Setelah bolak-balik seperti gangsing, akhirnya harus merasakan bermalam di Karawang. Alkhamdulillah, awal tahun 2012 ini ada proyek baru yang dikerjakan. Cukup menantang. Selalu saja banyak kebetulan terjadi. Dua proyek sebelumnya, aku bertemu dengan kawan-kawan saat kuliah dulu. Kali ini bertemu dengan sobat lama. Sohib tak terpisahkan jaman SMA. Nasib memang aneh. Ada saja kejadian-kejadian unik. Ya salah satunya ketemu lagi dengan kawan-kawan lama.
Nasibnya orang proyek, harus ridlo pindah-pindah kesana-kemari. Kudu ikhlas bekerja di mana saja. Ibarat prajurit, begitu perintah datang, segera maju ke medan perang. Sokkeren.com. hi hi hi …
Seperti biasa, kami menyewa rumah untuk keperluan mes. Mengantisipasi bapak-bapak yang tinggal di lain kota. Kan tidak mungkin pulang sudah larut malam, pagi hari sudah harus di proyek lagi. Kami menyewa sebuah rumah besar di perumahan Karaba Indah. Konon kata “KARABA” adalah kependekan dari KA-wasan RA-wan BA-njir. Katanya begitu. Kenyataan itu makin meyakinkan dari banyak tempelan di depan rumah. “DIJUAL TANPA PERANTARA”, “DIJUAL CEPAT”, “DISEWAKAN” dan lain-lain.
Adzan magrib terdengar dari arah masjid. Lumayan jauh dari rumah kontrakan. Sekalian kenalan dengan jama’ah masjid. Yang sudah-sudah, minimal bisa kenalan dengan banyak orang. Orang-orang muda sepertiku, lebih banyak diuntungkan. Jamaah masjid sekarang lebih banyak didominasi orang tua. Apalagi yang lebih berharga saat bergaul dengan mereka selain nasihat dan petuahnya. Tambah ilmu tentunya. Bukankah dikatakan, bergaul dengan minyak wangi, akan ketularan wanginya. Bergaul dengan pandai besi, ketularan bau besi. Prinsip itu selalu coba aku jaga. Semakin banyak bergaul, semakin banyak kita tahu. Semakin banyak tahu, mestinya semakin bijkasana. Semakin bisa memahami orang lain. Lebih hati-hati dalam bertindak. Lebih menjaga bertutur kata.
Sedang asik melamun, seorang mengagetkanku.
“Assalamu’alaikum”
“Oh… ‘alaikumussalam” aku kaget.
“Mau ke masjid?” orang itu tersenyum.
Kujawab dengan anggukan.
“Iya pak haji, mari... “
“Perkenalkan… nama saya suwarno” pak haji mengulurkan tangan.
Aku membalas dengan dua tangan, sedikit membungkuk. Menghormat. Kusebut saja pak haji. Pakaianya putih. Sarung putih. Peci putih. Khas pak haji.
“saya naryo pak haji. Orang baru di sini”
“ooo.. tinggal dimana?” pak haji bertanya.
“saya tinggal di blok sebelah pak haji” ragu-ragu. Tak hapal nama bloknya.
“saya tinggal di ujung sana.. “
“Blok AC, sebelum adzan saya sudah harus berangkat..”
“Biar tdak ketinggalan jamaah pertama” pak haji bersemangat.
“kata ustadz imron, jamaah pertama itu pahalanya paling besar”
“tidak boleh dilupakan”
Meski sudah tua. Ternyata masih kuat. Jalannya lincah seperti menjangan. Sedikit terbungkuk. Termakan usia. Otot di sekitar wajah terlihat kuat. Masih terlihat gurat masa muda. Giginya –hampir- sempurna ompong. Tertinggal satu gigi seri. Menggemaskan. Pengin ikut nyabut.
Kalau aku menaksir. Usianya pasti diatas 60-an. Atau lebih tua. Seumuran simbahku.
“Umur berapa sekarang mas naryo?”
Aku tersenyum, malu.
“Dua lapan pak haji”
Aih.. ternyata aku sudah tua. Hampir masuk zona 3G. –baca tri ji- tiga puluh tahun.
“sudah berkeluarga?”
Aku menggeleng. Tersenyum lagi.
“Belum pak haji…”
Wajahku mungkin sudah bak kepiting rebus. Menahan malu. Tidak enak ditanya begitu.
“sampean kalah sama saya”
“umurku sekarang 75 tahun”
“kalo dihitung-hitung, hamper tiga kalinya situ”
Pak haji terlihat bangga. Jalannya makin cepat. Yang diajak bicara hanya nyengir.
Tak berasa, sudah hamper sampai ke tempat tujuan. Masjid sudah ramai. Cukup besar untuk ukuran komplek perumahan. Berwarna biru. Warna kesukaanku. Iqomat mulai dikumandangkan. Tanda sholat segera dimulai. Kami segera masuk. Menunaikan kewajiban.
Aku memilih shaf bagian pinggir. Di baris ke dua, tidak jauh dari pak haji. Beliau shalat di shof pertama. Dituakan. Anak-anak masih berisik. Menjawil sana-sini. Saling menginjak kaki. Bercanda tak henti-henti. Bertambah ribut saat shalat akan dimulai. Beberapa orang dewasa mencoba menenangkan. Ada yang membentak galak. Tidak juga efektif menenangkan. Anak-anak baru tenang setelah sujud yang pertama. Selalu begitu. Namanya anak-anak memang begitu. Paling tidak sudah kenal masjid sejak sekarang.
Imam mengucap salam. Tanda sholat telah selesai. Diikuti seluruh jamaah. Diikuti riuh anak-anak. Tidak kuat menahan canda. Cekikikan sepanjang shalat. Saling menimpuk. Ada yang melompat. Lari menghindar. Menuju lapangan depan masjid. Melanjutkan pertengkaran di saat shalat. Berisik sekali.
Aku memilih duduk-duduk seusai shalat. Pura-pura wirid, padahal melihat-lihat. Siapa tahu ada perpus. You know lah. Aku ini kan bookaholic. Siapa tahu punya kenalan. Sukur-sukur hareeem. Hust..!! ngalamun saja.
Pak haji masih berdiri takzim. Menyelesaikan rokaat terakhir shalat rowatib. Usai sholat, beliau mengambil bungkusan yang dipojokan dekat lemari buku. Kemudian berkumpul dengan teman-teman seusianya. Berbaju putih, celana putih, topi putih khas pak haji. Masing-masing membuka bungkusan, berisi minuman dan makanan kecil. Hari ini hari kemis. Hari berpuasa sunnah.
Mereka kelihatan asik mengobrol. Sembari menikmati makanan kecil dari bungkusan. Saling menawarkan bekal. Saling meledek. Sebentar kemudian tertawa. Seperti ada yang lucu. Yang ditertawakan merengut. Namun tetap kompak.
Aku menatap penuh heran. Mereka kelihatan sangat akur. Tentu saja, kalau diberi umur panjang. Aku juga akan seperti mereka. Berbaju putih, bertopi putih, berambut putih. Semua serba putih. Bukankah saat mati nanti semua yang kita kenakan akan berwarna putih. Dari putih air ketuban. Menjadi putih kain mori.
Aku sengaja pulang. “Mbarengi” pak haji. Kami jalan beriringan. Sesekali aku harus mengimbangi langkah pak haji. Biar sudah uzur. Langkah kakinya cepat sekali.
“saya ini sudah tua mas..” pak haji memulai pembicaraan.
Aku masih tersengal. Demi pak haji, aku terpaksa berjalan lebih cepat. Agar tidak ketinggalan.
“saya sudah bau tanah, sebentar lagi mati”
“bonus hidup saya sudah kebanyakan mas..”
“Nabi saja umurnya Cuma sampai 63 tahun, masa saya yang sudah 75 tahun belum mati juga”
Pak haji terkekeh. Menggeleng-gelengkan kepala. Tak percaya. Aku bengong. Menelan lidah. Heran. Tak mengerti apa yang pak haji pikirkan.
“Selagi ada waktu, saya harus banyak beribadah”
“selagi kaki ini bisa diajak berjalan, harus diajak ibadah”
“biar kaki ini kebagian pahala”
“semakin jauh, semakin banyak pahalanya”
Suranya parau. Terbatuk sebentar. Tersedak sisa makanan tadi mungkin. Aku hanya mengangguk. Salud dengan kesungguhan pak haji. Malu dengan kemudaanku. Masih malas pergi ke masjid. Sering enggan mengaji. Merasa sudah pinter. Astaghfirulloh.
“Tadi saya agak terlambat, jadinya telat sampe masjid”
“tadi pas kebelet, ndak bisa ditahan”
“maklum, sudah tua, krannya mulai soak” terkekeh lagi.
“Akhirnya minumannya tidak habis” pak haji mengacungkan termos mini. Khas pendaki gunung.
“Biasanya buka puasa bersama di masjid, biar lebih semangat puasanya”
“Ngaji pun ndak boleh kendor, biar belum bisa lancar baca al Qur’an, saya harus tetap berusaha”
“Bukanya, mencari ilmu itu dari buaian hingga liang lahat?”
“jadi selama saya masih hidup, saya harus terus belajar, terus ngaji !!”
“sampai mati !!!”
Kali ini pak haji ber semangat bersemangat. Semangat empat lima. Sisa semangatnya jaman peperangan bangun kembali. Diikuti batuk-batuk. Membungkuk menahan sesak di dada. Terkekeh kemudian.
Aku tetep bengong. Tidak paham.
Kompleks makin gelap. Hanya satu dua lampu depan rumah yang menyala. Sisanya tetap gelap. Mungkin karena penghuni rumah belum pulang. Sebagian mungkin karena kosong. Sebagian karena masih tanah kosong. Tak ada bangunan berdiri. Suara jangkrik terdengar ramai. Angin malam terasa dingin di badan. Membawa aroma khas rumput ilalang sisa di potong.
Dan kami sampai di perempatan. Waktunya berpisah. Sementara saya harus berbelok, pak haji masih harus lurus ke depan. Dua blok lagi.
“Pak haji.. saya pamit dulu ya..“
“Rumah saya sebelah sana”
aku menunjuk arah. Tangan kananku kubuka sempurna. Menghormat.
“Oh ya.. silakan-silakan”
“saya masih lurus kedepan”
Pak haji menunjuk arah. Lurus ke depan.
Aku mengatupkan dua tanganku. Menyalami pak haji.
“Assalamu’alaikum, mari pak haji”
”alaikumussalam, silakan mas.. sampai ketemu lagi..”
“ketemu lagi di masjid ya..”
Aku mengangguk mantap. Pak haji berlalu. Meninggalkanku. Aku masih berdiri di perempatan. Demi melihat pak haji. Berjalan cekatan. Lincah seperti menjangan. Makin tak jelas. Baju kokoh putih pak haji masih kelihatan. Sebentar kemudian, kelihatan berkibar oleh semilir angin malam.
karawang barat indah, hehe.
BalasHapusayo mas, semangat munggah kaji,
amin... doain ya.. mas anto sekarang dimana e?
BalasHapus