Hari Sabtu
beberapa waktu yang lalu...
“Boz...
pelan-pelan dong..!!”
“MasyaAlloh
sakit banget..!”
Aku mengeluh. Eh
melenguh. Menahan sakit dan ngilu. Imam asyik memencet salah satu jari kakiku. Kelihatan
biasa saja. Tapi kalau engkau ikut merasakannya. Sungguh ngilu luar biasa.
Sakitnya sampe ke ubun-ubun. Sekujur tubuhku sampai mengeluarkan keringat
dingin. Tak tahan aku menahan sakit.
“Brisik...” Imam
membentak.
“Kalo mau sehat
ya nurut !!!”,
“sakit dipelihara...”
ia nampak puas. Cengar cengir. Bahagia sekali
melihat penderitaanku ini.
“Wadow!!!” aku
menjerit lagi.
Imam tak juga
mengendurkan pencetan tangan di kakiku. Genap sudah sepuluh jari
kakiku dipencet-pencet imam. Genap sudah penderitaanku sore itu. Eh belum ding,
kan belum dibekam. Tusukan jarum bekam benar-benar maknyus. Sakit clegit-clegit. Namanya, orang ndak
sehat, disenggol sedikit saja, sakit rasanya.
Selain bekam dan
jualan jamu herbal, Imam punya keahlian
memijit. Pijat refleksi istilahnya. Jadi apapun sakitnya, imam tak menyentuh langsung
bagian yang sakit. Namun memijat seputaran tangan dan kaki. Imam biasanya mendeteksi penyakit pasien
dengan melihat mata, kuku, lidah dan gerak badan pasien. Kemudian, untuk
memastikan perkiraan ato bahasa kerennya hipotesis, imam memencet jari-jari kaki atau tangan pasien. Setelah itu baru
melakukan bekam atau pun memberikan racikan jamu herbal. Kalo tak pikir-pikir
imam sudah seperti tokoh Jang Geum di
sinetron favouritku. Jewel in the Palace.
Itu-tu dokter korea yang super cantik, pekerja keras, dan paling hebat
mengobati para pasien. Baik permaisuri maupun sang raja. Tenang bro, aku tak
begitu maniak dengan sinetron korea.
Selain sinetron itu aku males nonton, takut kecanduan. He he he he. Lha
wong baru satu sinetron saja sudah tak
koleksi itu sampe 22 gigabyte di hardisk. Ngebak-ngebaki
to? Apalagi kalo nonton yang lain juga. Bisa-bisa felm yang lain ndak
kebagian. Padahal sebenarnya tetep saja
karena alasan yang pertama.
Oke kembali ke laptop.
Puas memijat
kakiku, imam menyiapkan alat bekam. Ini kali ketiga aku dibekam. Waktu pertama
kali dibekam, tubuhku serasa lemas semua. Seperti tak lagi tersisa darah
dibadan ini. Lebay.com. Kedua kali,
sedikit segar. Tapi jangan tanya di urusan makan. Tambah rakus saja setiap
hari. Mudah-mudahan yang ketiga kalinya akan terasa baikan. Kembali segar
berenergi. Wes hwes hwes... bablas
angine... (Alm. Basuki Mode:On).
“Enak ya kerja
di Proyek yo?” imam mengelap punggungku dengan sesuatu.
Aromanya tak
asing. Minyak klentik.
Aku menjawab
dengan Aww lagi. Imam memijit titik akupuntur di punggung sana.
“Urip yo
sawang-siwangan om..”
“Yo ndak bisa
kerjaan kita dibanding-bandingkanlah...”
“profesi kita
kan beda”
“Saya mah ndak
neko-neko om”
“Saya digaji
dari yang saya kerjakan saja”
“Gajiku ya
rejekiku tiap bulan, cukup ndak cukup ya harus dicukup-cukupin..”
“Sebesar apapun
gaji kita, sebenarnya ya cukup”
“Kitanya saja
yang neko-neko, pengin ini pengin itu, macem-macem pokoke”
“Lha mau
ngorupsi ya buat apa om, kalo dimakan yo ndak jadi daging, kalo jadi daging ya pol-pole Cuma jadi daging penyakit,
ya kolesterol, ya tumor, ya sebangsanya itulah ...”
Imam mengelap
sisa darah di punggungku. Memasukan ke dalam kantong keresek, bersama tisu
kotor dan jarum sisa bekam. Alat bekam diletakan di sebelah washtafel, segera
dibersihkan. Agar darah tak lekas mengering, mengurangi higienitas peralatan.
Rasa perih terasa saat cairan dibalurkan. Tak asing juga. Ini aroma alkohol
kadar rendah. Revanol. Aku masih
tidak mengerti urusan alkohol ini. Alkohol memang dihukumi harom apa bila di
konsumsi (dimakan atau diminum). Tapi bukankah Alkohol tidak najis? waAllohu ‘alam.
“Wah kowe iki iso bae gole njawab yo”
(Wah kamu ini
bisa saja njawabny yo)
Imam meratakan
basuhan revanol. Aku meringis, perih sekali.
“Lha terus mau
gimana?”
“Namany orang
hidup itu yo sepaket”
“Kita mewarisi
rasa ingin memiliki, ingin menguasai, ya to?”
“Itu yo fitroh,
bawaan lahir”
“kalo kita punya
rasa iri, pengin punya yang orang lain miliki yo sudah sewajarnya om...”
“Tapi sering
kali kita ini lupa, setiap keinginan ada konsekwensinya,”
“Setiap yang
kita miliki itu amanah, dan tiap-tiap amanah ada pertanggungjawabannya”
“Ya tanggung
jawab di dunia, ya tanggung jawab di akherat”
“misalnya?” Imam
menyela. Aku lihat lebih mirip ngetes.
“kalo kita punya
montor, enak bisa dinaiki kemana-mana”
“Ndak perlu
jalan kaki, ndak perlu bercapek-capek”
“Tapi yaitu,
harus diisi bensin, ban diisi angin, kalo rusak harus dibeneri.”
“Ada biaya, ada
pengorbanannya”
“Contoh lain
lagi....”
“Punya anak, punya
istri, sama juga begitu... “
“Ndak bisa Cuma
dibangga-banggakan tok, ada konsekwensinya itu?”
“Harus dijaga sebaik-baiknya..”
“Harus dididik
yang benar, yang baik, ya pengajaran agama ya pengajaran ilmu pengetahuan”
“Ndak Cuma
dikasih makan, makanan yang (harus) halal, sumber nafkahnya (harus) benar”
Imam manggut-manggut. Mengiyakan. Kedua tangan imam asik menari di pundakku.
Aku nyerocos terus sedari tadi. Kapan lagi terus dipijit begini. Semua orang
juga tau. Aku ini ibarat menggarami lautan. Imam tetap jauh lebih paham urusan
agama dari padaku. Beliau ini lulusan pesantren ternama, lha aku ini yo mung
pinter ngomong saja.
Kullukum ro'in, wa kullukum mas-ulun 'an
ro'iyatihi...
Spontan Imam
membacakan sesuatu. Aku agak sedikit familiar. Ingat-ingat jaman sekolah dulu.
Pas pelajaran pengajian. Lha bagaimana mau paham, kalo diterangkan tauziah kan
hobinya ngantuk. Jadi yo dengarnya separo-separo. Sriwing-sriwing gitu.
“Setiap kalian adalah pemimpin, dan setiap
peminpin akan dimintai pertanggungjawaban atas apa yang dipimpinnya.” Imam
melanjutkan.
Terbukti kan,
dihadapan imam aku ini sangat kecil. Imam hapal di luar kepala. Imam jauh lebih
paham maknanya daripadaku. Imam rajin mengamalkanya. Dengan caranya.
“Ya kira-kira
begitulah maksudku om.” Aku ngeles. Sok tahu.
“Ha ha ha ha
ha.” Kami berdua tertawa. Menertawakan diri sendiri. Aku menertawakan sok
tahuan ku. Imam tertawa karena bliau sukses mengajariku urusan ini. Tak
dipungkiri, aku dan imam memang punya banyak kesamaan. Selain ukuran tubuh kami, kami sama-sama
model pria “mercon renteng” meletup-letup. Berekspresi spontan. Bereaksi sedikit
berlebihan.
Ups salah. Aku
buru-buru menutup mulut. Kami tertawa terlalu keras barusan. Aku lihat fikri
bergerak-gerak. Terbangun dari tidur. Tak
bersuara. Hanya kedua mata dan bibir si kecil yang bereaksi. Terganggu
oleh kelakuan kami.
Kata mba Nur
–istri Imam- sudah dua hari ini fikri demam. Panas tinggi, sampe 39 derajat
celcius. Ia Lebih banyak istirahat, tergolek di dipan dari pada dibawa
jalan-jalan. Seandainya, fikri sehat sepertia nak-anak yang lain, mungkin sudah
mengatakan sakitnya. Dimana yang sakit. Umur fikri sudah hampir tiga tahun
sekarang. Semestinya sudah bisa berjalan. Berlarian ke sana-kemari seperti
anak-anak kebanyakan.
Terapi hari ini
selesai sudah. Aku harus segera pamit. Urusanku masih banyak. Biasa, sok sibuk
gitu. Tadi imam juga bilang, ia mau kondangan. Fikri sakit, jadi tak bisa
diwakilkan mba Nur. Ia harus datang. Tak enak aku berlama-lama di sini. Biar
sama-sama nyaman. Toh bulan depan masih bisa main ke tempat imam lagi. Masih
bisa ketemu lagi. InsyaAlloh.
Saat pulang,
imam membawakanku sebungkus “jamu godog” dan
sebotol kecil madu setengah kilogram. Saat berpamitan, sekilas aku melihat ke
arah fikri. Agak lama. Sesuatu sedang terjadi. Entahlah. Mudah-mudahan tidak terjadi apa-apa. Mudah-mudahan
fikri sehat kembali seperti sedia kala.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar