Irungku… eh hidungku sendlrap sendlru.Meler terus epanjang minggu ini. Tenggorokanku serasa gatal-gatal. Terutama menjelang pagi, maghrib dan malam hari. Komplit kaya minum obat. Berasa ada kecoa lagi jalan-jalan di tenggorokan. Ingus sih sedikit, tapi ndak tahan batuk-batuknya. Cuaca memang sedang tidak karu-karuan. Pagi sampai siang panas menyengat, setelah duhur awan langsung dating. Menutupi karawang yang super panas, membawa hujan lebat. Dan lebih sering disertai gemuruh petir , tak jarang juga angin rebut yang menakutkan. Lha dasar bandel, sudah tau cuaca sedang tidak bersahabat malah hujan-hujanan. Ya jadinya beginilah. Gawean yo banyak, ndak ada yang bias ditinggal. Sendlrap-sendlrup, Ahak-uhuk, dan Ekhrem, ekhrem.
Hari ini aku harus ke Jakarta. Banyak urusan. Syukurlah pilek suda mereda. Hari ini bakal ribet sekali. Mesti nemplok ke sana kemari. Ke kantor pusat, di tomang. Ke kebon jeruk, kebayoran lama. Kemudian, mbalik lagi ke karwang sore harinya, eh malam harinya dhing. Aku diantar Didik, rekan kerjaku yang pendiem plus mbandel, ke halte bis di depan komplek perumahan. Setiap sepuluh menit sekali biasanya bus jurusan Kampung Rambutan lewat.
Senandainya engkau tahu arti hidup pas-pasan, tentu akan lebih memilih hidup seperti itu. Tak selalu perlu uang banyak, tak selalu dengan fasilitas yang mewah. Ataupun dengan peralatan terbaru. Istilahnya apa itu? Gadget, Iya Gadget. Hidup pas-pasan itu, pas butuh segala sesuatu, pas dia hadir di depan kita. Pas malem-malem pulang kerja, kelaperan, ndak ada duit, eh tiba-tiba ada tetangga yang ngirimi makanan, sudah terhidang di meja, tinggal sikat. Pas tanggalan sudah menua seperti ini, eh ada saja yang minjami duit, buat bertahan sampe tanggal muda. Mau?
Semestinya aku lebih banyak bersyukur, atas segala pas-pasan yang selama ini aku alami. Seperti hari ini, pas siang-siang panas-panasan di halte. Tiba-tiba si bus merah lewat. Awak sebuah Perusahaan Otobus terkenal. Pas naik, pas penumpangnya sedikit, untung di saya tapi –mungkin- tidak bagi pak kondektur dan pak sopir. Berarti setoran kali ini akan berbeda. Maklum tengah hari, mungkin sore nanti akan berjubel penumpang. Ndak muat seperti tempo hari.
Aku memilih duduk di deretan kursi ketiga di belakang pak supir. Kursi sebelah kanan, kursi isi tiga. Ada tempat sangat longgar di sana. Selain pandangan ke depan tak terlalu terhalang. Kalo nanti mau turun juga tidak akan terlalu repot. Tidak usah melewati koridor dalam bis yang sempit. Plus melewati pundak atau kaki penumpang lain.
Melewati jembatan badami, para penumpang mulai naik. Jembatan badami adalah tempat “ngetem” terakhir, sebelum bis masuk tol. Kemudian meneruskan perjalanan sampai Kampung Rambutan, lalu lanjut ke Bogor. Prediksiku salah, ternyata banyak penumpang naik dari jembatan badami. Jadilah bis ini penuh, penuh oleh penumpang, penuh oleh para pedagang asongan dan pengamen. Entahlah mana yang lebih banyak, para penumpang atau para pengasong dan pengamen. Masih belum ada yang memilih duduk di sampingku. Aku mengarahkan pandanganku ke kaca, melihat pemandangan indah di samping sana. Kawan, sekali-kali engkau harus naik ke jembatan badami. Dari sini pemandangannya sangat indah. Keindahan karawang terwakili dari jembatan badami. Landskap sawah yang indah sepanjang mata memandang. Menghijau hingga cakrawala.
Seorang ibu tampak tergopoh berjalan. Tangan kanan memegangi tas cangklong kas ibu-ibu. Tangan kiri sibuk memegangi ujung kebaya. Membantu memberi ruang biar mudah melangkah. Tangga bis memang agak tinggi. penumpang harus mengangkat kaki lebih tinggi saat naik. Mengenakan setelan kebaya warna coklat. Disesuaikan dengan warna tas kulit dan sandal kayu. serba coklat. Si Ibu memilih duduk di ruang kosong di sampingku. Sedikit tidak sesuai perkiraan. Ngarepnya ada cewek cantik, yang duduk di situ, eh malah ibu-ibu. Tapi yowis lah, semoga jadi rejeki. Semoga rumus hidup pas-pasan itu benar-benar ada. Dan hari itu –untuk kesekian kali- terbukti sempurna.
“Ade.. boleh saya duduk di sini?” si Ibu mendahului menyapa.
Aku mengangguk. Mengiyakan.
“Silakan, kosong kok bu.” Jawabku datar.
Kalau boleh mentaksir, usia ibu itu sekitar lima puluhan lebih. Keriput di wajahnya tidak bisa bohong. Selain baju kebaya panjang, aksesories yang serba coklat, si ibu mengenakan kerudung selendang yang melingkar di kepala berwarna putih. Khas ibu-ibu pesantren jaman dahulu. Macam ibu sinta nuriah, istri Alm. Gus Dur. –Mungkin- Pada jaman itu, kerudung itu sudah sangat spesial. Pertanda perempuan itu sangat alim. Lulusan pesantren. Atau orang yang paham agama. Istilahnya, cewek idaman. Idaman bagi pria-pria. Idaman bagi para mertua.
“Ade mau kemana?” si Ibu bertanya lagi.
“Saya mau ke jakarta bu”
“Di karawang tinggal di mana?”
“Saya tinggal di karaba bu, perumahan karaba indah blok BB 45”
“Belakang alfa mart”
“Lha Ibu sendiri mau kemana?” saya iseng bertanya balik.
“saya mau ke Priok, tadi habis nengok anak saya”
“Baru seminggu kerja disini”
“Jangan panggil saya ibu, panggil saya mamah, mamah Dedeh”
“Tidak nyaman di panggil begitu”
Aku nyengir. Mengangguk, terserah mamah sajalah. Ibu atau mamah sama saja. Artinya sama.
"Saya Naryo bu, eh maksud saya mah" aku kikuk.
“Ade sudah menikah?” mamah To the point banget.
Pertanyaan itu lagi. Opo memang wajahku sudah kelihatan tua. Bukankah selalu tampak imut-imut. Hampir setiap orang yang baru kutemui menanyakan hal yang sama. Jawabannya pun selalu sama.
“gelengan”.
Belum.
Bukankah setiap orang memiliki alasan sendiri saat memutuskan sesuatu. Termasuk menikah. Bukankah semestinya urusan ini pilihan masing-masing. Tidak ikut-ikutan “UMUMNYA”. Seseorang pernah berkata kepadaku. Selagi bersabar menunggu hari itu datang. Lakukan apa yang ingin engkau lakukan. Karena ada beberapa hal yang tidak mungkin atau akan sangat sulit engkau kerjakan saat telah menikah nanti. Karena menikah berarti terlahir kembali. Seperti bayi dari kandungan menuju alam dunia. Terlahir kembali dari sendiri menjadi berdua. Berbagi satu sama lain. Tentu Kita tidak boleh berfikir atau bersikap seperti orang yang masih lajang, sementara kita sudah berkeluarga. Dan sebaliknya. Jadi, selagi bersabar, kerjakan sebanyak-banyak hal special yang anda bisa.
“Bagus itu, mamah suka” si mamah kelihatan sangat bersemangat.
“Lha ko?”
“Memang kenapa mah?”
“Mamah dulu nikah muda, sangat muda, bahkan belum genap 12 tahun, waktu itu mamah baru lulus SD”
“Adek tau sendiri, jaman dahulu orang nikahnya cepat-cepat, pake jodoh-jodohan pula”
“Mamah dulu dijodohkan, dijodohkan dengan seorang kapten, pelaut”
“Mamah tidak tahu menikah itu hal macam apa?”
“Kemudian mamah hamil.”
“Waktu itu mamah ndak tahu apa yang yang ada di perut mamah, kenapa semakin hari semakin bertambah besar.”
“Mamah tidak tahu cara mengeluarkannya, akhirnya mamah dioperasi. Kalo istilah sekarang artinya apa itu? Sar.... sar...”
“Caesar mah?”
“Ah iya, betul-betul”
“Untungnya mamah anak orang kaya.”
“Orang tua mamah punya banyak usaha, ya dagang, ya hotel, macam-macam pokoknya”
“Mamah punya banyak pembantu, jadi ndak perlu ngurusi macem-macem.”
“Termasuk anak mamah yang baru lahir, mamah tetap sekolah seperti biasa 40 hari setelah mamah melahirkan”
“Mamah tetap bermain seperti biasa, karena anak mamah diurusi pembantu”.
“Sampai sekarang mamah masih tidak bisa masak”
Aku lebih banyak diam. Lebih banyak ber- “O”. Mendengarkan. Dasar orang kaya.
“Asal ade tahu, sampe sekarang, anak mamah yang paling gede manggil mamah tante “
“Lha memang dari kecil mamah ndak pernah ngurusi”
Aku mengangguk. Pura-pura heran.
“Menikah muda itu tidak enak de” (sekali lagi ini pendapat mamah, bukan pendapat saya)
“Umur dua puluh dua mamah sudah jadi janda”
“Suami pertama mamah, meninggal kena serangan jantung.”
“Kemudian mamah menikah lagi dengan prajurit, tentara”
“Sekarang, sudah meninggal juga...”
Mamah menggeleng. Aku diam. Menelan ludah.
“Ya sudah, memang takdirnya begitu bagaimana lagi”
“yang paling penting sekarang anak-anak mamah”
“Yang satu lagi sekolah di jepang, yang satu lagi dikarawang, sudah mulai bekerja”
“Mamah harus protektif,anak-anak jaman sekarang itu pada susah diatur. Pada ndak punya tata krama.”
“Apalagi yang perempuan”
“Tadi mamah abis marah-marah di kos anak mamah”
“Masak, di kos-kosan laki-laki ada anak perempuan”
“Mana masuk ke kamar, tidak punya sopan santun”
“Pakaiannya itu lho, ndak karu-karuan, kaya orang tuanya ndak bisa mbelikan baju yang pantas saja”
“Perempuan itu mestinya terhormat, tidak pecicilan, Jewawakan, pakainnya sopan”
“Perempuan ya dicari, bukan malah Nyah-nyoh begitu”
Mamah masih bersungut-sungut. Sisa marah saat di kosan. Membetulkan kerudung selempang yang sedari tadi melorot. Sepertinya harga dirinya sebagai wanita tempo dulu disinggung. Aku –sekali lagi- diam saja. Nyengir sedikit.
“Semoga saja anak mamah nanti dapat yang baik, yang sopan, yang mandiri kaya mamah”
Aku mencoba menghibur mamah. Bosan juga mendengarkan terus. Aku kan biasanya yang ngomong nyerocos. Eh, malah sekarang gantian –dicerocosi-
“Biar saya perempuan, saya tidak boleh sepenuhnya mengantungkan hidup saya pada suami”
“Agar saat seperti sekarang ini saya tidak kaget, tidak panic menghadapi hidup.”
“Saya memang keturunan orang kaya, tapi bukan berarti saya beleha-leha”
“Bisa saja saya duduk santai menikmati warisan orang tua, tapi pantang bagi mamah bersantai-santai menengadahkan tangan pada suami, meskipun itu sebenarnya juga tidak salah”
“Suami mamah yang ke-dua hanya pegawai biasa, prajurit. Pangakatnya biasa-biasa saja.”
“Ya tahulah gajinya berapa”
“Betapun kecil pendapatan suami, mamah tetap harus menghormatinya, ia imam untuk keluarga. Sebagai istri, tetap harus taat. Sebagai istri kita harus pandai-pandai mengolahnya, agar cukup untuk memenuhi semua kebutuhan keluarga."
“Mamah berusaha apa saja untuk membantu suami. Berjualan apa saja untuk membantu menyukupi kebutuhan rumah tangga.”
“Memang sudah mengalir di darah mamah darah wira usaha.”
Mamah tersenyum tipis. Menyeringai. Puas dengan jerih payahnya selama ini.
“Sekarang mamah sudah tua, tinggal sante-sante. Tinggal menikmati hidup. Alkhamdulillah bisnis mamah lancar terus. Jadi tak pernah kurang suatu apa.”
“Penginya, kalo mamah mati nanti, anak-anak sudah mandiri, sudah bisa menopang hidup masing-masing.”
Aku mantuk-mantuk. Salut dengan perjuangan hidup mamah. Untuk ukuran orang yang baru aku kenal, cerita mamah begitu lengkap. Sangat menginspirasi.
Bis merah berjalan melambat. Berhenti kemudian. Ternyata sudah keluar pintu tol. Sudah hamper sampai ke tujuan akhir. Kampong Rambutan.
“Sepertinya kita sudah sampai mah, maafkan saya turun duluan”
Mamh mengangguk. Tersenyum lebar. Senyum tulus seorang ibu.
“Mamah, senang berkenalan dengan mamah, terima kasih atas ceritanya.”
“Semoga saya nanti punya istri yang hebat seperti mamah, yang selalu semangat dan pantang menyerah”
“sama-sama de, sukses selalu ya…”
“Assala’mualaikum”
“Wa’alaikumussalam warokhmatulloh”
Aku turun sebelum pemberhentian akhir bis. Lebih dekat ke halte busway. melanjutkan petualangan berikutnya.