Akhir-akhir ini
hujan turun tiada berhenti. Bukankah ini bulan desember? Orang jawa bilang bulan desember adalah kependekan
dari “Gede-gedene Sumber”,
sebesar-besarnya sumbe r –penghidupan- .
Bersyukurlah kita yang tinggal di Indonesia. Sepanjang tahun Alloh
menganugerahkan hujan. Menurunkan berkah dari langit. Ijo royo-royo. Al hasil bumi kita ini seperti surga saja.
Tempat segala macam tetumbuhan dan hewan hidup. Berkah untuk disyukuri dengan
tidak menyia-nyiakannnya, berkah untuk memanfaatkannya dengan bijaksana.
Minggu-minggu
ini aku memang sibuk sekali. Bolak-balik karawang-jakarta. Untuk benyak
keperluan, entah koordinasi, entah mengurus dokumen dan lain sebagainya. Butuh waktu sekitaran 4 jaman sekali jalan.
Berarti 8 jam Pulang pergi. Jadi kalau aku berangkat dari karawang pukul tujuh,
potong segala urusan dan lain sebagainya. Maka aku paling cepat nyampai lagi di
karawang abis maghrib. Waktunya abis di jalan. Tua di jalan pokoknya.
Melelahkan bukan?
Langit nampak
menghitam sejak aku naik mayasari di simpang point square. Biasanya aku naik
busway nyampai point square kemudian lanjut mayasari atau koantas bima. Yang
mana saja, yang penting bisa segera sampai di kp Rambutan untuk kemudian lanjut
ke Karawang. Kali ini mayasari yang duluan lewat, aku langsung naik. Hawa
dingin dan aroma pewangi murahan menghembus sejak aku membuka mayasari. Kontras
dengan aroma koantas bima, bau keringat
dan “umpel-umpelan”. Ongkosnya pun beda. Tiga kali lipat lebih mahal.
Kali ini
pilihanku tepat. Alkhamdulillah, hujan mengguyur deras sejak keluar pintu tol
fatmawati. Tak kebayang seandainya naik koantas bima. Biasanya bocor di sana
sini. Ya dari pinggiran jendela –karena udah rusak, atau memang kacanya ndak
ada-. Ya bisa juga dari atap angkot yang bocor. Masing-masing pilihan ada
konsekwensinya. “Rego nggawa rupo”. Sementara di mayasari, berasa semakin
“adem”. Mal’lum ac nya ndak pake inverter, jadi yo dinginnya ngucur terus.
Brrrrrrr......
Setelah setengah
jam perjalanan bus sampai di pasar rebo. Aku lebih mengenal pasar rebo,
sebagai sebuah persimpangan rame di
ujung selatan-timur jakarta. Tempat bis, Ojek, pedagang, angkot ngetem.
Terminal bayangan istilah gampangnya. Diakui atau tidak, pasar rebo jauh lebih
rame dari pada kp rambutan, terminal
yang sebenarnya. Kami tak berarti terbebas dari keramaian pasar rebo.
Bis berjalan tersendat di underpass. Ndak kehitung jumlah kendaraan yang
berlalu lalang. Saling nglakson satu sama lain. Sudah macam pesta tahun baru
saja.
Aku turun dari
bis, beberapa saat setelah hujan reda. Belum bener-bener berhenti, masih cukup
untuk membuat pakaian ini lepek. Jalanan basah, becek, genangan air nampak di
sana-sini. Beberapa anak kecil “pengojek payung” nampak berkumpul. Menghitung
rejeki selama hujan tadi. Lumayan untuk uang jajan. Para pedagang kaki lima
mulai bersih-bersih, menunggu pastinya hujan turun. Bersiap membuka dagangan
mereka kembali. Aku melintas saja,
berlalu menuju ke mushola kecil di pingir jalan. Sudah adzan maghrib.
Selesai shalat,
aku bergegas keluar mushola. Waktunya menuju karawang. Tujuan terakhir. Gerimis-gerimis
begini, enaknya makan gorengan. Ada
tukang gorengan dekat poho cherry. Alamak, ada “mendoan”.
Sudah lumayan lama ndak pulang. Kangen
sama mendoan.
Uap panas mengepul saat kulepaskan gigitan pertama. Aku
mengap-mengap. Terasa Panas di rongga mulut, ngilu di gigi, gurih di lidah.
Paduan sensasi rasa yang luar biasa. Gigi dan lidahku berjingkit bergantian
menahan panas gorengan. Nikmat dirasakan, sayang untuk dimuntahkan.
Aku megap-megap..
“Huft... Haaaft.... Enyak...
nyanyas...” gumamku.
Hujan masih turun rintik-rintik.
Kendaraan berjalan pelan. Pak polisi sibuk mengatur angkutan dan bis yang
-selalu- bandel. Bandel ngetem di
puteran. Peluitnya sudah lama tak bersuara. Nafasnya sudah habis sedari siang
tadi.
Aku beringsut ke dipan dekat warung
sate. Ada tempat kosong. Tidak enak makan sambil berdiri. Malu sama sahabat
nabi. Lagian masih sore ini. Tak perlu terburu-buru pulang ke karawang. Toh bis
terakhir masih berangkat sampai tiga jam lagi. Jadi tidak perlu kawatir
terdampar di sini.
Di dekat dipan, seseorang sedang sibuk mengupas sisir pisang. Agak layu
berwarna kuning emas bergaris kecoklatan, sedikit layu. Tersenyum kepadaku.
Kubalas dengan senyum bakbao. Gembung di pipi. Ada yang terasa panas di dalam
sana. Ternyata beliau si empunya gerobak gorengan itu. Senang melihatku melahap gorengan. Senang
melihat daganganya laris.
“Mau pulang atau berangkat mas?” si
bapak berbasa basi.
“Ke karawang pak, mau pulang”
“Bagaimana dagangan hari ini pak?
Laris?” aku iseng bertanya.
“Ya Alkhamdulillah, beberapa hari
ini lumayan..”
“Sering pulang cepat, dagangan
cepet habis, ya ndak Bu’e?”
Yang di panggil menengok. Tersenyum. Kemudian kembali
menggoreng.
Lagi banyak pesanan. Lagi banyak
yang mengantri.
“Yah.. beginilah saya mas.. “
“ Usaha apa saja, yang paling
penting halal.Berkah. Penginnya punya
rejeki banyak, kaya sampean ini. Tapi sedikitpun ndak papa.Rejeki halal itu
pasti berkah. Kalo di makan ke badan jadi daging, ke otak jadi pinter. Ke
akhlak jadi bener. Kalo rejeki harom mas. Biar kata banyak. Kalo ke badan jadi
kangker. Kalo ke akhlak jadi bandel, kalo pinter, jadinya keblinger”
si bapak mulai ber cerita. Mengupas
pisang terakhir. Tapi pembicaraan ini jelas ditujukan kepadaku.
Aku manggut-manggut. Si bapak ini,
pantesan gorengannya seenak ini.Empat jempol untuk si bapak.
“Terus.. terus...?” aku semakin
antusias.
Si bapak meletakan pisau dan pisang
ke nampan. Membuang kulit pisang ke tempat sampah. Aku memperbaiki posisi
duduk.
“
Bapak ini
orang bodoh, SD saja ndak tamat. Ndak kaya sampean ini mas?"
Aku sedikit mengangkat bahu. Rada
GR.
"Mangkanya, bapak pengin
anak-anak bapak jadi orang pinter. Sekolah setinggi –tingginya"
"Pinter yang ndak Cuma pinter,
tapi sekaligus baik akhlaknya"
"Biar pinternya ndak buat minteri,
ndak buat ngakali hukum, ndak buat korupsi"
Kami terdiam. Bergelut dengan
pikiran masing-masing.
Makin malam, jalanan tambah ramai.
Gerimis mulai reda. Sepertinya orang-orang yang menepi mulai melanjutkan
perjalanan kembali.
Ÿowis pak… "
aku pamit dulu..
sudah malam pak…
"Oke.. sukses yo mas!" Si
bapak membalas, menepuk bahuku. Aku mengangguk.
Aku bergegas menyangklong tas, pergi
meninggalkan mereka berdua. Bis merah sudah merapat.
Semoga
Alloh membalas kesungguhan bapak ibu berdua. Makin laris dagangannya yo pak. Makin
pinter dan soleh solehah anak-anaknya. Makin sukses usahanya.
Tukang
Gorengan. (Ilustrasi aja)