagi?”
Dijawab dengan
anggukan. Mamak telihat lebih antusias.
“Sebenarnya
kuliah itu ndak harus mahal-mahal mak..”
“Bahkan, kalo
uri bisa diterima di tempat yang tepat, insyAlloh tidak akan lebih mahal dari
biaya sekolah uri selama ini ma...”
“Lha gimana
caranya itu om? Masak kuliah lebih murah dari SMA. Bukannya tingaktannya kan
lebih tinggi?”
Mamak penasaran.
Ingin tau. Mencoba berlogika.
“Lha ya harus
nyari tempat kuliah yang jauhan dikit. Biar biayanya lebih murah.”
“ Jangan lupa.”
“
Semahal-mahalnya Kuliah di negri tetap saja masih lebih murah dari pada kuliah
di swasta ma.”
“Lha kata
tetangga kemarin nyekolahin anaknya di UNJ, mahal banget om?”
“Katanya, uang
pangkalnya saja sembilan juta.
“Lha dia bisa
mbayarnya, lha kita?”
“Uangnya dari
mana om?”
Masuk akal juga
alasan mamak. Bukankah bapak Daud seorang buruh pabrik. Tidak sedang
merendahkan, namun susah dihitung dengan matematika. Pendapatan bapak Daud
tidaklah besar. Mamak membantu apa saja untuk menopang kebutuhan keluarga. Ya
mencuci baju orang, ya momong anak
orang, ya macem-macemlah. Untuk kebutuhan sehari-hari berikut menyekolahkan
anak-anak. Apalagi harus menyekolahkan sampai dengan tingkat perguruan tinggi.
Bagamana mengaturnya, bagaimana mencukupkannya. Betapun kuliah itu murah. Tetap
saja butuh biaya yang tidak sedikit. Tak semua orang tau bagaimana cara ngakalinya.
“Kan ada
beasiswa mak?”
“Trus mbayar
uang bangunananya kan bisa dicicil mak”
“Tapi kan kalo
segitu tadi kan banyak mbanget om”
“Kalo dicicil
juga kapan lunasnya...” mamak memotong buru-buru.
Aku tersenyum. Masuk
diakal juga.
“Trus buat makan
sehari-hari di sana gimana om?”
“Buat buku,
photo kopi, dan lain-lain, tetek mbengek,
dan segala macemnya gimana om?”
“Lha kemarin pas
di SMA saja ribet mbanget, apalagi kalo ntar kuliah?”
“Pusing om,
waduh... duh.. duh..” mamak kembali
berargumen.
Tak lupa bumbu
lebai, nepok-nepok jidat.
Aku kembali
tersenyum. Sedikit berbeda. Aku memasang gaya bijaksana. Macam Pak Bina di
serial Mbangun Desa dulu. Masih ingat kan, itu lho gerombolannya Den Baguse Ngarso,
Sronto, sama juragan antagonis si Kuriman yang selalu mbikin onar. Berikut argumen-argumen
masuk akal, yang justru menambah runyam suasana. Kalo yang jaman kecilnya suka
nonton TVRI pasti lah tau sinetron ini. Intinya si Pak Bina ini tokoh paling
bijaksana. Yang memberi solusi untuk semua permasalahan. Masalah bagi Den
Mbagus yang kemaki plus sok tau. Trus menjembatani Sronto sama istrinya yang
lugu dan selalu dikerjai dan dimanafaatkan. Ya sama den bagus, ya sama kuriman.
Lha kalo aku ini jelas bukan Pak Bina. Tapi gayanya tok yang mirip. Padahal sok
tau. Namanya juga lagi memberikan semangat buat orang lain. Kudu optimis. Harus
bisa meyakinkan orang yang diajak bicara. Tidak lupa ditambah bumbu-bumbu
pengalaman pribadi. Wis mantap pokoke
lah.
“Begini mak, mamak mau melakukan apa saja biar
uri bisa sekolah?”
Mamak mengangguk.
“Kalo mamak
pengin Uri sekolah, Pertama mamak harus ikhlas pisah dengan uri”
“Biarkan ia
merantau jauh, biar biayanya lebih murah”
“Kalo sekolah di
daerah, apalagi yang negri kan biayanya murah”
“Mungkin di
Semarang, solo, ato jogja mak”
“Nah, asalkan
mamak mau menyisihkan uang sedikit lagi dari biasanya, insyaAlloh akan cukup”
“Pas SMA uri
mbayar brapa mak?”
“Tiga ratus
mapuluh om?”
“Sebulan?”
“iya Om, namanya
jakarta, apa-apa mahal, sayuran aja mahal, apalagi sekolahan”
“Nah, klo Uri
bisa sekolah di daerah, Mamak perlu nambahin sedikit lagi.”
“Ya sekitar tiga
ato empat ratus ribu lagi”
“Itu cukup untuk
SPP, sama biaya hidup Uri di sana nanti”
“InsyAlloh mak..”
“Itu beneran om?”
Aku mengangguk. Kali
ini anggukanku lebih mantap. Menyemangati mamak.
“Lha terus nyari
tambahanya itu om yang susah?” Ada saja argumen mamak.
Aku tidak
menjawab. Aku mengarahkan pandanganku ke bapak daud. Masih sibuk dengan batang
kreteknya. Pandangannya meleng. Tapi telinganya tajam mendengarkan.
“Beh, babeh kalo
ngrokok sehari paling ndak habis sebungkus kan?”
Yang ditanya
tidak menjawab. Hanya menyeringai. Ya begitulah.
“Nah mak, Rokok
sebungkus kan harganya sepuluh ribu”
“Kalo sehari
sepuluh ribu, kalo sebulan kan berarti tiga ratus ribu mak”
“Suruh saja si
babeh berhenti merokok?”
“Mana mau Om,
orang udah kebiasaan gitu”
Suara mamak
meninggi. Sebel lihat suaminya tiap hari mbakar duit.
“Lha itu kan
baru salah satu contoh, yang lain kan masih banyak lagi”
“Kalo masalah
ini, silakan bapak Daud yang milih”
“Apa milih merokok,
atau mbiarin anaknya yang lagi sekolah dirantau sana kelaparan?”
Mamak terlihat
optimis. Mata kanan mamak melirik ke arah bapak Daud. Dengerin tuh.
“Pokoke dicoba
dulu mak”
“Ikutan ndaftar
perguruan tinggi, apa itu namanya SNMPTN”
“Berusaha dulu,
nanti hasilnya seperti apa, serahkan saja kepada Yang Punya Kuasa.”
“Kudu tetep
optimis, ndak boleh putus asa”
“Dan Jangan lupa
itu mak, urusan rokoknya bapak Daud,”
“Kan lumayan
bisa ditabung. Buat sekolah anak-anak”
Suara motor
kencang berbunyi. Lewat di depan kami. Tetangga sebelah pulang kerja. Sempurna memotong
sebentar perbincangan kami. Gang buntu memang sempit. Tapi hati-hati kami para
penghuni gang buntu senantiasa lapang. Ada masalah kita biacarakan bersama. Ada
makanan, ya kita habiskan bersama. Seperti apapun masalah yang ada selalu ada
penyelesaian sesudahnya.
Uri muncul dari
balik pintu. Membawa nampan berisi minuman. Teh manis untukku, dan kopi sepenuh
hati untuk bapa Daud. Sedari tadi ia mendengarkan perbincangan kami dari dalam.
Wajahnya berbinar. Ramai seperti gang buntu. Bersiap menjemput masa depanya
yang cemerlang. Tetap semangat Ri. Semoga Alloh menunjukan jalan yang baik. Menganugerahkan
takdir kehidupan yang luar biasa untukmu. Menjadi pembeda untuk orang-orang
disekelilingmu. Semoga Alloh mengabulkan. InsyaAlloh.
jos pokoke lah mas
BalasHapuswoke woke woke...
BalasHapus