Minggu, 19 Februari 2012

Janji Mulia, di Hari Kedua

Pertengahan September 2002
Aku belum genap dua bulan menginjakkan kaki di Jogjakarta. Kota gudek, kata orang. Yang lain lebih suka menyebut kota pelajar. Yang lain lagi menyebut kota budaya. Aku memilih Jogjakarta kota impian. Tempat mengadu nasib, menjemput cita-cita. Tak pernah terpikir bisa belajar di kampus  ini. Kampus rakyat yang besar prestasinya, besar tempatnya dan besar pula biayanya.
Hari ini hari ke dua kuliah. Jam dinding belum tepat pukul delapan. Kami Masih semangat, layaknya api yang baru disulut. Masih menyala besar. Euphoria anak muda.  Ruang kuliah ramai. Sebagian berebut mencari tempat duduk. Rebutan di belakang. Sebagian memilih duduk-duduk di koridor. Menunggu dosen. Siapa tau ada mahasiswi jurusan lain lewat. Itikiwiirrr…..
Di barisan belakang, terdengar yang paling riuh. Dua barisan terbelakang. Berisi anak-anak aneh. Berisik.  Ada yang usil saling mengerjai. Aku tetap tidak paham –bahkan hingga sekarang- bagaimana mungkin? Entah mereka sangking pinternya, sampai kekuarangn usaha untuk menghabiskan energy, entah karena beruntung bisa diterima di kampus ini. Tebakanku tetap yang pertama. Saat engkau sangking cepatnya bergerak, maka engkau akan kehabisan hal yang harus diselesaikan. Sehingga akan mencari cara untuk menghabiskan energy. Mencari-cari masalah.
Dibarisan tengah lebih tenang. Barisan ini berisi orang-orang unik. Tampang culun. Berpakaian kota-kotak, dimasukkan ke celana. Bersepatu hitam bertali merk “warior”, dengan garis putih yang mulai berwarna kecoklatan. Jarang dicuci. Sedikit kebesaran. Rambut cepak. Nampak bingung. Menengok sana sini. Sebagian memberanikan  mengobrol dengan teman di samping kanan-kiri. Bertanya asal dan  alamat. Sekedar formalitas. Sebagian lain memilih diam. Ngantuk.  Mungkin kebanyakan sarapan. Mungkin juga tak bisa tidur semalaman, tak terbiasa tidur di kosan. Jauh dari rumah dan orang tua.
Dua barisan paling pertama selalu duduk orang-orang  pinter. Awalnya itu hanya dugaanku. Dan pada akhirnya terbukti begitu. Tipe kamus berjalan. Segala tau. Gengsi kalo sampe ada informasi pengetahuan terbaru tidak tahu. Ngalah-ngalahi simbah. “Simbah google”.  Bermata empat, alias berkacamata super tebal. Macam pantat botol.  Berambut klimis. Berbaju rapi, -atas putih, bawahan hitam-  dengan bekas garis sertikaan yang masih tercetak jelas di baju dan celana. Sepatu pantovel super mengkilap. Sibuk membaca, buku-buku super tebal. Entah kamus entah ensiklopedia. Mengacuhkan keadaan sekitar. Terlihat asocial. Belakangan kata mereka, ini tentang efektivitas. Memanfaatkan waktu sebaik mungkin. Update status, bahwa ilmu yang harus diketahui jauh lebih banyak dari waktu yang dimiliki.
Aku memilih bangku paling depan, tentu dengan beberapa alasan. Pertama karena aku kepengin seperti orang-orang dibarisan terdepan, ketularan pinter-pinter. Kedua, Karena alasan fisik –tak kelihatan kalau duduk dibelakang-. Kebiasaan ini kubawa dari SMA. Karena hampir selalu datang paling akhir. Mau tak mau aku duduk di satu kursi tersisa. Di depan guru. Dan tentu alasan terkuat adalah alasan kedua. Semoga saja alasan pertama ikut nyamber, ketularan pinter.
Kami berseratus dua puluh tiga –pada awalnya- satu angkatan. Entah tinggal berapa saat kami –satu-persatu- lulus, meninggalkan kampus. Hanya ada satu perempuan diangkatanku. Satu mahasiswi diantara seratus dua puluh dua mahasiswa. Kelihatan janggal, tapi memang begitulah kenyataannya. Seperti bidadari di sarang penyamun.
 Perempuan memang makhluk langka di jurusan ini. Dosen perempuan pun nyaris tak ada,  bisa dihitung dengan jari. Kalau saya perhatikan, hanya ada tiga dosen perempun. Itupun hanya satu yang mengajar kami, dua yang lainnya tidak sempat, tepatnya tidak akan pernah. Jadi jangan coba-coba bertampang aneh-aneh, terutama bagi perempuan. Agar nasibnya tak seperti dosen tamu beberapa waktu lalu. Dosen muda itu dikerjain habis-habisan. Siapa suruh berpakaian aneh, berpenampilan “pink” sepanjang badan. Dari ujung rambut sampai sepatu. Kalau ingat peristiwa siang itu, aku masih sering tertawa sendiri.
Tapi ya sudah, di terima saja. Belakangan Ratna –satu-satunya perempuan di angkatan kami- jatuh cinta pada jogja. Dibela-belain pindah rumah sekeluarga dari riau. Keterusan. Enggan meninggalkan tempat itu.  Semoga saja beliau sudah lulus. Terus sukses karir dan usahanya.  Tak putus ditengah jalan. Seperti beberapa sahabat-sahabat yang lain.
Sekarang pukul delapan lewat sepuluh menit. Pintu terbuka tepat jarum terpanjang “detikan” melewati melewati angka dua belas. Seorang lelaki paruh baya masuk ke ruangan. Spontan menghentikan semua keriuhan di dalam kelas. Mengunci semua mulut anak-anak di barisan kursi belakang.  Menghentikan si mata empat membaca. Menambah grogi anak-anak di bagian tengah. Dan tentu saja, menghentikan lamunanku.
Ia seorang lelaki paruh baya. Menggunakan setelan jas berwarna abu-abu. Dengan dasi garis-garis berwarna biru. Rambut disisir klimis, dengan hiasan putih-putih yang nampak dominan di kepala. Rambut uban. Pertanda usia. Tak seperti bayangan dosen umumnya, beliau tak terlihat menyeramkan. Tidak killer seperti dosen hari kemarin.
Setelah meletakkan tas jinjing warna pekat. Pak dosen mengambil kapur, dan menuliskan sebuah nama di sana. Diikuti kuliah yang akan bliau ajarkan kepada kami semester ini. Tidak banyak. Tak disangka, yang akan diajarkan biasa saja. Seperti mengulang pelajaran di SMA.  Aku pikir akan seperti apa. Ternyata sama saja. Pelajaran itu-itu juga.
Pak dosen kemudian duduk di kursi. Kedua tangannya bersedekap di dada. Tersenyum kemudian.
“Selamat pagi”
“Pagi”
Dijawab sekenanya.
“Pertama kali, saya ingin mengucapkan selamat kepada kalian semua.”
“kalian adalah orang-orang pinter.”
“Orang-orang yang dipilih, diseleksi dari ribuan orang seantero Indonesia”
Bangga kami di puji, sebagian menyeringai, tak mengerti bagaimana harus berekspresi.
“Kalian,  para –calon- sarjana adalah orang-orang hebat di Negara ini”
“Kalian bertanggung jawab pada perubahan dan perbaikan Negara kita di masa mendatang”

“Kalian..”
“Para –calon- sarjana…”
“Orang-orang pinter”
Berhenti sejenak.
“semestinya lebih bisa memahami orang lain”
“Orang-orang yang, baik secara pendidikan formal atau yang pengetahuannya lebih rendah dari pada kalian semua.!!”
“Pengetahuan kalian bukan untuk gagah-gagahan.”
“karena yang diketahui lebih banyak dari pada orang lain, sering kali orang-orang pinter itu tertipu”
“tak sabaran, kemudian menjadi arogan”
Kami terdiam. Masing-masing terbang ke angan-angan. Bahwa menjadi mahasiswa  adalah amanah. Setiap amanah ada konsekwensinya. Ada pertanggungan jawabnya.
“saya tidak tahu..,”
“Diantara kalian tentu ada yang memiliki orang tua sarjana, ada pula yang tidak, mungkin malah tidak sekolah”
“Ada pula yang berasal dari kota, tentu ada yang berasal dari pelosok”
“Ada yang orang tuanya kaya raya, ada pula yang pas-pasan”
“Maka saya ingatkan kepada kalian”
“Sehebat apapun kalian nanti?”
“sampai di mana kalian akan pergi?”
“Ingat-ingatlah”
“Ingatlah siapa kalian sebenarnya”
“Dan dari mana kalian berasal !!!”
Kami diam lagi. Ruangan semakin sepi. Berkebalikan dengan saat kami masuk tadi.
“yang membedakan kalian dengan orang lain adalah..”
“kalian semestinya memiliki cara berfikir yang berbeda”
“Kehadiran kalian adalah sebagai pencerah, sebagai solusi bagi masarakat di mana kalian nanti tinggal.”
“Bukan sebagai sampah, ngakali aturan yang ada”
“Kemampuan besar selalu diikuti tanggung jawab yang besar pula”
“Berlakulah mulia, jadilah penyebab bagi orang banyak”
“berbuatlah sebanyak-banyaknya untuk kesejahteraan masarakat.”
“Karena di masa depan, kalian yang akan meneruskan Negara ini, menggantikan kami-kami yang sudah tua.”
“sekali lagi saya ucapkan selamat belajar !!”
“selamat berjuang !!”
Tersenyum kemudian.
“Kuliah hari ini sampai di sini saja.”
“Kuliah dilanjutkan minggu depan.”
“Siapkan bab pertama. Siap-siap ada kuis”
Kami yang sedari tadi diam mendadak ribut. Dan serempak ber- “Huuuuuu… “ bersama.
 Tanda perjuangan segera di mulai. Perjuangan menggapai asa. Menjemput cita-cita. Janji tetang kehidupan di masa depan yang lebih baik.
Kuliah bubar. Pak dosen meninggalkan ruangan. Diikuti sebagian besar dari kami. Sebagian yang lain tetap di kelas. Melanjutkan keributan yang terhenti tadi. Aku masih duduk di kursi kuliah. Tak beranjak. Merenungi kuliah tadi. Mencoba memahami.
“Semoga saja aku bisa.”



Minggu, 12 Februari 2012

Dilema Imam

Hari masih pagi. Kampungku sudah sejak tadi terbangun. Sejak mbah Saidi mengumandangkan adzan subuh dengan suara amat cempreng. Dari simbahku yang masih dijaga baik oleh orang-orang tua. Memaksa semua orang terbangun. Memaksa semua jangkrik berhenti menderik. Memaksa semua ayam berhenti berkokok. Kalah saing.
Kampungku memang sangat indah. Hamparan sawah nampak berwarna hijau zamrud. Dilatar belakangi pegunungan biru. Memanjang dari utara ke selatan. Puncak-puncak pegunungan nampak berebut sebagai yang paling tinggi. Menyembul diantara kabut pagi yang mulai menipis. Pemandangan akan semakin indah saat matahari semakin meninggi.  Kabut putih akan tergantikan cahaya emas matahari. Menampilkan pemadangan sempurna, hijau zamrud persawahan, biru berlian pegunungan.
 Aku menghirup nafas dalam-dalam. Menikmati kesegaran udara pagi pedesaan. Basah, segar, mengisi penuh paru-paruku. Kemudian menghembuskannya kembali. Bersama semua kepenatan yang aku rasakan. Sampai umurku yang sudah dua puluhan. Hanya sedikit yang berubah. Aku memang kehilangan lapangan bola di belakang rumah. Namun, sawah dan pegunungan di utara sana tidak berubah. Selalu indah saat di pandang. Insah dinikmati. Menghilangkan semua persoalan dan masalah. Meski barang sejenak saja.
Seperti hari biasa, pagi seperti ini selalu ramai. Banyak orang berjalan pagi. Ada yang sendiri-sendiri, ada yang berombongan. Katanya biar tetap sehat. Sekelompok anak-anak tanggung nampak  ramai berjalan bersama. Menyapa saat bertatap denganku. Nampak dua adikku juga ada di rombongan itu. Ini hari minggu. Semua sekolah libur. Waktunya main bola.
Di ujung jalan, nampak dua orang sedang berjalan beriringan. Berjalan ke arahku. Ritual jalan pagi selalu sama. Berjalan ke gedung sekolah SD di ujung desa, kemudian berbalik. Kembali ke rumah masing-masing. Sepertinya sepasang suami istri. Yang putri nampak menggendong seorang bayi. Sesekali terlihat saling bicara. Membicarakan sesuatu. Aku mempercepat langkahku. Sepertinya aku mengenal salah satu dari mereka. Memang benar, dia teman lamaku.
“Assalamu’alaikum”
“Wa’alaikumussalam warokhmatulloh”
Kami bersalaman.  bepelukan agak lama. Betapapun ini bukan pertemuan pertama setelah berpisah lama.  Kami memang sahabat karib. Setiap kali kami bertemu. Semua kenangan masa lalu akan selalu terbayang. Melintas begitu saja, seperti burung-burung pipit yang sedang berterbangan di persawahan.  
“Ini istriku..” sobatku menunjuk
Yang ditunjuk tersenyum. Mengatupkan kedua tangan. Aku mengikuti. Mengatupkan kedua tangan di dada. Bukan muhrim. Tak perlulah bersalaman.
Aku melirik perempuan di samping sahabat lamaku ini. Seorang perempuan cantik. Penampilanya  sangat sederhana. Mengenakan baju kurung panjang berwarna hijau. Kerudung putih sempurna menutupi aurotnya. Khas pakaian santri. Yang dilihat menunduk, Nampak sibuk memperbaiki posisi kain penggendong bayi. Sedari tadi sudah mulai melorot. Gesekan sepanjang jalan-jalan. Di gendongannya nampak seorang bayi sedang tertidur pulas. Sesekali terlihat menggeliat. Menggerakkan bibir mungilnya. Enggan membuka mata. Silau sama matahari.
 “Dia ini wanita solehah, asli pondok pesantren” ia mengangkat jempol.
“Insya Alloh bahagia dunia akhirat”
Aku mengamini. Tak mau banyak bertanya. Enggan membahas. Urusan istri masalah sensitive. Dan percuma berdebat. Ujung-ujungnya Cuma di “cengi”. Diledek tiada henti.  Kalau sudah waktunya juga nanti dapat. InsyaAlloh. Kalau istilah abg-abg labil jaman sekarang. “akan indah pada waktunya”
 “Kamu kapan boz?”  aduh pertanyaan ini muncul lagi. Males aku menjawabnya.
“Kerja terus, mang duitnya buat apa?”
“Ndak dibawa mati juga? Ya kan?”
“Buruan, keburu kiamat!!”
“Ini ni sunah rosul, setengah agama,”
“nanti kalo diakhirat sana kebagian separuh tok surganya”. Aku menepok jidatku. Repot. Kalo ngomong sama ustad. Kebanyakan ceramah. 
Sahabat lamaku ini bernama imam. Kami sudah berteman lama. Sudah jadi hukum alam. Kami bersahabat karena banyak alasan. Karena banyak kesamaan. Sama-sama pecicilan, sama-sama bersekolah di tempat yang sama. Sama-sama punya kekurangan, -lebih tepatnya keistimewaan- sama-sama punya masalah tinggi badan. Kami saling mengenal sejak masih sekolah taman kanak-kanak. Setelah lulus Sekolah dasar kami berpisah. Imam melanjutkan pendidikan di madrasah tsanawiah. Sekalian nyantri di sebuah pesantren terkenal di daerah cilacap. Lumayan jauh dari kampong kami. Sementara aku melanjutkan sekolah SMP di gombong, Sampai SMA. Kemudian melanjutkan kuliah di jogja. Sempurna sudah perpisahan kami. Makin ke sini makin jarang bertemu.
Imam anak yang lincah dan sangat berbakat. Hari-hari kami selepas pulang sekolah diisi dengan banyak urusan. Nyari belut di sawah. Ngejar layangan putus, -selalu tak dapat layangan, kalah sama yang lebih tinggi-. Ciblon di kali saat banjir. Mancing joran di pinggir kuburan yang super seram di ujung kampong.
 Aku lebih suka menghampiri ke rumah Imam untuk mengajak main. Ia berbeda RW dengku. Lumayan jauh. Tentu bukan tanpa alasan, di depan rumah imam ada pohon “basbul” yang sangat enak. Basbul ini model buah langka. Rasanya seperti kesemek. Pohon basbul menjulang tinggi bak pohon cemara. Nyaris tak bisa dipanjat.  Daun basbul lebar-lebar. Kulit luar basbul ditumbuhi bulu-bulu halus yang gatal. Kami harus merontokan bulu-bulu halus itu sebelum memakannya. Terakhir menikmati basbul saat kelas 6 SD, menjelang libur panjang. Menjelang akhirnya di tebang. Punah dari kampung kami. Mungkin punah dari  Indonesia. Lebay.com
Selepas Madrasah aliyah –Setingkat SMA- imam merantau ke Jakarta. Berbekal kemampuan agama dan pengobatan tradisional, imam didaulat untuk menjadi marbot sebuah masjid baru atas inisiatif saudaranya yang lebih dahulu tinggal di sana.  Aku sempat mengunjungi imam beberapa waktu yang lalu. Diantar masku, aku akhirnya mengunjungi imam. Tempatnya lumayan jauh, di ujung timur laut Jakarta.
Imam baru saja keluar dari masjid saat aku datang ke sana. Boleh dibilang kunjunganku adalah pertemuan pertama sejak lama kami berpisah. Aku baru saja lulus kuliah. Sedang sibuk mencari-cari kerja di Jakarta. Aku agak pangling dengan penampilan imam. Imam mengenakan setelan jas warna hijau. Nampak kedodoran, berpeci hitam, dengan sarung kotak-kotak dengan buntelan besar di perut. Nampak sangat berwibawa. Ia tinggal di depan masjid. Di beri sepetak tanah untuk dibangun sendiri sebagai tempat tinggal.
 Tak mau menggantungkan kehidupan sebagai marbot masjid, imam memulai usaha kecil-kecilan. Toko sembako. Untungnya tentu tak banyak, setidaknya ia tak kekurangan. Tak jarang imam rugi. Dagangan imam amblas, banyak konsumen sering menunggak bayaran. Untungnya, Sesekali ada saja orang yang minta pertolongan kepada imam. Semasa di pesantren, imam memang dibekali keahlian pengobatan tradisional dan pijat memijat. Agar setelah lulus, santri bisa mandiri. Tak perlu bergantung pada orang lain. Apalagi meminta-minta. Pantangan bagi imam. Dalam mengobati pasien, Imam tak pernah mematok harga, seikhlasnya saja. Entah sudah berapa orang imam bantu. Ia tidak kaya, masih muda, namun sangat dihormati.
Lambat tapi pasti, usaha imam meningkat pesat. Saat kerja keras imam mulai membuahkan hasil. Imam terpaksa menutup semua dagangannya. Ada saja orang iri yang merasa tersaingi. Ada saja orang iri yang menginginkan imam bangkrut. Tak ingin berseteru, imam memutuskan pindah. Sebenarnya banyak yang keberatan, namun keputusan imam sudah bulat. Menikah menjadi alasan imam untuk pindah. Ia butuh tempat yang lebih luas untuk keluarganya kelak. Bukankah sudah aku katakan kepadamu kawan. Rasa dengki itu sangat berbahaya. Ia menghancurkan diri dari dalam. Merusak kebaikan, seperti api membakar dedaunan.
Imam langsung dinikahkan pak kyai. Tak lama setelah mengajukan keinginan menikah beberapa bulan sebelumnya saat sowan ke pesantren. Langsung dipilihkan santri putri  yang baik oleh pak kyai. Wanita yang sekarang ada di samping imam. Enak juga jadi santri. Tinggal matur langsung dapat. Sayang aku tak dapat hadir dipernikahan imam. Sedang ada urusan di luar kota. Maafkan ya.
“Aih.. aih..  sudah bangun.. ya?”
imam menegok bayi yang digendong istrinya. Manggut-manggut. Pun wanita itu, menengok ke arah gendongan. Keduanya tersenyum. Memanggil-manggil bayinya. Sungguh aku iri melihat pemandangan ini. Semoga kelak bisa berbahagi seperti mereka.  Amin.
Istri imam kembali memperbaiki gendongan si jabang bayi. Bersamaan dengan itu, topi bayi imam tersingkap. Pandanganku tepat mengarah ke bayi imam. Tertahan sebentar. Sesak menahan nafas. Tercekat menahan kata. Aku tidak bisa berkata-kata.
Aku memandangi imam datar. Bertanya-tanya? Kenapa bayimu mam?
“Alloh memang maha adil”
“tak bosan Ia member cobaan kepada kita yo..”
Aku tertunduk. Imam menatap jauh ke depan. Sejauh angan dan cita-cita imam. Sejauh ia telah menahan diri. Bersabar atas segala cobaan. Istri imam juga tertunduk, sibuk memperbaiki gendongan bayi, sibuk memperbaiki topi si bayi. Sibuk menguatkan hati. Si bayi nampak lelah di gendongan, berat menahan beban.  Matanya nanar menatap kami. Menatap percaya pada kedua orang tuanya.  Bahwa suatu saat ia akan tumbuh besar. Sempurna seperti kami semua.
Anak imam didiagnosis menderita  Hidrosefalus. Kepala bayi imam membesar, tumbuh lebih cepat dari bagian tubuh yang lain. Dari buku-buku yang ku baca Hidrosefalus  adalah penyakit yang terjadi akibat gangguan aliran cairan di dalam otak (cairan serebro spinal). Gangguan itu menyebabkan cairan tersebut bertambah banyak yang selanjutnya akan menekan jaringan otak di sekitarnya, khususnya pusat-pusat saraf yang vital.
“Sejak kapan mam?” ragu-ragu aku bertanya.
“sudah sejak lahir”
“Alloh memang menakdirkannya begitu”
“Aku hanya berusaha dan berdoa”
“Sudah dicoba diobatkan ke sana-kemari, namun belum sembuh juga.”
“Mungkin akunya yang masih kurang ikhlas”
“Masih terlalu banyak berbuat dosa”
“Masih terlalu banyak mengeluh”
Aku memegang pundak imam. Memberi semangat. Ikut menatap jauh ke depan. Ke biru pegunungan.
Alloh memang selalu memberi cobaan kepada hamba-hamba yang dicintai-Nya.
“Aku hanya bisa pasrah, yo.”
“sekarang ini, aku ingin berbuat yang terbaik, berbuat baik sebanyak-banyaknya.”
“sambil mencari cara untuk menyembuhkannya.”

“Tak peduli sampai kapan? Aku akan tetap berusaha.”
Diam kemudian. Suara angin semilir pelan. Menggoyang ujung padi  menghijau. Burung-burung pipit berterbangan. Terusik oleh gerakan dedaunan. Menghindar dari ancaman.
Bukankah sudah kukatakan kepadamu kawan, saat melakukan hal yang mulia, maka kita harus tabah. Karena hidup akan terasa tidak adil. Seringkali kita harus merelakan apa yang paling kita inginkan. Namun sungguh besar  penghargaan Tuhan di hari kemudian.

Tangisan bayi imam memutuskan obrolan kami. Mulai siang. Mulai panas. Tentu bayi imam mulai tidak tahan. Istri imam, kembali memperbaiki gendongan. Membenamkan bayi imam lebih dalam, agar tak kepanasan. Kemudian memandang ke arah imam. Waktunya pulang.
Kami pun berpisah. Aku menyalami imam, berpelukan lama.
“sing sabar boz.”
“Pasti ada jalan, InsyaAlloh”
Imam mengangguk mantab. Wajahnya lebih terang. Merasa lebih baik. Kami pun berpisah kemudian.
“Assalamu’alaikum” aku memberi salam.
“Wa’alaikumussalam warokhmatulloh” dijawab mantab keduanya. 
Sementara imam pulang, Aku melanjutkan jalan-jalan. Mencari sarapan pagi, nasi rames buatan mak Atun. Menyusuri jalanan kampung, di pinggir persawahan. Menandangi hamparan persawahan hijau jamrud, memandangi pegunungan membiru. Yang seindah cita-cita imam. yang setegar kesabaran imam.




Sabtu, 04 Februari 2012

Pak Haji

Setelah bolak-balik seperti gangsing, akhirnya harus merasakan bermalam di Karawang.  Alkhamdulillah, awal tahun 2012 ini ada proyek baru yang dikerjakan. Cukup menantang. Selalu saja banyak kebetulan terjadi. Dua proyek sebelumnya, aku bertemu dengan kawan-kawan saat kuliah  dulu.  Kali ini bertemu dengan sobat lama. Sohib tak terpisahkan jaman SMA. Nasib memang aneh.  Ada saja kejadian-kejadian unik.  Ya salah satunya ketemu lagi dengan kawan-kawan lama.
Nasibnya orang proyek, harus ridlo pindah-pindah kesana-kemari.  Kudu ikhlas bekerja di mana saja. Ibarat prajurit, begitu perintah datang, segera maju ke medan perang. Sokkeren.com. hi hi hi …
Seperti biasa, kami menyewa rumah untuk keperluan mes. Mengantisipasi bapak-bapak yang tinggal di lain kota.  Kan tidak mungkin pulang sudah larut malam, pagi hari sudah harus di proyek lagi.  Kami menyewa sebuah rumah besar di perumahan Karaba Indah. Konon kata  “KARABA” adalah kependekan dari KA-wasan RA-wan BA-njir.  Katanya  begitu. Kenyataan itu makin meyakinkan dari banyak tempelan di depan rumah. “DIJUAL TANPA PERANTARA”, “DIJUAL CEPAT”, “DISEWAKAN” dan lain-lain.
Adzan magrib terdengar dari arah masjid. Lumayan jauh dari rumah kontrakan. Sekalian kenalan dengan jama’ah masjid. Yang sudah-sudah, minimal bisa kenalan dengan banyak orang. Orang-orang muda sepertiku, lebih banyak diuntungkan. Jamaah masjid sekarang lebih banyak didominasi orang tua. Apalagi yang lebih berharga saat bergaul dengan mereka selain nasihat dan petuahnya.  Tambah ilmu tentunya. Bukankah dikatakan, bergaul dengan minyak wangi, akan ketularan wanginya. Bergaul dengan pandai besi, ketularan bau besi. Prinsip itu selalu coba aku jaga. Semakin banyak bergaul, semakin banyak kita tahu. Semakin banyak tahu, mestinya semakin bijkasana. Semakin bisa memahami orang lain. Lebih hati-hati dalam bertindak. Lebih menjaga bertutur kata.
Sedang asik melamun, seorang mengagetkanku.
“Assalamu’alaikum”
“Oh… ‘alaikumussalam” aku kaget.
“Mau ke masjid?” orang itu tersenyum.
Kujawab dengan anggukan.
“Iya pak haji,  mari... “
“Perkenalkan… nama saya suwarno” pak haji mengulurkan tangan.
Aku membalas dengan dua tangan, sedikit membungkuk. Menghormat. Kusebut saja pak haji. Pakaianya putih. Sarung putih. Peci putih. Khas pak haji.
“saya naryo pak haji. Orang baru di sini”
“ooo.. tinggal dimana?” pak haji bertanya.
“saya tinggal di blok sebelah pak haji” ragu-ragu. Tak hapal nama bloknya.
“saya tinggal di ujung sana.. “
“Blok AC, sebelum adzan saya sudah harus berangkat..”
“Biar tdak ketinggalan jamaah pertama” pak haji bersemangat.
“kata ustadz imron, jamaah pertama itu pahalanya paling besar”
“tidak boleh dilupakan”
Meski sudah tua. Ternyata masih kuat. Jalannya lincah seperti menjangan. Sedikit terbungkuk. Termakan usia. Otot di sekitar wajah  terlihat kuat. Masih terlihat gurat masa muda. Giginya –hampir- sempurna ompong. Tertinggal satu gigi seri. Menggemaskan. Pengin ikut nyabut.
Kalau aku menaksir. Usianya pasti diatas 60-an. Atau lebih tua. Seumuran simbahku.
“Umur berapa sekarang mas naryo?”
Aku tersenyum, malu.
“Dua lapan pak haji”
Aih.. ternyata aku sudah tua. Hampir masuk zona 3G. –baca tri ji- tiga puluh tahun.
“sudah berkeluarga?”
Aku menggeleng. Tersenyum lagi.
“Belum pak haji…”
Wajahku mungkin sudah bak kepiting rebus. Menahan malu. Tidak enak ditanya begitu.
“sampean kalah sama saya”
“umurku sekarang 75 tahun”
“kalo dihitung-hitung, hamper tiga kalinya situ”
Pak haji terlihat bangga. Jalannya makin cepat. Yang diajak bicara hanya nyengir.
Tak berasa, sudah hamper sampai ke tempat tujuan. Masjid sudah ramai. Cukup besar untuk ukuran komplek perumahan. Berwarna biru. Warna kesukaanku. Iqomat mulai dikumandangkan. Tanda sholat segera dimulai. Kami segera masuk. Menunaikan kewajiban.
Aku memilih  shaf bagian pinggir. Di baris ke dua, tidak jauh dari pak haji. Beliau shalat di shof pertama. Dituakan. Anak-anak masih berisik. Menjawil sana-sini. Saling menginjak kaki. Bercanda tak henti-henti. Bertambah ribut saat shalat akan dimulai. Beberapa orang dewasa mencoba menenangkan. Ada yang membentak galak. Tidak juga efektif menenangkan. Anak-anak baru tenang setelah sujud yang pertama. Selalu begitu. Namanya anak-anak memang begitu. Paling tidak  sudah kenal masjid sejak sekarang.
Imam mengucap salam. Tanda sholat telah selesai. Diikuti seluruh jamaah. Diikuti riuh anak-anak.  Tidak kuat menahan canda. Cekikikan sepanjang shalat. Saling menimpuk. Ada yang melompat. Lari menghindar. Menuju lapangan depan masjid. Melanjutkan pertengkaran di saat shalat. Berisik sekali.
Aku memilih duduk-duduk seusai shalat. Pura-pura wirid, padahal melihat-lihat. Siapa tahu ada perpus. You know lah. Aku ini kan bookaholic. Siapa tahu punya kenalan. Sukur-sukur hareeem. Hust..!!  ngalamun saja.
Pak haji masih berdiri takzim. Menyelesaikan rokaat terakhir shalat rowatib.  Usai sholat, beliau mengambil bungkusan yang  dipojokan dekat lemari buku. Kemudian berkumpul dengan teman-teman seusianya. Berbaju putih, celana putih, topi putih khas pak haji. Masing-masing membuka bungkusan, berisi minuman dan makanan kecil. Hari ini hari kemis. Hari berpuasa sunnah.
Mereka kelihatan asik mengobrol. Sembari menikmati makanan kecil dari bungkusan. Saling menawarkan bekal. Saling meledek. Sebentar kemudian tertawa. Seperti ada yang lucu. Yang ditertawakan merengut. Namun tetap  kompak.
Aku menatap penuh heran. Mereka kelihatan sangat akur. Tentu saja, kalau diberi umur panjang.  Aku juga akan seperti mereka. Berbaju putih, bertopi putih, berambut putih. Semua serba putih. Bukankah saat mati nanti semua yang kita kenakan akan berwarna putih. Dari putih air ketuban. Menjadi putih kain mori.
Aku sengaja pulang. “Mbarengi” pak haji. Kami jalan beriringan. Sesekali aku harus mengimbangi langkah pak haji. Biar sudah uzur. Langkah kakinya cepat sekali.
“saya ini sudah tua mas..” pak haji memulai pembicaraan.
Aku masih tersengal. Demi pak haji, aku terpaksa berjalan lebih cepat. Agar tidak ketinggalan.
“saya sudah bau tanah, sebentar lagi mati”
“bonus hidup saya sudah kebanyakan mas..”
“Nabi saja umurnya Cuma sampai 63 tahun, masa saya yang sudah 75 tahun belum mati juga”
Pak haji terkekeh. Menggeleng-gelengkan kepala. Tak percaya. Aku bengong. Menelan lidah. Heran. Tak mengerti apa yang pak haji pikirkan.
“Selagi ada waktu, saya harus banyak beribadah”
“selagi kaki ini bisa diajak berjalan, harus diajak ibadah”
“biar kaki ini kebagian pahala”
“semakin jauh, semakin banyak pahalanya”
Suranya  parau. Terbatuk sebentar. Tersedak sisa makanan tadi mungkin. Aku hanya mengangguk. Salud dengan kesungguhan pak haji. Malu dengan kemudaanku. Masih malas pergi ke masjid. Sering enggan mengaji. Merasa sudah pinter. Astaghfirulloh.
“Tadi saya agak terlambat, jadinya telat sampe masjid”
“tadi pas kebelet, ndak bisa ditahan”
“maklum, sudah tua, krannya mulai soak” terkekeh lagi.
“Akhirnya minumannya tidak habis” pak haji mengacungkan termos mini. Khas pendaki gunung.
“Biasanya buka puasa bersama di masjid, biar lebih semangat puasanya”
 “Ngaji pun ndak boleh kendor, biar belum bisa lancar baca al Qur’an, saya harus tetap berusaha”
“Bukanya, mencari ilmu itu dari buaian hingga liang lahat?”
“jadi selama saya masih hidup, saya harus terus belajar, terus ngaji !!”
“sampai mati !!!”
Kali ini pak haji ber semangat bersemangat. Semangat empat lima. Sisa semangatnya jaman peperangan  bangun kembali. Diikuti batuk-batuk. Membungkuk  menahan sesak di dada.  Terkekeh kemudian.
Aku tetep bengong. Tidak paham.
Kompleks makin gelap. Hanya satu dua lampu depan rumah yang menyala. Sisanya tetap gelap. Mungkin karena penghuni rumah belum pulang. Sebagian mungkin karena kosong. Sebagian karena masih tanah kosong. Tak ada bangunan berdiri. Suara jangkrik terdengar ramai. Angin malam terasa dingin di badan. Membawa aroma khas rumput ilalang sisa di potong.
Dan kami sampai di perempatan. Waktunya berpisah. Sementara saya harus berbelok, pak haji masih harus lurus ke depan. Dua blok lagi.
“Pak haji.. saya pamit dulu ya..“
“Rumah saya sebelah sana”
aku menunjuk arah. Tangan kananku kubuka sempurna. Menghormat.
“Oh ya.. silakan-silakan”
“saya masih lurus kedepan”
Pak haji menunjuk arah. Lurus ke depan.
Aku mengatupkan dua tanganku. Menyalami pak haji.
“Assalamu’alaikum, mari pak haji”
”alaikumussalam, silakan mas.. sampai ketemu lagi..”
“ketemu lagi di masjid ya..”
Aku mengangguk mantap. Pak haji berlalu. Meninggalkanku. Aku masih berdiri di perempatan. Demi melihat pak haji.  Berjalan cekatan. Lincah seperti menjangan. Makin tak jelas. Baju kokoh putih pak haji masih kelihatan. Sebentar kemudian, kelihatan berkibar oleh semilir angin malam.