“BAPAK MAUNYA APA?”
“Kalau bapak tidak suka dengan saya, pecat saya sekarang juga!!”
“kalau bapak penginnya kita berantem, ayo kita berantem di sini”
“KITA DUEL..!!!”
“Tak perlu ada yang memisahkan kita… sampai mati..”
Wajah Pak Kasam merah padam. Matanya melotot, menantang. Tubuhnya gemetar hebat. Tangannya menggenggam erat. Ia menjejeri pak Nur. Mengikuti arah tubuh pak Nur yang selalu emmbuang muka.
Sepertinya kini giliran pak Nur yang ketakutan. Tubuh setengah baya pak Nur tidak mungkin mengalahkan karmin yang gempal. Masa muda pak Nur sudah lewat. Sia-sia saja melawan Pak Kasam yang marah. Pak Nur memilih diam dan menghindar. Lebih tepatnya ketakutan.
Demi melihat wajah ciut pak Nur, Pak Kasam urung melayangkan tinju yang sudah sedari tadi ia tahan. Kemarahan Pak Kasam kali ini sudah memuncak. Kecewa, sedih, marah, campur aduk menjadi satu. Sudah sebulan ini dua orang itu tidak akur. Pak Nur selalu marah-marah kepada Pak Kasam. Marah karena pak Nur merasa selalu dilangkahi. Marah karena Pak Kasam sering tidak ada di meja kerja.
Pak Nur memang –menurutku- bukan pemimpin yang baik. Ia menjadi pimpinan di proyek itu, lebih karena ia putra daerah. Lebih karena ia memang paling senior diantara kami semua. Setidaknya itu pendapatku.
Kadang, aku berfikir dan berharap teori ini salah. -Beberapa waktu lalu-, saat aku ngobrol ngalor ngidul dengan seorang teman berkaitan dengan masalah sebagian orang tua. Kami sepakat menamainya “Sindrom setengah baya”. Bahwa saat seseorang semakin tua –terutama pria- akan merasa rendah diri. Karena bagaimanapun, dalam benak setiap pria, ia adalah kepala rumah tangga, pemimpin yang dominan. Harus senantiasa dijunjung tinggi, diutamakan dari yang lain. Dan ketika usianya mencapai setengah baya. Kala secara ekonomi –cenderung- tidak produktif, baik karena alasan fisik yang menurun ataupun karena sudah mulai menjelang pensiun. Ia –dalam hati kecil mereka- mungkin merasa ketakutan. Akan merasa tidak berguna. Dan pada akhirnya ditinggalkan oleh orang-orang sekitarnya.
Orang-orang dengan sindrom ini menggunakan sesuatu yang ia miliki, ya tuanya, ya seniornya, ya jabatannya, untuk didengarkan. Untuk mendominasi orang lain. Sehingga, apapun yang diinginkan harus dituruti, meskipun hal itu bukanlah hal yang lebih masuk akal, lebih efisien, atau berguna. Akhirnya lebih banyak keputusan yang diambil berdasarkan pertimbangan emosional, bukan pada yang paling masuk akal. Setidaknya menurut kita, orang-orang muda.
(Kepada teman-teman Psikologi, mohon maaf melangkahi, komentar teman-teman akan sangat membantu guna meluruskan saya yang sangat sok tahu ini, sekali lagi tolong ya….)
Anggota-anggota DPR kita yang –sangat terhormat- mungkin banyak yang kena sindrom ini. Coba cek deh, agaknya kebijakan-kebijakan yang dibuat lebih pada dasar Aku, ataw Gue. Lupa dengan kemanfaatan bagi orang banyak. Pada rebutan, berantem, habis itu ngorok, kecapean. Urusan tidak selesai. Lha rakyat kecil yang sudah memilih dengan ikhlas,- sebagian memilih karena duit yang seberapa- (Ngaku?), plus janji-janji mulia tetap saja susah. Tetap gigit jari, menyaksikan wakil-wakilnya sibuk mementingkan diri sendiri. Sibuk dengan perut dan “Wudele dewe-dewe”.
Maafkan, aku juga termasuk korban berita di tivi. Jadi kalau sudah membicarakan wakil rakyat ikut-ikutan gemes. Ikut-ikutan geregetan. Maklum, pernah jadi mahasiswa. Katanya mahasiswa kudu peduli sama nasib rakyat. Nyombongdikit.com.
Kembali ke urusan Pak Kasam saja ya…
Siang hari, aku menjumpai Pak Kasam di selasar masjid. Pak Kasam sedang duduk tertidur, bersandar di dinding masjid. Entah karena lelah, entah memang suasana masjid ini sangat nyaman. Sejuk seperti di bawah pepohonan. Harus kami syukuri. Selama perjalanan kami bekerja di proyek. Lokasi kami tidak pernah jauh-jauh dari masjid. Baik lokasi tampat kerja, maupun lokasi mes tempat kami tinggal, tempat kami beristirahat. Biar perusahaan kami tambah sukses. Didoakan orang banyak.
Selain Pak Kasam, aku lihat yang lain juga ada di situ, tertidur pulas. Posisi tidur mereka lucu-lucu. Ada yang mangap, ngorok, ada yang nungging tidak karuan. Yang parah Riko, selain ngorok, liurnya tak juga berhenti mengalir. Ngiler. Maafkan kami pak ta’mir masjid, sudah mengotori masjid ini. Bukannya mbantu bersih-besir malah ngileri.
Masjid memang selalu jadi tampat primadona. Ya buat istirahat ya buat sholat. Dan bagi orang-orang sepertiku, masjid tetap menjadi tempat tak tergantikan. Selalu ada tempat di hati. Selain memoriku dengan kawan-kawan di Al Muttaqin. Masjid juga menjadi tempat favourit saat bulan puasa tiba. Aku termasuk yang paling setia menjadi jamaah buka bersama. Bahkan hingga kini. Menurutku pasal 33 UUD 45 lima harus di revisi. Jadi begini, “Fakir miskin, anak-anak terlantar, dan anak-anak kost di pelihara oleh panti asuhan dan atau ta’mir masjid”. Yang agamanya lain boleh menyesuaikan. Jangan kenceng-kenceng ngomongnya nanti bisa kena pasal subversive. Masuk pencara. Mau?
Nglantur lagi kan…..
Sekarang ndak wis…
Kembali lagi ke urusan Pak Kasam.
Aku ikut duduk, menyampingi Pak Kasam. Sebenarnya ingin ikut tidur-tiduran, apa boleh buat, sudah tidak kebagian tempat. Mas Eko tidak bisa diam, muter-muter saat tidur. Ndak tega juga ngeliat si riko ngiler. Demi melihatku datang. Pak Kasam terbangun. Sebentar mengerjap-ngerjapkan mata. Sempurna terbangun kemudian.
“Maaf yang tadi pagi mas..” Pak Kasam memulai pembicaraan.
Aku menggeleng.
“Ndak popo pak…”
“Ndak usah dimasalahkan, kami maklum..”
Aku sedikit beringsut. Memperbaiki posisi duduk.
Karpet masjid sudah lusuh. Tambah licin. Jadi harus sering-sering geser.
“Saya bingung mas, pengin keluar saja…”
Aku menatap Pak Kasam. Melongo.
“Kenapa pak?” aku bertanya tak mengerti.
“Aku ndak enak sama yang lain”
“sering mbolos kerja, selalu telat, apa lagi harus ribut kaya tadi pagi..”
Pak Kasam menatap lurus ke depan. Menerawang jauh ke jalanan. Ke lapangan luas di depan masjid.
“Ya tapi kenapa pak?”
“Ko tiba-tiba begitu..?” aku makin tidak mengerti.
“Istri saya mau bunuh diri mas…”
“Stress berat..”
“Setiap saya berangkat kerja, Istri saya mengancam bunuh diri…”
“Dia ndak mau ditinggal sendirian di rumah..”
“Harus terus ditemani”
“Ndak ngerti…”
Pak Kasam menggeleng lagi. Aku masih melongo. Serasa darah berhenti mengalir. Serasa dingin di bagian wajah. Wajahku pias. Pucat.
Sudah hampir genap lima bulan aku bekerja dengan Pak Pak Kasam. Nama yang sangat sederhana. Sesederhana orangnya. Pak Pak Kasam adalah tipikal pekerja keras. Rajin di kantor, rajin juga di mes. Jagoannya bersih-bersih. Sebelas-dua belas dengan pak DJ alias Pak Tukul, yang terobsesi dengan bersih-bersih. Wajan teflon kesayanganku mengelupas semua, disikat sampai habis lapisannya. Jangan tanya urusan rumput di halaman. Semua disikat habis, bahkan merembet sampai halaman rumah tetangga. Aku geleng-geleng demi melihat wajan baru itu. Yang berbuat hanya tertawa ngakak. Puas banget.
Tak seorangpun di mes Puri Kendedes yang menyaingi rajin dan disiplin pak Pak Kasam. Bangun pukul lima pagi. Keluar rumah sebelum genap pukul setengah 6. Terus bekerja. Asyik tanpa gangguan hingga malam. Pak Pak Kasam belum akan beringsut dari meja kerja selain untuk makan dan pulang kerja. Pak Kasam tak pernah pulang di bawah jam sepuluh malam. Pantas saja, beberapa waktu lalu Pak Pak Kasam mendapat predikat karyawan teladan. Ditandai dengan gelas mug merah besar –ukuran seliter- yang selalu ia bawa kemana pindah bekerja.
Menurut cerita yang aku dengar. –aku tak pernah sampai hati bertanya langsung. Memang bukan tipeku- istri pak Pak Kasam stres. Depresi berat. –Lain kali aku akan menanyakan sebutannya pada teman-teman psikologiku, Tya, Rista, Nunung pada kemana sekarang ya?,- Istri Pak Pak Kasam ditipu seorang oknum tak bertanggung jawab bermodus pananaman modal. Ia dijanjikan keuntungan yang besar jika menanamkan sejumlah uang. Entah dihipnotis, entah dicekoki macem-macem, tanpa berpikir panjang, istri Pak Kasam meminjam sejumlah uang –cukup besar, hampir lima puluhan juta- kepada koperasi. Setelah uang itu diserahkan, oknum itu kabur, tanpa pesan, tanpa kabar. Betapapun istri Pak Kasam seorang pegawai negeri. Butuh waktu setidaknya lima tahun gajinya untuk menutup semua hutang-hutang itu.
“saya pasrah saja mas..”
“yang terjadi biarlah terjadi”
“Anggap saja ini pengingat untuk saya mas…”
“Biar saya mau sholat, mau eling sama gusti Alloh..”
Pak Kasam mendesah panjang.
Belakangan ini Pak Kasam rajin pergi ke masjid. Sholat tepat waktu. Berjama’ah. Lengkap sudah, ya rajin beribadah, ya rajin bekerja. Mestinya kita begitu juga. Biar Indonesia ini cepat lebih baik. Sebelumnya memang Pak Kasam tidak sholat. Hanya KTP saja yang bertulisan Islam. Untuk urusan sholat. Ia mangkir. Puspa –admin proyek- pernah bilang begitu. Bahkan untuk Shalat jum’at. Ia tetap tak beringsut dari meja komputer. Gila kerja. Bukankah semua pilihan ada alasannya. Termasuk pilihan Pak Kasam meninggalkan sholat.
“Dulu, memang saya ndak sholat mas..”
“Yang penting sudah eling, itu sudah cukup”
“Bukankah sholat tak membuat kita kenyang?”
“Bukankah kalo kita sholat, kita tidak akan kurugan duit sekarung?”
“Buang-buang waktu”
“Lha itu.. orang-orang kaya yang pada ndak sholat malah diberi kekayaan. Mobilnya banyak. Anak-anaknya bisa sekolah tinggi. Setelah lulus bisa sekolah di kantoran. Gajinya gede.”
“Ndak miskin kaya saya ini”
“Lha sampean lihat di tivi itu, yang pada pergi haji sampai lima kali, tetap saja korupsi. Semena-mena perbuatannya.”
Pak Kasam tersenyum getir. Aku diam mendengarkan. Masuk akal.
“Dan…”
“Setelah saya sholat”
“Saya juga tidak merasa kenyang”
“Hutang-hutang istri saya juga tidak terbayar. Penipu-penipu itu tetap bisa melenggang kangkung”
“Tidak ada duit sekarung.”
“Tidak ada emas batangan turun dari langit.”
Pak Kasam terdiam. Aku hanya mengangguk.
“Memang bukan itu mas”
“Sholat memang tidak mengubah apa-apa”
“Kecuali cara berfikir saya mas…”
“Setidaknya itu yang saya rasakan sekarang mas..”
“Saya sekarang merasa sedikit lebih tenang, tidak panik..”
“Bagaimanapun.. saya harus merelakan semuanya, menyesal juga tak ada manfaatnya.”
“Tak boleh dibiarkan berlarut-larut”
“Utung saya masih sehat, masih bisa bekerja”
“Ada anak-anak yang harus tetap sehat, harus makan, harus dibiayai sekolahnya”
“syukurnya istri saya belum terlalu parah, masih bisa diajak bicara”
“Setidaknya istri saya belum jadi bunuh diri…,”
Pak Kasam –kembali- tersenyum getir. Merenungi nasib. Menyiapkan diri, Untuk lima tahun ke depan yang berat.
Bukankah sudah kukatakan kepadamu kawan...
saat sesuatu terlepas dari kita. Seringkali kita malah lebih terfokus padanya, bukan pada apa-apa yang masih kita genggam. Bukan mensyukuri apa yang masih kita miliki. Bukankah saat sesuatu hilang dari diri kita, akan ada ruang kosong, yang siap dimuati dengan sesuatu yang lebih baik, yang lebih indah dari sebelumnya.
“sing sabar pak Kasam…”
“Gusti Alloh mboten sare …”
“Gusti Alloh Ndak tidur Pak Kasam…”
Pak Kasam mengangguk. Aku ikut mengangguk.
Kukatakan lagi padamu kawan…
Saat orang lain mengutarakan keluh kesahnya padamu. Maka dengarkanlah. Sebagian karena memang ia merasa jalan sudah buntu. Sebagianya lagi karena memang ia benar-benar ingin didengarkan. Ia tak benar-benar butuh bantuanmu. Ia hanya perlu tepukan di bahu. Ia hanya perlu tatapan bening meyakinkan. Sungguh, bukan masalah kita yang berat, tapi sudut pandang kita yang kan membuat persoalan yang memang tidak mudah menjadi lebih sederhana. Lebih mudah menghadapinya.
Jam dinding masjid berdentang keras. Jam menunjukan pukul 13.00. Waktu istirahat sudah habis. Saatnya kembali bekerja. Aku membangunkan mas Eko. Pak kasam membangunkan Rico. Yang dibangunkan malah menggeliat. Enggan beralih
“Terima kasih mas..”
“sama-sama pak, maafkan tidak bisa membantu”
“Ndak papa mas, ini lebih dari cukup”
Pak Kasam tersenyum –Lagi-. Kali ini terlihat lega. Marahnya sudah hilang. Terbang bersama angin Kota Malang yang menyegarkan.
Dari kiri ke kanan;
Berdiri : Pak Kasam, Pak DJ/Tukul, Pak Nyoman, Pak Dib, Aa Kurniawan, Pak Eric
Jongkok: Rico, Pak Din, Saiya, Pak Thole
Tidak ada komentar:
Posting Komentar