Minggu, 25 Maret 2012

Pak Kasam

“BAPAK MAUNYA APA?”
“Kalau bapak tidak suka dengan saya, pecat saya sekarang juga!!”
“kalau bapak penginnya kita berantem, ayo kita berantem di sini”
“KITA DUEL..!!!”
“Tak perlu ada yang memisahkan kita… sampai mati..”
Wajah  Pak Kasam merah padam. Matanya melotot, menantang.  Tubuhnya gemetar hebat. Tangannya menggenggam erat. Ia menjejeri pak Nur. Mengikuti arah tubuh pak Nur yang selalu emmbuang muka.
Sepertinya kini giliran pak Nur yang ketakutan. Tubuh setengah baya pak Nur  tidak mungkin mengalahkan karmin yang gempal.  Masa muda pak Nur sudah lewat.  Sia-sia saja melawan Pak Kasam yang marah. Pak Nur memilih diam dan menghindar. Lebih tepatnya ketakutan.
Demi melihat wajah ciut pak Nur, Pak Kasam urung melayangkan tinju yang sudah sedari tadi ia tahan. Kemarahan Pak Kasam kali ini sudah memuncak. Kecewa, sedih, marah, campur aduk menjadi satu. Sudah sebulan ini dua orang itu tidak akur. Pak Nur selalu marah-marah kepada Pak Kasam. Marah karena pak Nur merasa selalu dilangkahi. Marah karena Pak Kasam sering tidak ada di meja kerja.
Pak Nur memang –menurutku- bukan pemimpin yang baik. Ia menjadi pimpinan di proyek itu, lebih karena ia putra daerah. Lebih karena ia memang paling senior diantara kami semua. Setidaknya itu pendapatku.
Kadang, aku berfikir dan berharap teori ini salah. -Beberapa waktu lalu-, saat aku ngobrol ngalor ngidul dengan seorang teman berkaitan dengan masalah sebagian orang tua. Kami sepakat menamainya “Sindrom setengah baya”. Bahwa saat seseorang semakin tua –terutama pria- akan merasa rendah diri. Karena bagaimanapun, dalam benak setiap pria, ia adalah kepala rumah tangga, pemimpin yang dominan. Harus senantiasa dijunjung tinggi, diutamakan dari yang lain. Dan ketika usianya mencapai setengah baya. Kala secara ekonomi –cenderung-  tidak produktif, baik karena alasan fisik yang menurun ataupun karena sudah mulai menjelang pensiun. Ia –dalam hati kecil mereka- mungkin merasa ketakutan. Akan merasa tidak berguna. Dan pada akhirnya ditinggalkan oleh orang-orang sekitarnya.
Orang-orang dengan sindrom ini menggunakan sesuatu yang ia miliki, ya tuanya, ya seniornya, ya jabatannya, untuk didengarkan. Untuk mendominasi orang lain. Sehingga, apapun yang diinginkan harus dituruti, meskipun hal itu bukanlah hal yang lebih masuk akal, lebih efisien, atau berguna. Akhirnya lebih banyak keputusan yang diambil berdasarkan pertimbangan emosional, bukan pada yang paling masuk akal. Setidaknya menurut  kita, orang-orang muda.
(Kepada teman-teman Psikologi, mohon maaf melangkahi, komentar teman-teman akan sangat membantu guna meluruskan saya yang sangat sok tahu ini, sekali lagi tolong ya….)
 Anggota-anggota DPR kita yang –sangat terhormat- mungkin banyak yang kena sindrom ini. Coba cek deh, agaknya kebijakan-kebijakan yang dibuat lebih pada dasar Aku, ataw Gue. Lupa dengan kemanfaatan bagi orang banyak.  Pada rebutan, berantem, habis itu ngorok, kecapean. Urusan tidak selesai. Lha rakyat kecil yang sudah memilih dengan ikhlas,- sebagian memilih karena duit yang seberapa- (Ngaku?), plus janji-janji mulia tetap saja susah. Tetap gigit jari, menyaksikan wakil-wakilnya sibuk mementingkan diri sendiri. Sibuk dengan perut dan “Wudele dewe-dewe”.
Maafkan, aku juga termasuk korban berita di tivi. Jadi kalau sudah membicarakan wakil rakyat ikut-ikutan gemes. Ikut-ikutan geregetan. Maklum, pernah jadi mahasiswa. Katanya mahasiswa kudu peduli sama nasib rakyat. Nyombongdikit.com.
Kembali ke urusan Pak Kasam saja ya…
Siang hari, aku menjumpai Pak Kasam di selasar masjid. Pak Kasam sedang duduk tertidur, bersandar di dinding masjid. Entah karena lelah, entah memang suasana masjid ini  sangat nyaman. Sejuk seperti di bawah pepohonan. Harus kami syukuri. Selama perjalanan kami bekerja di proyek. Lokasi kami tidak pernah jauh-jauh dari masjid. Baik lokasi tampat kerja, maupun lokasi mes tempat kami tinggal, tempat kami beristirahat. Biar perusahaan kami tambah sukses. Didoakan orang banyak.
Selain Pak Kasam, aku lihat yang lain juga ada di situ, tertidur pulas. Posisi tidur mereka lucu-lucu. Ada yang mangap, ngorok, ada yang nungging tidak karuan. Yang parah Riko, selain ngorok, liurnya tak juga berhenti mengalir. Ngiler. Maafkan kami pak ta’mir masjid, sudah mengotori masjid ini. Bukannya mbantu bersih-besir malah ngileri.
Masjid memang selalu jadi tampat primadona. Ya buat istirahat ya buat sholat. Dan bagi orang-orang sepertiku, masjid tetap menjadi tempat tak tergantikan. Selalu ada tempat di hati. Selain memoriku dengan kawan-kawan di Al Muttaqin. Masjid juga menjadi tempat favourit saat bulan puasa tiba. Aku termasuk yang paling setia menjadi jamaah buka bersama. Bahkan hingga kini. Menurutku pasal 33 UUD 45 lima harus di revisi. Jadi begini, “Fakir miskin, anak-anak terlantar, dan anak-anak kost di pelihara oleh panti asuhan dan atau ta’mir masjid”. Yang agamanya lain boleh menyesuaikan. Jangan kenceng-kenceng ngomongnya nanti bisa kena pasal subversive. Masuk pencara. Mau?
Nglantur lagi kan…..
Sekarang ndak wis…
Kembali lagi ke urusan Pak Kasam.
Aku ikut duduk, menyampingi Pak Kasam. Sebenarnya ingin ikut tidur-tiduran, apa boleh buat, sudah tidak kebagian tempat. Mas Eko tidak bisa diam, muter-muter saat tidur. Ndak tega juga ngeliat si riko ngiler. Demi melihatku datang. Pak Kasam terbangun. Sebentar mengerjap-ngerjapkan mata. Sempurna terbangun kemudian.
“Maaf yang tadi pagi mas..” Pak Kasam memulai pembicaraan.
Aku menggeleng.
“Ndak popo pak…”
“Ndak usah dimasalahkan, kami maklum..”
 Aku sedikit beringsut. Memperbaiki posisi duduk.
Karpet masjid sudah lusuh. Tambah licin. Jadi harus sering-sering geser.
“Saya bingung mas, pengin keluar saja…”
Aku menatap Pak Kasam. Melongo.
“Kenapa pak?” aku bertanya tak mengerti.
“Aku ndak enak sama yang lain”
“sering mbolos kerja, selalu telat, apa lagi harus ribut kaya tadi pagi..”
Pak Kasam menatap lurus ke depan. Menerawang jauh ke jalanan. Ke lapangan luas di depan masjid.
“Ya tapi kenapa pak?”
“Ko tiba-tiba begitu..?” aku makin tidak mengerti.
“Istri saya mau bunuh diri mas…”
“Stress berat..”
“Setiap saya berangkat kerja, Istri saya mengancam bunuh diri…”
“Dia ndak mau ditinggal sendirian di rumah..”
“Harus terus ditemani”
“Ndak ngerti…”
Pak Kasam menggeleng lagi. Aku masih melongo. Serasa darah berhenti mengalir. Serasa dingin di bagian wajah. Wajahku pias. Pucat.
Sudah hampir genap lima bulan aku bekerja dengan Pak Pak Kasam. Nama yang sangat sederhana. Sesederhana orangnya. Pak Pak Kasam adalah tipikal pekerja keras. Rajin di kantor, rajin juga di mes. Jagoannya bersih-bersih. Sebelas-dua belas dengan pak DJ alias Pak Tukul, yang terobsesi dengan bersih-bersih. Wajan teflon kesayanganku mengelupas semua, disikat sampai habis lapisannya. Jangan tanya urusan rumput di halaman. Semua disikat habis, bahkan merembet sampai halaman rumah tetangga. Aku geleng-geleng demi melihat wajan baru itu. Yang berbuat hanya tertawa ngakak. Puas banget.
Tak seorangpun di mes Puri Kendedes yang menyaingi rajin dan disiplin pak Pak Kasam. Bangun pukul lima pagi.  Keluar rumah sebelum genap pukul setengah 6. Terus bekerja. Asyik tanpa gangguan hingga malam. Pak Pak Kasam belum akan beringsut dari meja kerja selain untuk makan dan pulang kerja. Pak  Kasam tak pernah pulang di bawah jam sepuluh malam. Pantas saja, beberapa waktu lalu Pak Pak Kasam mendapat predikat karyawan teladan. Ditandai dengan gelas mug merah besar –ukuran seliter-  yang selalu ia bawa kemana pindah bekerja.  
Menurut cerita yang aku dengar. –aku tak pernah sampai hati bertanya langsung. Memang bukan tipeku- istri pak Pak Kasam stres. Depresi berat. –Lain kali aku akan menanyakan sebutannya pada  teman-teman psikologiku, Tya, Rista, Nunung pada kemana sekarang ya?,-  Istri Pak Pak Kasam ditipu seorang oknum tak bertanggung jawab bermodus pananaman modal. Ia dijanjikan keuntungan yang besar jika menanamkan sejumlah uang. Entah dihipnotis, entah dicekoki macem-macem, tanpa berpikir panjang, istri Pak Kasam meminjam sejumlah uang –cukup besar, hampir lima puluhan juta- kepada koperasi. Setelah uang itu diserahkan, oknum itu kabur, tanpa pesan, tanpa kabar. Betapapun istri Pak Kasam seorang pegawai negeri. Butuh waktu setidaknya lima tahun gajinya untuk menutup semua hutang-hutang itu.
“saya pasrah saja mas..”
“yang terjadi biarlah terjadi”
“Anggap saja ini pengingat untuk saya mas…”
“Biar saya mau sholat, mau eling sama gusti Alloh..”
Pak Kasam mendesah panjang.
Belakangan ini Pak Kasam rajin pergi ke masjid. Sholat tepat waktu. Berjama’ah. Lengkap sudah, ya rajin beribadah, ya rajin bekerja. Mestinya kita begitu juga. Biar Indonesia ini cepat lebih baik. Sebelumnya memang Pak Kasam tidak sholat. Hanya KTP saja yang bertulisan Islam. Untuk urusan sholat. Ia mangkir. Puspa –admin proyek- pernah bilang begitu. Bahkan untuk Shalat jum’at. Ia tetap tak beringsut dari meja komputer. Gila kerja. Bukankah semua pilihan ada alasannya. Termasuk pilihan Pak Kasam meninggalkan sholat.
“Dulu, memang saya ndak sholat mas..”
“Yang penting sudah eling, itu sudah cukup”
“Bukankah sholat tak membuat kita kenyang?”
“Bukankah kalo kita sholat, kita tidak akan kurugan duit sekarung?”
“Buang-buang waktu”
“Lha itu.. orang-orang kaya yang pada ndak sholat malah diberi kekayaan. Mobilnya banyak. Anak-anaknya bisa sekolah tinggi. Setelah lulus bisa sekolah di kantoran. Gajinya gede.”
“Ndak miskin kaya saya ini”
“Lha sampean lihat di tivi itu, yang pada pergi haji sampai lima kali, tetap saja korupsi. Semena-mena perbuatannya.”
Pak Kasam tersenyum getir. Aku diam mendengarkan. Masuk akal.
“Dan…”
“Setelah saya sholat”
“Saya juga tidak merasa kenyang”
“Hutang-hutang istri saya juga tidak terbayar. Penipu-penipu itu tetap bisa melenggang kangkung
“Tidak ada duit sekarung.”
“Tidak ada emas batangan turun dari langit.”
Pak Kasam terdiam. Aku hanya mengangguk.
“Memang bukan itu mas”
“Sholat memang tidak mengubah apa-apa”
“Kecuali cara berfikir saya mas…”
“Setidaknya itu yang saya rasakan sekarang mas..”
“Saya sekarang merasa sedikit lebih tenang, tidak panik..”
“Bagaimanapun.. saya harus merelakan semuanya, menyesal juga tak ada manfaatnya.”
“Tak boleh dibiarkan berlarut-larut”
“Utung saya masih sehat, masih bisa bekerja”
“Ada anak-anak yang harus tetap sehat, harus makan, harus dibiayai sekolahnya”
“syukurnya istri saya belum terlalu parah, masih bisa diajak bicara”
“Setidaknya istri saya belum jadi bunuh diri…,”
Pak Kasam –kembali- tersenyum  getir. Merenungi nasib. Menyiapkan diri, Untuk lima tahun ke depan yang berat.
 Bukankah sudah kukatakan kepadamu kawan...
 saat sesuatu terlepas dari kita. Seringkali kita malah lebih terfokus padanya, bukan pada apa-apa yang masih kita genggam. Bukan mensyukuri apa yang masih kita miliki. Bukankah saat sesuatu hilang dari diri kita, akan ada ruang kosong, yang siap dimuati dengan sesuatu yang lebih baik, yang lebih indah dari sebelumnya.
“sing sabar pak Kasam…”
“Gusti Alloh mboten sare …”
“Gusti Alloh Ndak tidur Pak Kasam…”
Pak Kasam mengangguk. Aku ikut mengangguk.
Kukatakan lagi padamu kawan…
Saat orang lain mengutarakan keluh kesahnya padamu. Maka dengarkanlah. Sebagian  karena memang ia merasa jalan sudah buntu. Sebagianya lagi karena memang ia benar-benar ingin didengarkan. Ia tak benar-benar butuh bantuanmu. Ia hanya perlu tepukan di bahu. Ia hanya perlu tatapan bening meyakinkan. Sungguh, bukan masalah kita yang berat, tapi sudut pandang kita yang kan membuat persoalan yang memang tidak mudah menjadi lebih sederhana. Lebih mudah menghadapinya.
 Jam dinding masjid berdentang keras. Jam menunjukan pukul 13.00. Waktu istirahat sudah habis. Saatnya kembali bekerja. Aku membangunkan mas Eko. Pak kasam membangunkan Rico. Yang dibangunkan malah menggeliat. Enggan beralih
“Terima kasih mas..”
“sama-sama pak, maafkan tidak bisa membantu”
“Ndak papa mas, ini lebih dari cukup”
Pak Kasam tersenyum –Lagi-. Kali ini terlihat lega. Marahnya sudah hilang. Terbang bersama angin Kota Malang yang menyegarkan.
Dari kiri ke kanan;
Berdiri : Pak Kasam, Pak DJ/Tukul, Pak Nyoman, Pak Dib, Aa Kurniawan, Pak Eric
Jongkok: Rico, Pak Din, Saiya, Pak Thole

Minggu, 18 Maret 2012

Dilema Imam, Bag II


Sudah genap seminggu aku full tinggal di karawang. Kontrakan di cakung harus segera ditinggalkan. Ditinggalkan karena sewanya sudah habis,  ditinggalkan karena memang urusan di kantor pusat sudah mulai berkurang, sementara karawang sudah tidak bisa menunggu. Teman-teman sudah tidak boleh disambi lagi. Harus lebih focus di proyek.
Hari ini, sabtu pertama menghabiskan seminggu di karawang. Biasanya, aku berpetualang ke Jakarta tiap beberapa hari. Namun tidak untuk minggu ini. Target pekerjaan memang mulai banyak. Karawang memang panas. Tapi lebih tenang, jauh dari keramaian dan keruwetan kota Jakarta. Aku bisa berlama-lama nongkrong di bawah pohon belimbing depan rumah kontrakan. Menikmati semilir angin sepoy-sepoy.
Hpku bordering. Ada pesan singkat. Rahmat mengabari.
“Ke tempat Imam agak siangan ya?, soale aku mampir ke tempat temanku, nagih jatah bulanan.”
Aku menjawab singkat.
“Woke”
“Abis dzuhur ya”. Di balas kembali.
“Siip”
Adikku datang tepat aku sedang berkemas. Yang lain juga sedang berkemas. Hari sabtu kerja setengah hari. Masing-masing bersiap pulang. Kembali ke keluarga yang menunggu di rumah. Kami ber lima belas di kantor ini. Sebenarnya kami berdua puluh orang, sebagian memiliki urusan lebih banyak di Jakarta. Jadilah kami berlima belas, lebih dari cukup untuk jadi tim futsal yang kompak. Eh tim proyek yang solid. Semoga sampai selesai, kami tetap utuh. Pekerjaan kali ini bisa selesai sempurna.
Aku bersiap dengan tas kecil di cangklong. Jaket biru kesayanganku. Dan helm merah yang selalu kubawa-bawa kemana saja. Tak lupa mampir sebentar ke Alfamart depan jalan. Membeli air mineral kemasan. Ini perjalanan jauh. Air putih tidak boleh ketinggalan. Air putih itu pesan banyak orang. Ndak boleh dilawan.
Motor Jupiter melaju kencang. Beberapa kali harus memegangi helmku. Takut lepas. Ukuran dalam helm beberapa mili lebih besar dari kepalaku yang selalu kupotong cepak, hampir gundul. Urusan branding. Biar gampang dihafal. Rahmat juga jago ngebut. Saat kulirik, speedometer tak pernah menunjuk dibawah angka 60 km/jam. Saat jalanan lurus dan sepi,jarum speedometer cepat bergeser ke kanan, mendekati angka 90 km/jam. Was wis wus.. kuenceng. Sama seperti iklannya. Untung saja baju kami tidak perlu robek-robek. Ha ha ha ha… lebay.
Kami tiba di rumah Imam, ba’da asar, sekitar pukul setengah lima. Fikri –anak imam- sedang digendong mba Nur –istri imam-. Fikri tampak lemah digendongan, kepalanya terlalu berat. Syukurlah sudah tidak tumbuh membesar lagi. Fikri memang istimewa, nafsu makannya besar, badannya sehat. Bersih terawat. Mba Nur, tampak biasa saja. Seperti tidak ada yang bermasalah dengan fikri. Hanya Mb Nur yang tau bahasa tubuh fikri. Kapant Fikri lapar, haus, buang kotoran, atau juga merasa tidak nyaman. Aku tetap tak mengerti arti cinta ibu kepada anak-anaknya. Maha suci Alloh yang menganugerahkan kasih sayang ibu kepada anak-anaknya. Mba Nur juga begitu, tak perlu ada yang ditangisi, tak perlu ada yang disesali. Ini pemberian, anugerah dari Alloh. Seandainya pun Fikri tak sama dengan anak-anak pada umunya, Ia amanah yang harus tetap di jaga. Tetap banyak hal-hal yang bisa disyukuri.
Imam menyalami aku sebentar. Mempersilahkan. Kemudian meminta Mba nur menyiapkan minum untuk kami berdua. Ada pasien datang. Harus didahulukan.  Aku seharusnya datang setelah maghrib. Menunggu sampai Imam selesai melayani pasien.  Biarkan saja, sembari menunggu, aku bisa melihat-lihat sekitar. Melihat-lihat taman obat di depan rumah imam. Sebagian aku mengenali tumbuhan-tumbuhan itu, banyak tumbuh dipekarangan belakang rumah. Sebagian yang lain baru aku temui sama sekali.  Imam tau semua. Hafal diluar kepala, nama berikut kasiat dan takarannya.
Selepas isya giliranku baru tiba. Aku merasa nyeri luar biasa saat imam menekan salah satu titik akupuntur di punggungku.  Aku berteriak. Eh beristighfar. Sakit luar biasa. Ngilu.
“sering bergadang ya?” imam bertanya singkat.
  “Iya..” masih terasa ngilu.
Bagaimana dia tau?
Biarkan saja, bukankah untuk ini kedatanganku ke sini.
Ini kunjungan keduaku ke rumah imam, setelah bertahun-tahun tak bersua. Ia mewanti-wantiku untuk datang setiap bulan.
“Tak usah bayar’” katanya datar.
“kirim pulsa saja”
“Oke bos….” Jawabku singkat. Melet-melet. Lidahku masih terasa pahit, sisa minum jamu.
Sudah sepakat, sebulan sekali aku harus berkunjung ke tempat imam. Ngambil jamu, ngambil madu. Kalo perlu di bekam. Seperti sekarang ini. Terserah sajalah. Semoga badanku terasa lebih baik sesudahnya. Dan penyakit-penyakit di badan ini lekas hilang. 
Sempurna 16 kop bekam menempel di seluruh punggungku. Aku menolak saat ditawarkan bekam di jidatku. Tak usah saja. Trauma bulan kemarin. Di ledek semingguan.
“Habis berantem di mana mas?”
Yang lain bilang,
“KDPP”
Alias
“Kekerasan Dalam Pekerjaan Proyek”
Wah macem-macemlah ejekannya. Bikin tengsin saja. Prioritasin penyakit yang di punggung deh om. Jangan yang “Mbleber-mbleber” sampe jidat. Rempong mbanget.
Ritual bekam hamper usai. Imam  membersihkan darah kotor di kop bekam. Ditampung saat keluar dari sesetan punggungku setelah di vakum. Sudah seperti jeli. Merah tua, kehitaman.
“Menurutmu aku harus bagaimana yok?” imam memulai percakapan.
Aku masih meringis kesakitan. Entahlah jarum seset imam kali ini terasa lebih tajam. Nyeri sekali sekujur badanku.
“Maksudnya?” sekenanya aku menjawab. Nyeri oy.
“Aku ini Cuma lulusan pesantren, selain ngaji, aku Cuma diajari pengobatan alternative.”
“Pengobatan herbal seperti ini.”
“Ini juga masih belajar..”
“Kamu tau sendiri kan yox, saat maghrib dan isya tadi?”
Aku tak menjawab. Mendongakkan kepala. Melihat kearah imam.
“Sekarang ini orang Islam semakin bermacam-macam saja.”
“Pada beda-beda, mulai nyalah-nyalahke siji liane”
“sebagian nganggap bid’ah, sebagian nganggep syiar”
“aku mesa’ake lihat jama’ah, bingung mereka”
“Aku yo piye…”
“Begini diomong.. begitu dirasani..”
“Wis-wis.. namanya warga itu..”
“Pikirku mbok yao jangan aneh-aneh..”
Imam berhenti bicara tepat saat kop yang terakhir usai dibersihkan. Darah kotor langsung ditampung di plastic keresek. Segera dibuang. Tak ada bau amis darah. Tanda darah penyakit. Imam mengatakan itu tempo hari.
Aku bangkit dari kamar bekam. Mengenakan kembali kaos yang sedari tadi kutanggalkan. Sembari merapikan baju. Aku berjalan ke ruang depan rumah imam. Tempat ia menggelar bermacam-macam obat-obatan herbal. Dari biji-bijian, dedaunan, akar-akaran aneka parem kocok dan lain sebagainya.
Rupanya imam sudah duduk di sana.  Nikmat menghisap rokok kretek. Sejak tadi sore belum sebatangpun disulut. Aku hanya menyeringai. Duduk menyampingi. Tak berkomentar. Bagaimanapun imam tumbuh dalam tradisi pesantren tradisional. Rokok tidak dilarang di sana. Tempo hari saat dia menanyakan hukumnya padaku. Kujawab sekenanya.
“Bos.. setahuku rokok itu ndak ada contohnya di jaman nabi.”
“Ndak ada hadisnya pula rosul membolehkan ato melarang.”
(kalo yang ini sok tau banget, blum ngecek kitab hadist, sok-sokan)
“Aku ndak mau berdebat sama ustadz kaya sampean ini.”
“Semua orang sudah tau manfaat dan bahayanya. Jadi monggo silakan saja.”
“Tapi, kalo nanti ada yang sakit gara-gara rokok.”
“Ojo sambat. Jangan mengeluh. Rasakan sendiri.”
“ha ha ha ha ha….” Kami semua tertawa. Imam tertawa nakal.
Dari dalam ruangan. Mba Nur membawa nampan berisi dua gelas kecil. Meletakannya di atas meja.
“silakan mas..”
Aku mengangguk. Masih ada uap panas menyembul di sana.
Masih panas.
“Sampai dimana kita tadi?”
aku memulai pembicaraan. Imam masih menikmati kreteknya. Masih separo batang. Menengok ke arahku. Memainkan asap rokok yang keluar dari mulut.
“ya begitu tadi,”
“Tau kan rasanya jadi panutan?”
“Diperhatikan banyak orang”
“susah juga harus ngikuti kata-kata banyak orang..”
“Njuk kepiye?”
Aku menyeringai lagi. Menjawab –sekenanya lagi- pertanyaan Imam.
“Ya begitu nasibnya jadi selebritis”
“Banyak yang memonitor”
“Ndak bisa kita nuruti semua permintaan orang”
“Kita ya ndak bisa hidup dengan persetujuan orang lain”
“Jadi diri sendiri saja, lebih nyaman”
“Nabi saja, yang jelas-jelas orang paling baik seluruh dunia”
“Banyak yang ndak suka, banyak yang ndak setuju sama pendirian bliau sewaktu hidupnya..”
“La apalagi kita, yang jelas-jelas semblotongan ?”
“Hobine kaya kita ini, ahli ngakali hukum”
“Hobi mbenar-mbenarke aturan biar sesuai sama kepenginan kita?”
“jauh om.. jauh….”
Imam manggut-manggut. Rokoknya tinggal seperempat.
Aku meraba gelas jamu. Sudah mulai dingin. Aku minum saja. Pahit campur getir.  padahal sudah dicampur dua sendok madu. Aku melet-melet lagi. Lebih pahit dari yang kemarin-kemarin. Mungkin tadi lupa mengangkat jamu. Jadi lebih kental dari biasa. Dan lebih pahit tentunya.
“Lha terus menurutmu aku mesti bagaimana?”
Aku tahu betul. Ini pertanyaan menjebak. Nge-tes.
“Mam, Kamu ini punya kemampuan luar biasa”
Aku harus memujinya dahulu. Jurus buaya nomer 61. Inspirasi dari buku Men are from mars, women are from venus karya Jhon gray. Tak satupun manusia yang tak suka dipuji.
“Coba bayangkan berapa banyak orang Islam yang hebat kaya sampean ini”
“Masih muda, pinter ngaji, pinter ngobati, Dipercaya banyak orang…,”
Dan jurus pujian ini memang ampuh. Imam hanya nyengir, tak mengerti bagaimana bersikap saat dipuji. Melepaskan hembusan asap terakhir. Hembusan terdalam. Paling nikmat para perokok. 
“Sudahlah… “
“Masing-masing dari kita punya cara tersendiri untuk berarti bagi orang banyak…”
“Bukankah yang sebaik-baik dari kita adalah yang paling banyak manfaatnya bagi orang lain?”
“Mau jadi guru, dokter, pegawai, tukang sampah… apa saja..”
“Semua punya peluang yang sama untuk berkarya..”
“Dan orang-orang kaya sampean ini punya peluang lebih banyak dari ku, dari jutaan orang  sekalipun”
“Sampean ini bisa menolong banyak orang, menjadi perantara bagi yang sakit menjadi sehat, membantu yang ndak ngerti jadi paham…”
“Kalau nanti sampean menularkan ilmu ini kepada orang lain, maka jadi amal jariah”
“Setiap orang yang disembuhkan murid-muridmu nanti, sampean akan kecipratan pahalanya juga”
Imam nyengir lagi. Tambah sulit menerima pujian. Sangat wajar.
“Berhentilah saling menyalahkan, gunakan peran kita masing-masing.”
“Sekuat tenaga, sebaik kita bisa”
“Sudah terlalu lama kita semua bertengkar, meributkan yang paling benar”
“Tidakkah lebih baik,  jika kita gunakan energy yang luar biasa banyak untuk sesuatu yang bermanfaat, berguna bagi diri dan umat”
“Mungkin kita tidak akan merubah terlalu banyak keadaan umat, tapi  setidaknya lebih produktif, ada hasilnya”
“yakinlah sesederhana apapun yang kita lakukan, tetap ada nilainya,”
“Tetap ada manfaatnya,”
“Tetap ada pahalanya”
Aku menghabiskan setengah botol aquaku, setengah yang lain sudah aku minum untuk mengobati pahit jamu. Haus juga bicara sedari tadi. Rasa pahit di lidah belum juga hilang. Sepahit menyaksikan saudara-saudara sendiri saling membenci. Saling menyalahkan satu sama lain. Merasa paling benar sendiri. Menyisakan orang-orang baik seperti Imam. Yang dengan kesederhanaan dan ketulusan luar biasa, ingin memberi, ingin berbagi. Agar kehidupan umat bisa lebih baik, lebih sejahtera. Dengan keterbatasan yang ia mampu, dengan kemampuan yang dia bisa.  
 










Jumat, 16 Maret 2012

"Children Learn What They Live With “



Jika anak banyak dicela, ia akan terbiasa menyalahkan 
Jika anak banyak dimusuhi, ia akan terbiasa menantang 
Jika anak dihantui ketakutan, ia akan terbiasa merasa cemas 
Jika anak banyak dikasihani, ia akan terbiasa meratapi nasibnya 
Jika anak dikelilingi olok-olok, ia akan terbiasa menjadi pemalu 
Jika anak dikitari rasa iri, ia akan merasa bersalah 
Jika anak serba dimengerti, ia akan terbiasa menjadi penyabar 
Jika anak banyak diberi dorongan, ia akan terbiasa percaya diri 
Jika anak banyak dipuji, ia akan terbiasa menghargai 
Jika anak diterima oleh linkungannya, ia akan terbiasa menyayangi 
Jika anak diperlakukan dengan jujur, dia akan terbiasa melihat kebenaran 
Jika anak ditimang tanpa berat sebelah, ia akan terbiasa melihat keadilan 
Jika anak dikerumuni, ia akan terbiasa berpendirian

( Dorothy Low Nolte)

Kamis, 15 Maret 2012

The Spirit Carries On

Where did we come from, 
Why all we here? 
Where do we go when we die?
What lies beyond
And what lay before?
Is anything certain in life?

They say, "Life is too short,"
"The here and the now"
And "You're only given one shot"
But could there be more,
Have I lived before,
Or could this be all that we've got?

If I die tomorrow
I'd be all right
Because I believe
That after we're gone
The spirit carries on

I used to be frightened of dying
I used to think death was the end
But that was before
I'm not scared anymore
I know that my soul will transcend

I may never find all the answers
I may never understand why
I may never prove
What I know to be true
But I know that I still have to try

If I die tomorrow
I'd be all right
Because I believe
That after we're gone
The spirit carries on


"Move on, be brave
Don't weep at my grave
Because I am no longer here
But please never let
Your memory of me disappear"


Safe in the light that surrounds me
Free of the fear and the pain
My questioning mind
Has helped me to find
The meaning in my life again
Victoria's real
I finally feel
At peace with the girl in my dreams
And now that I'm here
It's perfectly clear
I found out what all of this means

If I die tomorrow
I'd be all right
Because I believe
That after we're gone
The spirit carries on

Minggu, 11 Maret 2012

No Need to say Goodbye

It started out as a feeling 
Which then grew into a hope 
Which then turned into a quiet thought 
Which then turned into a quiet word 

And then that word grew louder and louder 
'Til it was a battle cry 

I'll come back 
When you call me 
No need to say goodbye 

Just because everything's changing 
Doesn't mean it's never 
Been this way before 

All you can do is try to know 
Who your friends are 
As you head off to the war 

Pick a star on the dark horizon 
And follow the light 

You'll come back 
When it's over 
No need to say good bye 

Now we're back to the beginning 
It's just a feeling and now one knows yet 
But just because they can't feel it too 
Doesn't mean that you have to forget 

Let your memories grow stronger ans stronger 
'Til they're before your eyes 

You'll come back 
When it's over 
No need to say good bye


(Regina Spektor)