Jumat, 10 Agustus 2012

Catatan Perjalanan Ziarah: Bapak Ishak


Aku mengintip sela jendela pesawat, tepat di sisi  Icha duduk. Jendela berupa dinding transparan seukuran 30 x 20 cm, dengan kaca super tebal dan kuat untuk menjaga perbedaan tekanan dan temperatur di luar dan dalam pesawat.  Tak terbuka penuh,  terhalang sayap pesawat, namun masih cukup jelas untuk melihat suasana di luar sana. Ribuan  meter di atas bumi, ribuan kilo meter ke tempat aku seharusnya kembali. Dari sini langit sungguh kelihatan sangat indah, bersih tak terhalang awan. Icha terlihat menengok ke arah jendela. Mungkin sedang menikmati hal yang sama. Windy dan ibu masih terlelap di sebelahnya. Sepertinya kelelahan juga.

Aku juga kelelahan. Sungguh, ini rasa lelah tak tertahankan. Lelah fisik, lelah perasaan. Lelah karena hampir dua minggu nyaris kurang tidur dan istirahat, plus suasana musim panas yang ekstrim. Lelah manahan harap agar bisa kembali ke tanah suci itu. Perjalanan menuju Baitulloh memang terasa sangat panjang. Rasa rindu, penasaran tercampur menjadi satu. Tak sabar rasanya ingin segera bertemu. Bersua dengan tempat yang paling mulia di seluruh dunia. Pun demikian perjalanan pulang. Rindu ini semakin terpupuk. Dan rasa lelah karena menahan rindu sungguh tak tertahankan. Perjalanan kembali pun menjadi teka-teki. Apakah suatu saat nanti aku bisa mengunjungi rumah-Mu lagi? Insya Alloh.   

Seperti rombongan yang lain aku nyaris tak terbangun dari tidurku di sepanjang perjalanan, kecuali saat panggilan alam datang. Dan saat pramugari menawarkan makanan. Hingga saat kejadian itu tiba-tiba datang.
Sesaat setelah pilot mengumumkan bahwa kami akan segera mendarat. Penumpang di depanku seperti terlempar dari tempat duduknya. Aku kaget luar biasa. Tanpa babibu bapak Ishak lompat dari tempat duduknya, lari ke arah toilet sambil memegang perut. Dari raut wajahnya, aku melihat ekspresi kesakitan. Ia seperti menahan sesuatu. Padahal sesuai prosedur, kami harus duduk tenang di bangku, dengan seatbelt terpasang sempurna. Kontan pramugari di belakang kami menahan pak Ishak. Dalam posisi landing, kami dilarang melakukan aktivitas apapun, selain duduk manis di kursi penumpang.

 Lama pak Ishak berada di toilet pesawat. Ada lebih dari dua puluh menit. Aku mulai merasa kawatir. Sejak berangkat di Soekarno-Hatta, aku mengiringi pasangan serasi itu. Membuntuti mereka kemana pergi. Aku reflek membawakan tas-tas mereka berdua, selama perjalanan ini. Belakangan aku tau bahwa tas-tas itu berisi beras dan rice cooker untuk memasak di sana. Bukan tanpa alasan. Ibu Ishak punya diabetes, selain obat ia harus masak sendiri makananya. Dengan beras kusus tanpa gula tentunya. Aku senang saja saat di kira anak mereka. Setidaknya, bisa mengobati rasa rinduku setelah 3 bulan tak bersua. Sangat bahagia menjadi anak –anakan- bapak dan ibu Ishak. Biar gampang mbacanya aku panggil mereka bapak dan ibu saja ya? Setuju lah.

Waktu menunjukkan pukul setengah empat sore waktu singapura, jam di HP ku masih menunjukkan pukul setengah sebelas. Berarti pukul setengah tiga waktu jakarta. Perjalanan yang panjang. Kami take off pukul 23.00 waktu jeddah. Berarti sekitar hampir 12 an jam. Aku menuntun bapak sepanjang lorong pendaratan. –aku tak tahu nama tepatnya-. Sementara tas mereka berdua aku titipkan Icha dan Windy. Sepanjang perjalanan kami relatif tepat waktu. Seperti yang dijanjikan tulisan di bandara Jeddah. Tak terlambat lima menitpun. Berbeda dengan bis-bis antar kota yang aku tumpangi, sering ngaret ndak jelas. Sebagiannya karena macet. Sebagiannya karena sopir pengin menghemat solar. Jadi ndak perlu ngebut-ngebut. Seperti semboyan paling populer. “Biar lambat asal selamat”. Eh “Biar lambat asal telat”. Tak terbayang jika pesawat kami telat dengan kondisi bapak  seperti sekarang ini.


Bersama bapak Ishak dan lainya di bukit Marwa saat umroh I

Masuk di bandara changi kami langsung dijemput dua orang petugas berparas india dengan aksen melayu yang khas. kadang-kadang berbahasa inggris, kadang-kadang melayu. “campur-campur hey”. Sementara yang lain mengobrol, Aku mencari tempat  duduk. Lengan pak Ishak terasa basah dan hangat. Keringat di dahi bercucuran. Bukankah ini ruang ber-AC yang super dingin? Rasa sakitnya makin tak tertahankan. Sepertinya bliau sudah tidak kuat lagi berjalan. Aku mengajak bapak duduk di kursi tunggu, tak menghiraukan arahan petugas berwajah india beraksen melayu itu. Sementara ibu panik mencari obat, bapak menahan sakit, aku gelisah. Gelisah dengan semua pikiran yang berkecamuk dipikiranku. Kupikir sudah cukup perjalan berangkat saja yang membuatku super tegang, ternyata perjalanan pulang terasa jauh lebih menegangkan.

Aku mendorong kursi roda dengan bapak penumpangnya. Tak menuju ke area tiket transit, aku menuju toilet. Penyakit Prostat bapak kambuh, semalam bliau lupa minum obat. ditambah juga efek dari semua kelelahan selama umroh. Trus penyakit prostat itu apa? Aku tak begitu memahaminya, taunya ya ada gangguan saat buang air seni. Sering kebelet “pipis”. Dan rasanya sakit luar biasa. Lebih jelasnya tanya dokter saja ya, ane ndak paham. 

Suka tidak suka, aku harus mengacungi jempol fasilitas bandara changi. Selain keran-keran minum yang menyegarkan, lantai karpet super tebal, toilet bersih terawat, ada juga toilet kusus untuk orang sakit atau orang cacat. Ada juga ruangan kusus untuk menyusui.

Aku tak pernah tahu rasa yang lebih sakit dari pada dua malam tak tidur menahan sakitnya kencing batu beberapa waktu yang lalu. Sepertinya rasa sakit bapak sungguh sakit. Betapa ini tempat yang super dingin, keringat tak berhenti mengucur. Aku tak bisa berbuat banyak, selain berjalan mondar mandir di koridor. Sesekali mengintip bapak dan bertanya?

“Sudah belum pak?”
“Bagaimana keluar ndak?”  
Dijawab dengan erangangan. Selebihnya diam.

Selesai dari toilet, kami menuju mushola. Sudah waktu ashar. Jama’ takhir dengan duhur. Jama’ qosor. Kita rada buru-buru. Ya buru-buru ngejar pesawat. Ya buru-buru ingin segera ke toilet lagi. Sholat subuh kami kerjakan di pesawat. Berta’yamum. Sambil duduk,lengkap dengan isyarat ruku dan sujud. Bapak mengikuti saranku, sholat sambil duduk. Selesai sholat, Bapak khusuk berdo’a. Ibu mengintip dari tirai shof perempuan. Ingin tau kondisi bapak. Aku memperhatikan mereka dari jauh. Ini toh yang namanya pasangan serasi? Seperti ini toh, keluarga sakinah? Semoga saja aku bisa.

Usai sholat kami meluncur ke tempat transit. Aku lupa belum menyerahkan pasportku. Ikut panik mengurusi bapak tadi. Pesawat baru berangkat pukul 18.00 waktu singapure. Berarti masih satu setengah jam lagi. Ibu Nevi dan yang lain duduk-duduk di kursi ruang tunggu. Sesekali pak Ali dan pak Candra mencoba ngobrol dengan bapak.  Memberikan saran ini itu.  Bapak menjawabnya dengan anggukan dan gelengan saja. Kemudian mengajakku kembali. Balik lagi ke toilet.

Aku meminta petugas bandara membantu mempermudah urusan bapak dan ibu. Di layani dengan seorang petugas, berikut selembar surat pernyataan. Intinya, kalau terjadi apa-apa sama bapak maka pihak bandara maupun maskapai penerbangan tidak bertanggung jawab. Tidak bisa dituntut. Setelah berdiskusi dengan pak candra selaku kepala rombongan, surat tersebut aku isi untuk kemudian ditandatangani bapak. Pak Ali masih kelihatan emosional. Belum juga reda dari keributan di madinah dan jeddah ditambah lagi masalah di Changi. Pesawat delay satu jam. Penerbangan mundur menjadi pukul 19.00. Aku urung menyerahkan surat itu kepada bapak. Ia nampak sangat kesakitan. Komat-kamit terus berdzikr. Ibu menangis. Aku semakin cemas. Yang lain  memandang kami prihatin.

Kami bertiga masuk ke pesawat garuda paling awal. Bersama-sama dengan ibu-ibu gemuk keturunan tionghoa –yang juga sakit-. Nampaknya selepas berobat di negeri singa putih itu. Di belakang kami menguntit  dua artis terkenal, duduk di kursi VIP. Siapa itu Nia zulkarnain sama suaminya Arie Sihasale. Bangganya itu saja, selebihnya adalah hal yang paling menegangkan selama perjalanan.

Suasana kabin lumayan crowded. Bener ndak nulisnya? Koridor yang sempit menyulitkan para penumpang berlalu lalang. Keluarga pak Ali terlihat amat ribet. Bertukar penumpang satu dengan yang lain. Rusuh mengatur sana sini. Aku duduk bertiga dengan bapak dan ibu. Sementara ibu disamping jendela, bapak ditengah, aku di pinggir kiri dekat koridor. Bukan tanpa tujuan, biar lebih mudah meminta bantuan petugas.
Pesawat berangsur take off. Ada sedikit kelegaan. Berharap segera sampai di tanah air dengan selamat. Aku terus menahan agar bapak  tak beranjak dari tempat duduknya. Rasa sakit memang mengalahkan banyak hal. Aku tak tahan saat bapak menahan keakitan kali ini. Ia nampak kejang-kejang. Mendelik ke sana kemari. Menggeliat kesana kemari. Keringat dingin muncul segede-gede  beras.  Dilepasnya pakaian bapak. Di kendorkan semua kancing dan ikatan sabuk. Ia sangat ingin ke toilet. Ibu terus menangis. Beristighfar. Kebingungan. Takut terjadi apa-apa.  Aku semakin gelisah. Bermacam pikiran terus berkecamuk. Hingga kemungkinan yang paling buruk.

Aku harus berfikir cepat. Kami bertiga duduk di kursi ekonomi barisan bangku ke-7. Barisan nomer tiga dari depan. Aku menengok ke belakang, ke arah toilet. Jarak toilet dengan tempat duduk kami sekitar lima belasan meter. Dengan jarak sejauh dan koridor sesempit ini , tidak mungkin menggandeng bapak ke toilet. Takkan terjangkau. Pesawat masih terus naik menuju zona terbang 10.000 feet. Sekitar 3050 meter di atas tanah. Berarti tak boleh ada aktivitas penumpang, selain duduk manis dengan seatbelt terpasang erat. Bapak semakin kesakitan, ibu semakin kebingungan.

Aku mengambil tissu sisa snack. Memberikan kepada ibu. Memintanya memasukan –maaf- ke celana bapak. Ia muhrimnya, jadi tak ada masalah. Yang terjadi terjadilah, Pikirku. Ibu buru-buru melakukan seperti yang kuperintahkan. Agak ragu, kikuk tapi tetap saja dilakukan. Bapak juga ragu, kesakitan, lampu masih menyala terang. Tapi bukankah sudah kukatakan kepadamu. Rasa sakit akan mengalahkan banyak hal. Aku merobek plastik tempat headset untuk menampung tisu sisa mengelap air seni bapak. Sebagian untuk mengelap keringat bapak yang terus bercucuran. Bapak terlihat sedikit lega, beristighfar. Lumayan. Dari yang sangat-sangat sakit, turun menjadi sangat sakit.



Bersama bapak saat perjalanan Mekkah-madinah

Hampir satu jam perjalanan, pilot pesawat memberikan pengumuman. Pengumuman baik dan pengumuman buruk. Pengumuman baiknya kita sudah sampai di tanah air. Pengumuman buruknya, pesawat akan berputar-putar selama 20 menit menunggu antrian. Bandara soekarno-hatta sedang ramai. Lalu lintas sedang padat. Aku beristighfar pelan. Bapak terdiam. Ibu sudah tak menangis. Sibuk mengantongi tissu-tissu tadi. Sudah terkumpul dua bungkus. Bungkusan yang besar. Semoga semua baik-baik saja.

Setelah 20 menit berputar-putar, akhirnya pesawat landing juga. Semua merasa lega. Termasuk bapak dan ibu. Lirih aku mendengar bapak mengucap hamdalah. Masih dengan mata tertutup. Menahan sakit. Pesawat tak turun di tempat semestinya, kami turun di lapangan. Jadilah kami harus menuruni tangga pesawat setinggi lima meteran. Bagi kalian yang sehat, mungkin takkan jadi masalah. Namun bagi bapak yang menahan sakit. Itu  luar biasa berat. 

Kabar dari singapura, tentang penumpang pesawat direspon dengan baik. Sesampai di lapangan kami dijemput sebuah minivan. Sepertinya sudah dimodifikasi  untuk para penumpang berkebutuhan kusus. Sementara kami naik van, rombongan yang lain naik bus. Sama-sama menuju ke satu tempat. Bagian pemeriksaan pasprt. Apa namanya? Lupa aku.

Cekatan petugas memeriksa pasport kami bertiga. Sementara bapak didorong oleh petugas, aku berjalan bersama ibu, dengan tas di tangan kanan dan kiri yang semula di bawa Icha. Kembali seperti semua, seperti saat kami berangkat bersama. Berkali-kali ibu memelukku, menangis, mengucap terima kasih. Bapak hanya diam. Mata bapak terus saja basah. Menangis. Bersukur. Aku diam, terus  berusaha membesarkan hati ibu.

“Kalau ndak ada mas naryo, ibu sama bapak ndak tau bagaimana” Ibu terisak.
“Ibu...” aku berkata pelan.
“Seharusnya, saya yang berterima kasih sama ibu, berterima kasih sama bapak..”
“Bapak sama ibu sudah menjadi jalan saya agar bisa berbuat baik kepada orang lain..”
“Bisa saja Alloh mengutus orang lain untuk membantu bapak ibu.”
“Bisa saja Alloh mengatur agar saya kemarin telat, dan ndak bisa ikut?”
“Tapi Alloh memberikan kesempatan kepada saya untuk melakukan ini semua kepada bapak sama ibu?”
“Jadi seharusnya saya yang berterima kasih, bapak sama ibu menjadi perantara atas terkabulnya do’a-doa saya selama ini”

Tiba-tiba dadaku terasa sesak. Tenggorokanku tercekat. Lidahku kelu. Aku tak meneruskan kalimatku.
Ibu menangis. Menggeleng. Bapak juga menangis. Duduk diam di kursi roda. Menatap lurus ke depan.

Jujur, ini kedua kalinya aku di peluk atau meluk  perempuan, selain Ajeng –bungsuku-. Kali pertama adalah saat peristiwa gempa di jogja. Aku meluk ibu panti asuhan di piyungan, menjaganya agar tak kejatuhan genteng, atau jatuh tak kuat menjaga keseimbangan dari besarnya gempa. Tenang saja coy, dua-duanya sudah di atas 60 tahun. 

Selesai berurusan dengan petugas bandara dan menghubungi anak-anak bapak ibu. Aku langsung meluncur keluar, meninggalkan ibu dan barang-barang bawaan kami. Titipkan Icha saja. Di luar kami sudah disambut keluarga bapak. Bapak tetap diam, tanpa ekspresi. Haru juga melihat mereka.

“Bapak sakit, tolong segera di bawa ke rumah sakit!!” aku berkata tegas.

“Tolong ada yang ditinggal di sini untuk menjemput ibu dan membawa koper-koper”

Tak ada suara, hanya anggukan.

Setelah memastikan urusan bapak, aku meluncur ke ATM. Hanya 1 Real yang aku bawa dari sana.  Kemudian mencari tiket bis untuk pulang. Waktu sudah pukul sembilan malam. Harus segera dapat tiket, atau merogoh dompet lebih untuk naik taksi. Iri juga ngeliat banyak yang jemput. Tapi bukankah jemputanku lebih gede. Bis Damri. Selepas mengurus tiket pulang, aku kembali untuk tas-tasku. Setelah menunggu sebentar, akhirnya ibu dan yang lain keluar juga. Aku mengambil barang-barangku,Berpamitan, mencium tangan ibu, balik badan, kemudian pergi.

Aku tak tahan melihat  ibu menangis lagi. 


Buka bareng di Rumah pak Ishak. 4 Agustus 2012 di daerah Jati padang jakarta selatan