Selasa, 31 Januari 2012

Pagi Putih, Di Kamar Putih

Kring.. kring.. kring…
Telepon berbunyi.  Mang Ujo  terbangun. Melirik jam tangan. Masih pukul dua malam. Enggan ia beranjak dari tempat tidur. Kepalanya serasa berputar. Langkahnya terhuyung. Berpegangan dinding putih. Mencari keseimbangan. Belum genap dua jam mang ujo memejamkan mata. Ngatuk bercampur lelah.  Mang Ujo  meraih gagang telepon.
“Hallo…??” suara mang Ujo serak. Tenggorokannya  sakit.
“Mang, ini Rini mang..” suara di ujung sana terdengar panik.
“Mang.. Bapak mang…” semakin panik.
“Iya.. Bapak kenapa?”   seketika kantuk mang Ujo Ikut hilang. Sedikit panik.
“Bapak masuk ruang ICU  mang..” suara perawat pribadi itu semakin cepat.
“Buruan ke rumah sakit…”
Mang Ujo tak menjawab. Segera ditutup telepon. Menyambar kunci mobil di gantungan. Kemudian meluncur ke rumah sakit. Sudah sebulan ini, pak burhan di rawat di rumah sakit. Komplikasi.
Mang Ujo adalah sopir, sekaligus asisten pribadi Pak Burhan. Kemanapun pak Burhan pergi, Mang Ujo selalu di bawa. Sudah lebih dari dua puluh tahun mang ujo bekerja. Menjaga tradisi keluarga. Mengabdi kepada keluarga pak Burhan. Mengabdi sampai tua. Sebagai orang terdekat, Mang Ujo hafal betul majikannya. Dan selalu bersiap jika hari-hari seperti ini datang. Hari-hari ketika pak Burhan sendiri. Menjemput datangnya janji-janji.   

0000000000

Di tempat lain. Di rumah kontrakan petak tiga. Jauh dari rumah pak burhan.
“Mas..”
“Bangun mas…” suara Dinda tersedak. Memegangi perut. Menahan sakit.
“kenapa” Indra masih setengah tertidur
“Perutku melilit, sakit banget mas.. ”
“Mungkin sudah waktunya..”
Indra tersentak dari tidurnya.  Melirik jam tangan. Masih pukul dua malam. ia beranjak dari tempat tidur. Kepalanya serasa berputar. Langkahnya terhuyung. Berpegangan dinding putih. Mencari keseimbangan. Belum genap dua jam Indra memejamkan mata.  Sudah semingguan ini ia tidak  tidur nyenyak. Ini sudah ketiga kalinya, Dinda mengeluh sakit. Melilit. Malam-malam seperti ini. Kali  ini lain. Usia kandungan dinda genap Sembilan bulan sepuluh hari. Waktunya melahirkan.
Dan hari ini, genap dua tahun. Indra meninggalkan rumah besar itu. Membawa cita-cita dan idealismenya pergi. Menjemput janjinya sendiri. Janji kehidupan yang lebih baik. Meninggalkan semua kenyamanan yang telah sejak lama ia nikmati.
Segera ia menggedor kontrakan bang Ucok. Tukang bajai sebelah kontrakan. Meminta segera bangun.  Sengaja ia meminta bang Ucok memarkir bajaj butut itu dekat kontrakan. Bersiap jika hari-hari seperti ini datang. Hari-hari ketika Dinda siap melahirkan.
“Bang.. Bang Ucok, bangun bang..”
“Bang.. buruan bang..”
“Ayo bang lekas.. sepertinya Dinda benar-benar akan melahirkan..” Indra  panik.
Bang Ucok bersungut-sungut. Menguap lebar. Kaget dibangunkan tiba-tiba. Bang Ucok adalah tetangga kontrakan yang sangat baik. Ringan tangan untuk semua kebaikan.  Ia tinggal bersama istri dan seorang anak. Ia sopir bajaj yang cekatan. Jujur. Dan taat beragama. Ia memilih meninggalkan penumpang demi shalat lima waktu. Ia sering menasehati Indra dan Dinda. Agar menjadi keluarga yang sakinah. Menjaga keharmonisan keluarga sampai tua.
Sementara bang Ucok memanasi bajaj. Indra memapah dinda yang kesakitan. Disambarnya apa saja dibalai. Meski sudah disiapkan seminggguan. Tetap saja keliru. Sandal keliru sepatu, koper keliru ransel. Bukankah memang sering begitu. Cerita bang Ucok saat menjelang kelahiran anaknya terulang.  Ketukar sana sini. Tak berapa lama, bajai  berangkat. Berisik suara bajaj memecah keheningan malam. Bang Ucok menyetir bak kesetanan.  Membawa Dinda yang kesakitan. Membawa Indra yang panik tidak karuan.

0000000000

Bajaj bang Ucok masuk ke portal rumah sakit. Tepat di belakang sebuah mobil bagus, keluaran terbaru sebuah merk mobil ternama buatan negeri matahari. Bajaj bang ucok amat kontras dengan  mobil di depan. Ya suara. ya penampilan.
Persamaanya, kedua penumpang kendaraan itu terburu-buru. Tak sabar masuk ke rumah sakit. Hanya tempat ini yang terdekat. Dinda harus segera mendapat pertolongan. Segera melahirkan. Urusan bayaran, peduli nanti.
Perawat segera memindahkan dinda dari bajaj ke atas lori. Membawanya menuju ruang persalinan. Dinda Nampak semakin kesakitan. Mengerang. Kelojotan kesana kemari. Baju Dinda basah. Basah oleh keringat, basah oleh air ketuban yang sudah pecah.
Indra  duduk di koridor. Lemas. Berusaha menahan diri agar tidak jatuh pingsan. Bang Ucok  duduk disebelah Indra.  Memijat tangan indra, agar tetap terjaga. Mulutnya komat kamit mengucapkan doa. Mendoakan Indra, Mendoakan dinda. Percuma bicara dengan indra. Indra sedang tidak tenang. Bukankah dahulu, saat istrinya melahirkan, ia lebih parah. Pingsan beberapa kali.

00000000

Rumah sakit Nampak sepi. Suara binatang malam bersahutan. Lolongan anjing terdengar  di kejauhan. Pelan,  memilukan. Bangunan berlantai lima itu memang megah. Seluruh ruangan di cat putih. Menandakan kebersihan. Sesekali para petugas medis melintas di koridor. Lelah, namun tetap cekatan. Tetap saja ini  rumah sakit, semegah apapun tetap menyeramkan.
Seseorang tampak berjalan terburu-buru. Langkah kakinya tidak teratur. Sedikit limbung. Celingukan. Seperti mencari-cari sesuatu. Ia sekarang sudah di depan Indra. Seorang lelaki tua.
“Maaf den.. Numpang Tanya..?”
Indra malas menjawab. Hatinya sedang galau. Perasaanya sedang tidak karuan. Mata Indra  nampak berbeda. Memperhatikan dengan seksama. Menyelidik. Seperti mengenalnya.
“Ya..?”
“Kalau ruang ICU di mana ya?” Lelaki  itu kembali bertanya.
Indra tidak menjawab. Tangan kanannya hanya menunjuk ke papan di ujung koridor.
ICU
RADIOLOGI
RUANG MAWAR
ADMINISTRASI
“Yang ke arah kanan ya den?”
Indra  Mengangguk. Mengiyakan. Tak menjawab. Sesuatu sedang perputar-putar di kepalanya.
Lelaki itu beranjak pergi. Dua langkah berjalan. Kemudian terhenti. Membalikkan badan. Dua pasang mata itu bertemu. Berpandangan lama.
“Mang U.. jo..?” Indra terbata.
“Den Indra?” 
“Den Indra kemana saja?”
“Mamang sudah nyari Den Indra kesana-kemari tidak ketemu.”
“Malah ketemu di sini” Mang Ujo berkaca-kaca.
“Aku baik-baik saja mang..”
“Sehat seperti mamang lihat”
“yang sakit siapa mang?” Indra bertanya pelan. Khawatir.
“Kenapa mamang ada di sini?”
“Bapak sakit den?”
“Sekarang di ICU”
Wajah Indra berubah. Pucat berubah merah. Ada kebencian. Ada kemarahan yang tertahan. Mang Ujo hanya menatap Indra prihatin. Bang Ucok masih di samping Indra. Sempat tertidur sebentar. Bengong. Tidak mengerti apa yang sedang terjadi.

00000000

“Memang apa yang selama ini ada di perutmu?”
“Darah yang mengalir di tubuhmu”
“Kesenangan yang kamu rasakan selama ini? Hah?”
“Motor, Hp, laptop, dan semua buku-buku tebalmu?”
“Memang uang kuliahmu yang mahal  di dapat dari mana?”
“Ya…”
“Semua hasil dari korupsi bapakmu”
“Bertahun-tahun bapak jadi pegawai”
“Mustahil bisa mendapatkan semua ini jika tidak korupsi”
Pak Burhan diam sebentar, rahangnya geretak. Menahan amarah. Yang diajak bicara hanya diam. Diam mematung. Menegak marah. Tak mau kalah.
“kalau kau tidak suka, kau boleh pergi”
“Pergi dari rumah ini…!!”
“Pergi sekarang juga…!!”
“kamu bukan anakku lagi…”  
Kemarahan pak Burhan mencapai puncak. Buntut keributan siang tadi.  Indra bersama teman sekampus mendatangi kantor Dekan. Meminta kejelasan alokasi penggunaan anggaran pendidikan di kampus indra. Dan yang di demo adalah pak Burhan, dekan sekaligus ayah Indra. Demo berakhir rusuh. Dua teman indra terluka di kepala. Yang lain terancam DO. Termasuk Indra, sebagai  koordinator.
“Baik…” Mata Indra berkaca-kaca.
“Indra akan pergi dari rumah ini..”
“Akan Indra buktikan…”
“Kalau Indra bisa mandiri..”
“Tidak makan hasil Korupsi…”
“Indra tak akan pulang.. sebelum Indra berhasil.”  Mantap indra bersumpah. Suaranya parau. Menahan tangis.
Sungguh, engkau akan menangis saat teramat sedih. Engkau akan menangis saat teramat bahagia. Engkau akan menangis saat terlalu marah. Saat tak mampu berbuat apa-apa.
Malam itu Indra memilih pergi. Dengan tas ransel di punggung dan kaos oblong menempel di badan.  Tak bisa dicegah. Pak Burhan kalap. Ia membanting vas bunga hingga hancur berkeping-keping. Menghancurkan kaca lemari kaca. Menyerakkan semua piagam dan piala penghargaan di dalamnya. Mang Ujo hanya  diam ujung ruangan. Menggigil ketakutan.  Menyaksikan pemandangan menyeramkan.

00000000

Seorang perempuan berbaju putih berjalan cepat. Setengah berlari. Terengah. Rupanya Rini. Perawat pribadi Pak Burhan. Sejak ditinggal istrinya pergi ia menolak menikah lagi. Membesarkan Indra seorang diri. Sejak Indra pergi dari rumah, ia sendiri.  Kemudian  mulai sakit-sakitan. Ia memilih menyewa perawat pribadi. Dan sebulan ini sakit pak Burhan bertambah parah. Ia terjatuh saat hendak berangkat ke tempat kerja.
Indra tersadar dari lamunan. Kedua matanya sembab.  Indra tak berani masuk ke ruang bersalin.  Tak tega melihat dinda kesakitan. Memilih menunggu di luar.
Belum juga jelas kabar dinda, Ada kabar lain. Ayahnya sekarang di rumah sakit. Di ICU.
Perempuan itu langsung mendekati mang Ujo. Menarik-narik tangan tuanya.
“Mang..!!”
“Tolong cepat mang…”
“Mamang segera ke ICU.. Bapak Kejang-kejang”
Yang diajak bicara terkejut. Wajahnya memucat.
“Rini… tetap di ruangan bapak!!” cekatan mang Ujo memerintah.
“Mamang akan memanggil dokter..!!” Mengabaikan Indra dan bang Ucok  mematung di sebelahnya.
Rini langsung berbalik. Berjalan cepat. Setengah berlari. Kemudian terhuyung kemudian.  Kaki kanannya menabrak tong sampah di ujung lorong koridor. Mengaduh menahan sakit.
Lama menimbang. Indra memutuskan mengikuti Rini. Sampai di depan Ruang ICU, Indra menolak masuk. Berdiri di depan ruangan. Gelisah. Mondar mandir. Memikirkan Dinda di ruang bersalin. Memikirkan pak Burhan di ruang ICU.

00000000

Beberapa saat kemudian. Mang ujo datang, beriringan bersama rombongan dokter dan perawat. Menggunakan setelan putih-putih. Berjalan cepat. Kemudian masuk ke ruangan. Mang Ujo menatap Indra di depan pintu. Urung masuk ke ruangan. Memegang pundak Indra. Mengajak duduk di bangku koridor. Indra tak bergeming.
“Sejak den Indra meninggalkan rumah”
“Pak Burhan selalu murung”
“Setiap hari hanya merenung”
“Sering berteriak-teriak sendiri…”
“Lebih sering minum-minum..”
“Pernah tidur di ruang depan..”
“Mamang sedih.. tidak tega melihatnya.. “
Suara mang Ujo berhenti. Matanya mengabut. Suaranya tercekat. Tak kuat melanjutkan.
Indra terdiam. Menggeleng. Rasa sakitnya belum hilang. Amarahnya belum reda.
“Den Indra… Mamang sudah tidak punya siapa-siapa lagi di dunia ini”
“Anak dan istri mamang sudah lama meninggal.”
“Meninggal karena kesalahan mamang sendiri, kecelakaan saat mamang menyetir sembarangan.”
“Mamang sangat menyesal”
Berhenti lagi. Mang Ujo mengambil sapu tangan di saku. Mengusap matanya yang basah.
“Hanya den Indra dan pak Burhan keluarga mamang sekarang”
“Kalau pak burhan dan den indra pergi, mamang tidak punya siapa-siapa lagi”
Berhenti lagi.
  “Sungguh, Mamang tidak mengharap balas budi den Indra.”
“Biarlah keikhlasan mamang selama ini rusak”
“Tolong den,  Mamang mohon !!”
“Demi semua yang sudah mamang lakukan untuk keluarga pak Burhan, temuilah pak burhan untuk terakhir kalinya.” Mang Ujo tergugu. Gemetar memeluk lutut Indra. Indra tetap mematung  tak  bergerak.
Bang Ucok berjalan tergopoh. Nafasnya senen kemis. Diikuti seorang perawat ruang bersalin. Menunjuk-nunjuk kea rah Indra. Pandangan Indra langsung mengarah ke bang Ucok.  Matanya nanar. “Ada apa lagi ini?”
“Apa betul anda Bapak Indra, Suami Ibu Dinda?” perawat langsung bertanya.
“Betul Suster.. Kenapa istri saya” sudah tak terbayang seperti apa wajah indra.
“Istri bapak kesulitan melahirkan. Bayinya terlalu besar. Kata dokter harus segera di operasi.” Tegas, cepat, tapi menusuk dada.
Indra langsung lemas. Terjatuh di tempat duduk.
“Suster.. lakukan yang terbaik untuk istri saya.”
“Saya ingin istri dan anak saya selamat.”
Suster hanya mengangguk. Kemudian meninggalkan meraka. Berjalan cepat. Dinda harus segera di Operasi. Kondisinya kritis.
Indra menatap wajah tua mang Ujo. Terlihat amat putus asa. Lelah. Kenapa juga semuanya datang dengan sangat tiba-tiba.
“Mang.. ayo kita tengok bapak.”
Dibalas anggukan mang Ujo.
Saat membuka pintu. Ada dokter yang ada di sana bersiap keluar juga. Memandang tajam Indra dan mang Ujo. Mengangguk pelan.  Sudah saatnya.
Ruangan ICU ini sempurna berwarna putih. Penuh dengan alat-alat canggih. Pak burhan  tergolek lemah di tempat tidur. Penuh belalai  perlatan pembantu. Terlihat lebih segar.  Secara ajaib, pak Burhan kembali sadar. Namun tanda-tanda kehidupannya menurun drastis. 
Dua orang yang terpisah lama itu akhirnya bertemu. Ayah dan anak. Demi melihat Indra di dekatnya, pak Burhan melirik ke arah Rini. Segera Rini memperbaiki  posisi pak Burhan. Dua sungai kecil meleleh di pelupuk mata. Ingginnya memeluk Indra. Namun bergerakpun tak bisa. Hanya mampu menatapi jagoan kecilnya.
Indra segera memeluk pak Burhan. Terbenam di baju putih penuh selang. Menangis sesenggukan.
“Ayah.. maafkan Indra yah..”
“Indra sungguh tak berbakti, Indra sudah durhaka kepada ayah..”
Pak Burhan tak juga bergerak. Tangan kirinya sekuat tenaga ia gerakan. Tepat jatuh di atas kepala Indra. Air matanya makin deras. Tersungging senyum. Diikuti tarikan nafas panjang. Kemudian terlepas.  Meninggalkan Indra yang makin keras menangis. Meninggalkan man Ujo yang terpengkur di pojok ruangan. Meninggalkan kamar putih penuh peralatan.
Di ruangan lain. Di dekat koridor panjang. Tangis bayi memecah keheningan. Operasi berjalan baik. Bayi laki-laki Indra lahir. Sempurna bentuk rupa. Suster dan dokter bernafas lega. Dinda belum siuman. Wajahnya terlihat lega. Kelahiran anaknya sempurna.
Rumah sakit masih sepi. Langit timur nampak memerah. Suara jangkrik mulai hilang, digantikan kokok ayam di kejauhan. Sayup terdengar adzan subuh. Mengantar kepergian pak Burhan, Menyambut kehadiran bayi Indra.

  


Minggu, 29 Januari 2012

"Kalung Emas Tiga Gram" (Ayang: Bag 2)

Sepagi ini, Jakarta sudah mulai panas. Udara terasa seperti mendidih. Seperti biasa, Jalanan Pulogadung-Bekasi seperti lumpuh. Tak maju tak mundur. Stag.  Pak polisi berompi hijau phosphor bergaris silang putih, tampak putus asa. Lelah mengatur lalu lintas. Lelah dengan pekerjaan. Lelah dengan kesemrawudan. Keringat di pelipisnya mengucur menganak sungai. Baju seragamnya mulai basah. Semakin coklat. Semakin berwarna gelap. 
Asap knalpot mengalir di sela-sela badan kendaraan. Membumbung tinggi ke udara. Kemudian tertahan di basah udara pagi. Membentuk awan rendah. Lengkap menutupi udara pagi yang mestinya segar menyehatkan. Berganti asap pekat nan menyesakkan. 
Bunyi Klakson kendaraan terdengar bersahutan. Balas membalas. Suara  kendaraan menderum naik turun. Kencang pelan. Menjaga mesin agar tidak mati.  Diselingi teriakan sopir angkot yang tak sabar menunggu. Rekan sopir yang lain tampak tenang menghalangi jalan kendaraan. Malang melintang. Santai dengan puntung rokok kretek yang tersisa separo. Masa bodoh. Bukankah setiap hari juga begini keadaanya. Tak lengkap kalau tidak macet.
Pun angkot yang saya tumpangi. Penuh sesak. Aroma keringat bercampur asap knalpot dan asap rokok. Bersenyawa menjadi satu. Tak terbayang busuk aromanya. Dadandan mba-mba di depanku kelihatan luntur. Baju setelan blazer hitam yang dikenakan mulai kucel. Sesak menahan napas dalam angkot berjubelan. Nampak putus asa. Wajah pucatnya tak bisa berdusta. Seputus asa penumpang lain.
Orang paling hebat di kendaraan ini adalah si sopir itu sendiri. Tangan kanan disandarkan ke pintu depan, yang kacanya entah sudah hilang kemana. Mungkin pecah saat serempetan. Meletakkan sikunya, sembari menikmati nikmat kretek yang tinggal separo. Menghembuskan asap putih memuakkan. Menyesaki kami yang berebut udara segar sedari tadi. Suara music “dangdutan” diputar keras,  dengan syair seronok. Diselingi anggukan sopir. Tampak menikmati. Menggenapi penderitaan kami. Setiap pagi.
Seorang ibu di pojokan kanan tampak sangat gelisah. Di pangkuan si ibu. –entah cucu entah bungsunya- Seorang gadis kecil nampak lebih gelisah. Umurnya belumlah 7 tahun. Sebentar –sebentar mengelus anak rambutnya yang terus terurai.  Basah oleh keringat. Menggunakan baju terusan merah kas koko-cici. Bukankah ini tahun baru cina. Rambutnya dikepang dua. Diselipi jepitan bunga warna merah. Dicocokan dengan baju dan sepatunya yang berwarna merah.
Bocah kecil berbaju merah, berkepang dua itu, -sempurna sudah- mengingatkanku pada ayangku. Membawaku kembali pada ingatan sore itu. Sore di depan rumah. Di atas “lincak”, saat berdua dengannya. Kebiasaan kami saat aku pulang.   
Dengan ayangku.
“Mamas.. aku mau sekolah di al khikmah.” Bungsuku bicara
“Biar pinter, seperti mas Aan”
“Biar pinter kaya mba kika”
Mas Aan dan Mba kika, mereka sepupuku.  Anak-anak bulikku dari ibu. Setahunan ini mereka sekolah di sana. Di TKIT Alkhikmah. Sekolah terpadu yang mulai digandrungi. Bukankah sekarang sekolah Islam terpadu sedang “In”. Lagi naik daun. Mulai familiar dikalangan ibu-ibu muda. Sebagian bimbang menyekolahkan kesayangan mereka. Dan sekolah Islam terpadu pun menjadi pilihan utama.
Ah.. bukankah bungsuku itu perempuan satu-satunya setelah ibuku. Paling cantik diantara kami bersepuluh. Ia lahir saat kuliahku genap semester enam. Saat perlahan takdir ini semakin terlihat terang benderang. Saat angan ini segera menjadi kenyataan. Sungguh tak terasa. Tahun ini ia akan genap enam tahun. Waktunya  sekolah. Seperti anak kebanyakan.
 “Oh ya?” Kujawab serius. Ingin tahu.
Dijawab pertanyaanku dengan anggukan. Anggukan  mantap. Penuh keyakinan.
Aku memutar otak. Bagaimana membiyayainya nanti. Uang pendaftaran, SPP, seragam. Masih sulit aku bayangkan. Gajiku sungguh sangat pas-pasan. Aku bahkan belum genap setahun bekerja. Aku masih anak bawang di kantor. Anak kemarin sore. Belum layak dihargai banyak.
Ayangku memang sensitive. Tak perlu banyak berbicara. Seakan dia sudah tahu jawabanku. Seolah dia paham benar yang sedang aku pikirkan.
Ayangku menatap tajam. Mengucapkan sesuatu. Sesuatu yang sungguh tak terduga.
“Mamas..”
“Kalo mamas tidak punya duit..”
“kalung Ajeng dijual saja..”
“Buat ndaftar sekolah”
“Ndak papa mas…”
“Nanti kalo mamas sudah punya duit, janji ya diganti?”
Aku hanya bengong. Diam melongo. Mendengarkan kata-kata ayangku barusan.
Bagaimana mungkin Ayangku berkata seperti itu. Bagaimana mungkin? Bukankah umurnya belum genap enam tahun. Kok bisa?
Aku tetap tidak percaya dengan apa yang diucapkan barusan.
Aku memang sering terheran dengan ayangku. Entah karena dia perempuan. Atau aku belum paham dengan para perempuan. Aku memang lebih terbiasa dengan adik laki-laki. Ceroboh. Terus terang. Bengal. “Pecicilan” tentunya. Tidak perlu banyak perlakuan khusus. Ayang memang lain sendiri. Lain dalam banyak hal. Istimewa. –tentu tanpa mengurangi kenyataan, bahwa ayang memang anak kesayangan di keluarga, perempuan stu-satunya diantara 10 bersaudara, anak terakhir pula-.
“Bagaimana mamas?”
“Boleh ya?” menelisik, menunggu jawabanku.
Aku masih belum menjawab. Bukankah itu kalung kesayanganmu yang. Itu hadiah dari simbokmu 4 tahun yang lalu. Saat engkau lancar berjalan. Saat kata-kata sudah jelas keluar dari bibirmu.
Memang itu hanya kalung emas tiga gram. Simbok menunggu lama agar bisa tergatung di sana. Menunggu giliran arisan ibu-ibu. Tiga tahun sudah. Simbok dapat giliran terakhir. Semua uang arisan dihadiahkan untukmu. Untuk kalung tiga gram yang melingkar di lehermu. Hanya rantai kalung tipis. Menyesuaikan berat emas. Lengkunganya kecil, agar  melingkar sempurna di leher kecilmu. Di tengahnya ada liontin bulat. Inginnya bisa berbentuk huruf “A”. “Ajeng”. Tapi uang simbok hanya mampu membeli kalung kecil dengan liontin bulat sebagai hiasan. Mungkin lain kali. Kalau uangnya cukup.
“Iya…”
“Boleh..”
Ayangku terlihat bahagaia. Mata bulatnya berbinar. Senyumnya mengembang. 
“Tapi janji ya..”
“Harus belajar yang rajin..”
Dijawab pertanyaanku dengan anggukan.
 JANJI.
“Memangnya ayang mau jadi apa kalau besar nanti?”
“Mau jadi dokter mas”
“Berarti harus belajar yang rajin banget ya?”
“Iya mas..”
“Janji ya mas.. kalungku diganti”
“Ganti yang baru.. “
“ Yang lebih bagus, kaya punya mba Uni, sama Mba Putri”
Aku hanya mengangguk. Mengiyakan saja. Tanpa tahu entah kapan bisa membelinya.
……………………………………….
Aku terjaga. Kebali dikeramaian Jakarta. Klakson super kencang menyalak dari sebuah truk tronton di belakang angkot. Super besar. Super memekakkan telinga. Sukses mengagetkan kami semua. Membangunkan kami dari lamunan. Dan kemacetan sukses  membuat kami terbang ke dunia lain. Terbang ke dunia angan-angan. Terbang ke kenangan masa lalu. Kemacetan pula yang sukses menyadarkan kami semua. Kami tidak kemana-mana. Tak beranjak dari kacau jalanan. Tak beringsut dari keras kehidupan Jakarta.
Gadis kecil berkepang dua, berbaju merah membuka mata. Masih dipangkuan. Celingukan menatap inangnya.  Kaget. Terbangun tiba-tiba. Lelapnya hilang  karena suara klakson barusan. Ditatap wanita setengah baya yang memangkunya. Wanita itu hanya menggeleng. “Tidak ada apa-apa, semua baik-baik saja”. Diraihnya sapu tangan di tas kecil. Diusap dahi gadis kecilnya yang terus basah oleh keringat. Kemudian mengangguk pelan. “Kita segera sampai nak, bersabarlah sebentar”.
 Aku ikut mengangguk. Menatap mata bulat gadis berkepang dua, berbaju merah. Meyakinkan ayangku.
“Yang..  semua baik-baik saja.”
“Tenanglah.. kalung emas tiga gram itu akan terbeli”
“Belajarlah sebaik-baiknya”
“Sekolah setinggi-tingginya”
“Mamas akan berusaha”
“Mamas akan membelikan untukmu..”
“Kalung emas yang pernah mamas janjikan”
“Untuk kembali  menemanimu”
”Mmenjemput masa depanmu”
“Masa depan yang sudah engkau bayar dengan mahal”
“Dengan kalung emas tiga gram yang melingkar dilehermu”

   

Kamis, 19 Januari 2012

Kisah Mamak : Bag ke-2

Malam mulai larut. Kukayuh si biru pada gigi 3-8. Gigi paling tinggi. Meninggalkan gedung 17 lantai, setinggi hampir 70 meter. Dua  tahun terakhir gedung mewah itu menjadi tempat kerjaku. Tepat pukul Sembilan malam.  Aku masih sempat melirik jam diding, saat menuntun si biru hendak pulang.
Si biru meliuk kesana-sini. Lincah melewati ruang yang tidak mungkin dilewati kendaraan lain. Sudah setahun terakhir si Biru menemaniku setiap hari. Mengimbangi perubahan badanku yang  mulai tak terkendali.
Udara jakarta mulai terasa dingin, angin malam kencang menerpa kaos mereh putihku. Mulai basah oleh keringat. Samar-samar rembulan muda mengintip di langit barat Jakarta yg berpolusi. Hanya sesekali terlihat diselingi gedung-gedung tinggi sekitar slipi jaya.
Jakarta memang selalu terjaga. Sepanjang jalan, keramaian seperti tidak hendak berubah. Hilir mudik kendaraan tak ada habisnya. Menyisakan asap knlapot yang menyesakan dada. Diiringi suara klakson ekstra keras. Pelampiasan stress hari ini. Entah karena pekerjaan, entah karena kemacetaan. Wajah-wajah letih jelas terlihat dikeremangan halte slipi jaya. Lelah menantang keras Jakarta. Ah esok pagi juga akan tetap seperti ini. Terus saja terjadi.
Segera kuparkir si Biru di tempat favorit sesampai di kosan. Kuletakkan  tas sekenanya. Kemudian turun ke ruang Tengah. Menyalakan kipas angin. Menonton acara TV sembarangan. Mendinginkan badan.
 Saat hendak mengambil minuman dingin. Kulihat Didik sedang termenung. Menghabiskan kunyahan terakhir makan malamnya. Tak biasanya ia begitu. Bukankah anak mamak yang satu ini selalu ramah? Selalu ceria?
“Mas, abis makan ko ngalamun?” aku bertanya sekenanya.
Yang ditanya hanya tersenyum. Tidak menjawab.
“Pokoknya aku ndak terima Yah.. !!!” tiba-tiba terdengar jeritan dari kamar. Suara mamak.
“Aku ndak terima yah, anaku diperlakukan begitu” makin keras.
“Anakku bukan maling.. anakku bukan pencuri..!!!” Tangis mamak pecah.
“Pokoknya mamak tidak terima..”  Sesenggukan kudengar mamak menangis. Menahan marah. Menahan kesedihan. Ngilu mendengarnya.
Tetap tidak ada jawaban dari bapak. Entah sudah tertidur. Entah pura-pura tidur. Tidak ada yang perlu dijawab.
kami berdua kaget. Tentu saja, Aku yang paling kaget.
Jantungku berdetak keras. Bingung dengan apa yang barusan kukatakan. Merasa sangat bersalah.
Kutarik tangan Didik. Berjalan menjauh.
“Ada apa mas?” pelan aku bertanya ingin tau. Gemetar menahan rasa.
“Apa om barusan salah ngomong mas?” Masih gemetar. Kawatir mamak mendengar percakapan kami.
Aku sungguh tidak tahu apa yang sedang terjadi. Tak sabar mendengar penjelasan Didik. Sulung mamak.
“Ndak ada apa-apa om” Didik tetap diam. Enggan menjawab.
Aku terus mendesak. Makin penasaran.
“Biarin saja om, Mamak memang begitu” pelan didik menjawab. Seperti mengabaikan yang terjadi.
 Aku tetap tidak puas.
Tak mungkin aku bertanya kepada mamak. Beliau sedang emosi. Tak terima kesayangannya didzolimi.
Tak ridlo bujangnya difitnah.
Aku menyerah. Memilih masuk ke kamar penuh rasa gundah. Menahan rasa bersalah. Memilih tidur. Dan benar adanya. Aku tak nyenyak semalaman. Diganggu resah.
Pagi datang. Jakarta sedikit mendung. Semendung hati mamak semalaman.  
Kudekati mamak seusai sarapan. Wajahnya masih kuyu. Entah karena lelah, entah karena marah. Kedua mata mamak  bengkak. Sisa menangis semalam.
“Mak.. aku minta maaf” aku memulai pembicaraan.
“sungguh mak, saya ndak bermaksud menyinggung mamak” aku mengiba. Jelas-jelas aku bersalah. Tak perlu mencari pembelaan. Semakin cepat meminta maaf, semakin cepat urusan ini selesai.
“Mamak tidak marah sama Om” Mamak tersenyum. Lembut. Sedikit terganggu oleh lebam di mata.
“Sungguh.. mamak tidak marah denganmu om…”
“Mamak sakit hati sama pak haji sebelah” Mata mamak mendadak merah. Basah.
“Mamak tidak rela Didik dituduh mencuri HP pak Haji” Penuh emosi mamak menjawab.
“Mamak memang orang bodoh. Tidak sekolah..”
“Tapi pantang, buat mamak dan anak-anak berbuat hina seperti itu!!” gemetar suara mamak. Ada yang tertahan di sana.
“Semoga saja haji peot itu mendapatkan balasan setimpal !!” mamak mulai menyumpah.
“sudahlah mak…” pelan kau menyela. Tak tahan dengan perkataan mamak. Hari juga mulai siang. Harus segera berangkat.
“Cukup pak haji saja yang berbuat tidak terpuji, mamak tidak perlu menyumpah begitu.. Ndak baik, nanti pahalanya ilang mak..”  Aku mencoba menenangkan. Meski jelas, tidak akan berhasil.
 Mamak hanya mengangguk. Tapi kesedihannya masih belum hilang.
Aku pun berpamitan. Kugandeng si biru. Berangkat kerja.
Pelan si biru berjalan. Melewati sela-sela kemacetan Jakarta. Masih terlihat wajah-wajah lelah di halte pemberhentian. Entah sisa semalam. Entah sisa perjalanan. Entah juga bakal pekerjaan. Lelah yang akan terus berjalan. Menumpuk. Bertambah, seperti kendaraan di kota Jakarta.
Aku menatap jauh. Lurus seperti jalan protocol yang sedang kulewati. Merenungi kejadian semalaman.
Mengagumi kecintaan mamak kepada anaknya. Seperti semua ibu di seluruh dunia.
"Dan  jika  kau tahu sedikit saja apa yg telah seorang ibu lakukan untukmu, maka yang engkau tahu itu, sejatinya bahkan belum sepersepuluh dari pengorbanan, rasa cinta serta rasa sayangnya kepada kepadamu "







Rabu, 18 Januari 2012

Mukena Untuk Simbah

"Aku –dulu- 'kecengklok' mas..... "
“Mungkin sekarang semestinya saya sudah seperti sampean ini. Sekolahnya tinggi.  Lulusan universitas. Kerja dikantoran.  Pokoknya kaya sampean ini.”

Yang dipuji mendadak gede kepalanya, merasa tinggi hati. Astaghfirullohal’Adzim.

"Tenan Mas naryo, aku kepengin koyo sampean.."

“Tapi Yo Mbuhlah…”

Percakapan kami mulai begitu saja. Badanku sungguh lelah sekali. seharian bergumam dengan pekerjaan yang betul-betul baru. Istilah-istilah baru. Serba baru, serba ndak mudengi.

Tapi demi sebuah kesempatan langka. Aku abaikan semua penatku. Aku masih bisa istirahat nanti-nanti. Bukankah selalu menarik untuk mendengarkan kisah hidup dari sumbernya langsung. dan tentu saja.. cerita ini harus aku bagi denganmu..kawan...

Sekali lagi tentang Orang biasa. Dengan mimpi-mimpi  biasa. Tapi dengan perjuangan yang tentu saja luar biasa. Indah didengarkan. Nikmat diceritakan. Menyegarkan.

Namanya Budi. Seumuran denganku. Budi sudah Piatu saat masih SMP, sepuluhan tahun yang lalu. Seperti kebanyakan anak se usianya. Sangat berat kehilangan sosok ibu. Sangat sulit untuk -sebagian besar- ayah, berperan ganda, mengasuh sekaligus menafkahi.

"Dulu aku nakal mas..."
"Tukang 'gelut'. yo mbolosan pisan"
"Yo balapan. yo udud. wis werno-werno pokoke..."

(Tukang berantem, mbolos, balapan, merokok , macem-macem pokoknya)

Kenakalan Budi tak juga berubah. Justru bertambah parah. Setahun setelah kelulusan yang dramatis, bapak meninggal. Budi menjadi yatim piatu.

"Aku mung "njagak ke" Simbahku... aku ngroso paling nyaman dengan beliau.. dari pada dengan saudara-saudara almarhum bapak atau ibuku yang lain.."


Angin berhembus sepoi-sepoi. Gang anyer tetep sepi. Dingin. Langit Tomang  cerah. Bulan belum sempurna purnama. Menemani orang-orang biasa, yang jauh dari sempurna.

"Akhire lulus STM juga aku mas..." Senyumnya selalu menyungging saat bercerita mengenang cerita lama.

Tapi tidak untuk yang satu ini. Kegetiran selalu tampak di wajahnya, bahkan saat dia menuturkannya padaku.

"Bagaimana aku ndak 'kecengklok' mas..."
"Setengah mati aku berusaha agar bisa kuliah.”
“Aku menggantungkan cita-cita pada saudara-saudara bapak ibuku”

" Saat aku sampaikan niatku. Semua menggeleng. “

Simbah putri hanya bisa diam. Termangu dipojok ruangan. Menyalahkan diri sendiri.

"Sing sabar yo le...” simbah berusaha menenangkan yg sesenggukan di pangkuan.

 "Perasaan Marah... sedih... berontak.. kesal.. campur jadi satu mas..."
"Aku mung yatim Piatu.. Aku mung iso nangis mas..."
 "Mengubur impian jadi sarjana...."

Kulihat mata budi memerah. Basah.

Kegagalan memang selalu menyakitkan. Sekaligus energi besar tak berhingga. seperti grafik tangen 45 derajat. Tak berbatas. Tak tertampung dalam ruang.

Budi berpamitan kepada simbah. Merantau ke Jakarta. Membawa janji mulia.

"Balas Dendam mas.." katanya Mantab
"kalau saya bisa kerja nanti, saya mau mengumpulkan duit. Mau sekolah lagi mas..."
"Aku harus jadi sarjana mas... , ya.. seperti sampean." Katanya meyakinkan.

Dan.. keberuntungan memang selalu menemani siapapun bersungguh-sungguh. Keberhasilan selalu menyertai orang yang bekerja keras. yang tidak segera menyerah dengan kesulitan. Yang tetap tabah bertahan dalam sesulitnya keadaan.

Budi diterima disebuah perusahaan. Lambat tapi pasti. Budi bisa mengumpulkan rupiah.
 dicukup-cukupkan agar bisa sekolah.

"Kuliah juga aku akhirnya mas..."

“Biar di swasta, yang penting bisa jadi sarjana”

Namun ujian datang...

Sejak kecil Budi punya permohonan sederhana kepada simbah. Budi ingin simbah Sholat. seumur hidup Simbah -yang saat di tanya agama selalu menjawab Islam- belum pernah sekalipun Sholat.  Beliau ndak punya Mukena. Butuh waktu sangat lama untuk membujuk simbah.
Akhirnya  simbah luluh juga menghadapi cucunya yang yatim piatu. Simbah "Ndak mentolo" dengan pemohonan -buah hati- kenang-kenangan anaknya yang mendahului "pergi".
 Akhirnya Simbah mau Sholat. Meski dengan gerakan yang amburadul, setidaknya simbah mau belajar. Pelan tapi pasti.

dan ujian itu pun datang juga...

.Dan bukankah sudah pernah kukatakan kepadamu, kawan.  Alloh selalu menyayangi hamba-hamba terpilih. Menguji makhluk terkasih-Nya dengan cobaan dan kesulitan. Agar terus bersabar, agar tak menyerah pada keadaan.

"Malam itu aku  pulang kampung. Aku ingin mengabarkan keberhasilanku kepada simbah, mas”
“aku bisa kerja, aku bisa sekolah”
“Kusisihkan gajianku untuk simbah. Kubelikan mukena untuk simbah..."
"Berharap simbah berkenan menerima hadiahku. mukena putih hasil kerja kerasku..."
"biar tambah semangat solatnya.."

Aku tidak ingin membuat-buat cerita sedih. Seperti sinetron atau film-film di TV. Tapi memang begitu adanya,  takdir tidak bisa di rubah. kehendak Tuhan tak bisa di tunda barang sebentar saja. Dan kehendak itu pun berlaku pada simbah. Budi tidak pernah bisa memberikan hadiah mukena kepada simbah. Simbah dipanggil Alloh saat budi membawa mukena putih simbah pulang.

"Waktu Ibuku meninggal.. aku ndak nangis mas.. "
"Pas bapakku meninggal.. aku juga tidak nangis..."
"tapi tidak untuk simbah... Aku menangis mas"
"aku sedih tak bisa melanjutkan di UNS.. tapi aku lebih sedih ditinggal simbahku.."
"ya nyesel... sedih.. marah.. ko aku ndak dikasih kesempatan itu... hanya mukena mas.. tapi ko yo tidak bisa"
"Aku protes karo Gusti Alloh"
"Aku butuh waktu lama... untuk berdamai dengan hatiku.... berat sekali rasanya ditinggal simbahku mas.."
"Ya..."
"tapi setidaknya simbah sudah mau Sholat.. semoga Alloh mengampui dosa-dosanya.. beliau harus masuk surga mas.. "
"Ndak ada simbah sebaik dia.."

"Sekarang aku ingin melanjutkan sekolah... meneruskan cita-citaku yang dulu pernah kukubur dalam-dalam.."
"Cita-citaku untuk menyenangkan simbah...  jadi sarjana mas.."

Tak terasa malam makin larut... laper banget.. belum buka puasa.. badan masih gatel-gatel.. lha belum mandi? 

Seperti dituturkan Budi  malam itu padaku.. 

kini Budi sudah menempuh semester akhir kuliahnya di salah satu Universitas swasta di jakarta. Sementara, karirnya bertambah baik. Buah kesabaran. Buah keberkahan.



Senin, 16 Januari 2012

Eliana

"Jangan pernah membenci mamak kau Eliana. Karena kalau kau tahu sedikit saja apa yg telah seorang ibu lakukan untukmu, maka yang engkau tahu itu, sejatinya bahkan belum sepersepuluh dari pengorbanan, rasa cinta serta rasa sayangnya kepada kalian (Tere Liye)"

Weekend ini boleh dibilang super melelahkan... bayangkan bro.. sabtu pagi aku dari cakung, langsung ke cibitung, sorenya meluncur ke cibubur, malamnya lanjut ke depok, via cimanggis, tengah malamnya aku harus sampai di Tomang. siang tadi harus meluncur ke cakung lagi, wal hasil sekarang sedang kelelahan di Tomang. kamar lama...

tapi aku tidak pernah lupa, bukankah aku pernah berjanji padamu? terlalu banyak yang kita lewatkan di perjlanan, terlalu banyak yang kita -karena lupa, atau tidak terbiasa- tidak dokumentasikan. tapi baiklah akan kuceritakan kepadamu petualanganku di Busway minggu ini...

maafkan aku kawan.. kali ini aku benar-benar tidak tahu apa yang terjadi di busway,ya tentang boneka india, aki2 atau cerewet orang mengobrol... ya, hanya goncangan busway. koridor dua memang harus segera di perbaiki. jalanannya mulai tidak layak. betapapun bawaanku berat... mbawa laptope paryanto, dvd room, hardisk, macem2 pokoke,.. ndak lupa helm petualangan... mataku tidak bisa lepas dari "ELIANA". buku ke-4 Serial anak-anak mamak. aku tidak bisa berhenti membacanya sejak pertama melihatnya di Jogja minggu lalu.

 Eliana.....  sulungnya Bapak yang pemberani,yang tak gentar melawan para penambang pasir yang merusak hutan larangan, yang tidak pernah mau kalah dengan teman2 prianya... bahwa Eliana juga bisa mengerjakan apapun yang teman2 prianya bisa. "Eliana si pemberani" begitulah bapak menyebut kesayangannya itu.

 Tere liye memang selalu bisa mempesonaku.. mulai dari Delisa, Rembulan tenggelam di wajahmu, moga bunda disayang Alloh, Bidadari-bidadari surga, Sunset untuk rosie, daun jatuh dan Serial anak-anak Mamak. Tere liye selalu punya kebijaksanaan untuk mengingatkan kita  tentang kederhanaan,kerja keras, persahabatan,pengorbanan dan keteguhan tekad untuk selalu berbuat baik..

ya... semua tentang "pemahaman yang baik atas kehidupan"....

"Maha Suci Alloh yang menciptakan Akal pikiran dan hati manusia.. agar akal membantu kita... menentukan yg salah dan benar.. agar hati menuntun kita memilih yg baik dan yg buruk... namun kasih sayang Alloh kepada hamba terkasih-Nya.. (manusia).. melampau kemarahan-Nya... hingga hanya yang terbaiklah yg selalu kita dapatkan..."

Adalah Mamak.. yang membesarkan anak-anak dengan disiplin tinggi, tegas, akhlak tidak tercela, serta tanpa kompromi. Dan adalah bapak yang selalu riang, memberikan teladan dari perbuatan, serta selalu bijak menyikapi masalah.. sehingga lahirlah anak-anak mamak yang genius, istimewa dan pemberani...

Dan tentu saja Tere liye mengingatkanku kepada simbokku... tentang insiden kecil 8 tahun lalu, yang mengubah hampir seluruh jalan hidupku. Aku ingin menceritakannya padamu, tapi tentu saja tidak di sini, tidak sekarang. aku tidak tahu kawan... apa aku yang terlalu terobsesi dengan tulisan-tulisan tere liye, atau memang aku yang akhir2 ini ingin selalu dekat dengan simbokku....

Aku berharap ..  semoga pemahaman baik atas kehidupan segera datang padaku... seperti kepada anak2 mamak, agar aku bisa bekerja lebih keras, tidak mudah menyerah, tetap bersemangat, lebih bijaksana, dan bisa melakukan  lebih banyak kebaikan untuk orang lain...

"Dan  jika  kau tahu sedikit saja apa yg telah seorang ibu lakukan untukmu, maka yang engkau tahu itu, sejatinya bahkan belum sepersepuluh dari pengorbanan, rasa cinta serta rasa sayangnya kepada kalian "

Busway terus melaju kencang, penuh goncangan... tak sadar, mataku sembab... memerah... tenggorokanku tercekat... terharu.. dengan kasih sayang mamak kepada anak-anaknya...

Jumat, 13 Januari 2012

TOKO SUAMI

Sebuah toko yang menjual suami baru saja dibuka di kota Entah berantah dimana
wanita dapat memilih suami.

Diantara instruksi-instruksi yang ada di pintu masuk terdapat instruksi
yang menunjukkan bagaimana aturan main untuk masuk toko tersebut.

“Kamu hanya dapat mengunjungi toko ini SATU KALI”
Toko tersebut terdiri dari 6 lantai dimana setiap lantai akan
menunjukkan sebuah calon kelompok suami.

Semakin tinggi lantainya, semakin tinggi pula nilai lelaki tersebut.
Bagaimanapun, ini adalah semacam jebakan. Kamu dapat memilih lelaki di
lantai tertentu atau lebih memilih ke lantai berikutnya tetapi dengan
syarat tidak bisa turun ke lantai sebelumnya kecuali untuk keluar dari
toko..Lalu, seorang wanita pun pergi ke toko “suami” tersebut untuk
mencari suami..

Di lantai 1 terdapat tulisan seperti ini :
Lantai 1 : Lelaki di lantai ini memiliki pekerjaan dan taat pada Tuhan
Wanita itu tersenyum, kemudian dia naik ke lantai selanjutnya.

Di lantai 2 terdapat tulisan seperti ini :
Lantai 2 : Lelaki di lantai ini memiliki pekerjaan, taat pada Tuhan, dan
senang anak kecil
Kembali wanita itu naik ke lantai selanjutnya.

Di lantai 3 terdapat tulisan seperti ini :
Lantai 3 : Lelaki di lantai ini memiliki pekerjaan, taat pada Tuhan,
senang anak kecil dan cakep banget.
” Wow”, tetapi pikirannya masih penasaran dan terus naik.

Lalu sampailah wanita itu di lantai 4 dan terdapat tulisan
Lantai 4 : Lelaki di lantai ini yang memiliki pekerjaan, taat pada
Tuhan, senang anak kecil, cakep banget dan suka membantu pekerjaan
rumah.
”Ya ampun !” Dia berseru, ”Aku hampir tak percaya”
Dan dia tetap melanjutkan ke lantai 5 dan terdapat tulisan seperti ini:
Lantai 5 : Lelaki di lantai ini memiliki pekerjaan, taat pada Tuhan,
senang anak kecil,cakep banget,suka membantu pekerjaan rumah, dan
memiliki rasa romantis.
Dia tergoda untuk berhenti tapi kemudian dia melangkah kembali ke lantai
6 dan terdapat tulisan seperti ini:

Lantai 6 : Anda adalah pengunjung yang ke 4.363.012. Tidak ada lelaki di
lantai ini.Lantai ini hanya semata-mata bukti untuk wanita yang tidak
pernah puas.

Minggu, 08 Januari 2012

Aku Iri

Aku iri pada langit dan bintang-bintang…

yang setia pada peredaran ruang dan waktu

dalam sujud penghambaan semesta

demi Dzat pemelihara jagat raya….

Aku Iri pada matahari….

yang bertasbih sepanjang hari

Untuk segenggam tanah bumi

demi bersujud pada ilahi

Aku iri pada sang rembulan

yang menerangi gulita malam

agar kelam menjadi tenteram

demi ridlo penguasa alam

Aku iri pada gunung dan lautan

yang dijunjung dan dihamparkan

saling menanggung dalam keselarasan

demi penguasa segala keseimbangan

aku iri pada pepohonan dan bebungaan

merah, kuning, hijau, ungu..

aneka warna, bentuk dan rupa

demi sujud kepada penguasa keindahan

Aku iri pada lebah dan serangga

yang menari dalam harmoni

mencari madu untuk berbagi

demi mengabdi pada yang maha merakhmati…

dan…

aku iri kepadamu…

engkau yang terjaga, saat orang lain terlena

engkau yang memberi, saat orang lain meminta

engkau yang mengayomi, saat orang lain pergi

engkau yang ridlo, saat orang lain iri dengki

Karena…

aku hanyalah hamba hina yang ingin jadi sempurna

aku hanyalah debu yang ingin jadi permata

agar…

waktuku yang sebentar menjadi berharga

agar…

Sejarah mencatat, bahwa aku pernah ada…

menjadi bagian indah dalam masa

agar…

jika hari itu tiba…

para malaikat berkata…

salam sejahtera wahai hamba Alloh yang mulia….

Kamis, 05 Januari 2012

Si Boneka India

“Yang laki-laki ke belakang, yang perempuan ke depan”
“Yang laki-laki ke belakang, yang perempuan ke depan”
Pramuniaga busway sibuk memberikan instruksi saat pintu busway terbuka lebar. Seperti biasa, penumpang berebut masuk. Mengabaikan aturan di pintu. Antrian pria, antrian wanita. Jelas terpampang, berikut gambar animasinya. Bukan jakarta namanya kalo tidak semrawut. Pintu langsung tertutup setelah semua penumpang naik.  Cawang UKI selalu ramai, entah pagi siang apalagi sore. Alhasil bapak pimpinan yg berkumis tebal itu memilih si “komodo”  untuk menampung koridor 10 yang padat.

Penumpang segera memilih tempat duduk masing-masing. Seperti instruksi pramuniaga barusan. Aku kagum. Nyatanya orang Jakarta yang terkenal “semrawut” bisa tertib juga.  Yang tidak kebagian, segera mencari celah. Kalaupun tidak duduk, setidaknya bisa bersandar di sudut ruang yang lebih lengang.
Wajah-wajah lelah terlihat di sana-sini. Jakarta yang menjanjikan sejuta kebahagiaan berbayar mahal. Tekanan pekerjaan, kemacetan jalan, dan segala ketidakteraturan sudah lebih dari cukup untuk memaksa mereka hanya peduli dengan diri sendiri.

Namun, yang paling lelah dari mereka ternyata mas-mas berseragam di samping pintu geser. Entah sudah berapa banyak tenaga dihabiskan untuk berteriak sedari pagi. Mengatur para penumpang yang hamper selalu tak tertib. Menjawab pertanyaan tentang jurusan yg jelas-jelas jawabanya menempel di papan pengumuman.
Ah.. memang tak ada habisnya cerita di busway.. cerita yang memang tidak ditemui ditempat lain..
Namun bukan itu yang ingin kuceritakan kepadamu kawan… namun lain lain tempo hari..

Hari itu perjalanan rutinku, aku lebih memilih bus way dari kendaraan umum. Lebih murah, aman, dan ber –AC-. Sok mewah dikit boleh kan?

Aku memilih jalur biasa Tomang-Pulo gadung. Jalur yang menyenangkan. Jalur yang special. Memotong Jakarta tepat di tengahnya. Dari barat ke  timur.

Sesuatu mengalihkan konsentrasiku. Seseorang naik di halte senen.  Orang aneh.  Cengar-cengir sendiri... "tepe-tepe". Duduk tepat didepanku. waduh!!! repot nih... (waktu itu belum banyak aturan yg macem-macem seperti sekarang, terutama tentang pembagian tempat duduk)

Aroma busway seketika langsung berubah, wewangian murahan khas kendaraan tiba-tiba lenyap. Digantikan aroma lain yang menyengat. Yang berlebihan memang selalu tidak menyenangkan. Pun yang terlalu wangi, akan membuat pening kepala.

“MasyaAlloh” aku nyebut lirih.. Rambutnya pirang.. "srowal-srawil.."  tidak bisa dibedakan orang cacingan  atau kepanasan? Kurang gizi atau jarang sampoan..

Sementara tangan kirinya “Nyangklong” tas khas perempuan, tangan kanan membawa kipas.   Mengibaskan tangan ke sana-kemari, menggeleng-gelengkan kepala, sengaja menunjukkan rambut srowal-srawil warna warni. Cuek. Yang di sekitarnya tambah pening.

Aku menghela nafas pelan, bukannya Busway sudah pake AC... ko masih kipasan segala?

Matanya biru, mirip orang bule.. tapi perasaan memang ada bule yang idungnya pesek?
Mengingatkan istilah dosenku dulu.
LKMD –“Londo Ketok Mung nDase” (Bule Cuma kepalanya saja).

Kusebut saja “Si Boneka India”. Mirip lagu lawas yang dipesetkan Djony Iskandar dkk di PMR (Pengantar Minum racun). Sepertinya sangat cocok. (maaf ya..)

Yang kasian, perasaan sudah jaman kemerdekaan.  Pakaianya masih kurang bahan. Macam lagu “Tumini” yang sering kudengar. Apa malah tandeman sama pakean adeknya mba? opo yo ndak dingin?
Ah.. Tidak boleh kuteruskan lagi masalah pakaian. Nanti banyak yg mikir aneh-aneh. Nanti di complain mbak-mbak yang ngerasa tidak nyaman dengan tulisanku.

yang ndak “nguati”  dengan PD pake head phone segede 'gaban'. Praktis menutupi separo kepala kanan dan kiri. Aku berprasangka baik. Mungkin abis siaran radio.. lupa mbalikin..

Katanya sih lagi in.. mirip iklan di tivi. “Biar gaol gitoo” (Wendy cagur, mode:on)
Sepanjang perjalanan aku memilih diem, bingung mo bagaimana,  pengin ketawa, yo mesa'ke, yo lucu... sambil sesekali nyebut.. geleng-geleng kepala…
opo yo sampean ndak rumongso to mbak...

Orang jakarta sudah pada butuh refresing kali... tekanan hidup ternyata sukses membuat orang bertingkah aneh-aneh.

Busway melaju semakin pelan. Suara paging dari operator menyebut halte terakhir, waktunya turun. Mas-mas pramuniaga ikut mengingatkan. Menirukan  rekaman di pengeras suara. Sudah semakin pelan saja suaranya. Lebih pelan dari saat aku naik tadi. Namun ada gurat lega di wajahnya, tugasnya hari ini selesai sudah. Saatnya istirahat, refreshing, melepas penat dan lelah.

Aku segera turun saat pintu busway terbuka. Berjalan pelan. Masih menahan tawa, membayangkan si boneka india..

Selasa, 03 Januari 2012

Perempuan berkerudung putih

Kemana…  kemana…  
kemana ku harus mencari kemana
Kekasih tercinta tak tahu rimbanya
Lama tak datang ke rumah
Dimana dimana dimana tinggalnya sekarang dimana..

Seorang ibu bersuara “cempreng” sedang menyanyi. Diiringi music dari tip jadul dengan batere aki soak. Entah suara speakernya yang buruk entah memang vokalnya kurang berkualitas. (kalo ngomong jelek nanti di demo sama “PARFI” pimpinannya bapak Anwar Fuadi). 

Dandananya sudah mirip bitang tivi. Baju ketat warna-warni.  Macam audisi biduan dangdut, di sebuah stasiun tv swata yang di siarin hampir tiap malam.  Make up wajahnya mulai luntur, terkena keringat. Seharian berpanas-panasan teriknya  Cikarang. Mengejar bis yang tidak pernah benar-benar diam berhenti. Bedaknya juga murahan. Ngirit pengeluaran.

Ah ndak penting… mau se-sewrawut apapun tampangnya, mau  sejelek apapun suaranya, mau secempreng atau sepales apapun juga. Lagu artis yg sedang naik daun itu tetap akrab di telinga kami. 

Bus P 9 BC Jurusan Kampung rambutan-Cikarang via cawang UKI melaju kencang di jalan tol. Salah satu bus favourit ke Jakarta. sepertinya jalanan belumlah ramai. Jam di HP ku masih menunjukkan pukul 15.00 waktu cikarang. Aku selalu tidak enak hati menanyakan jam kepada orang di sebelahku, apalagi kalau cewek. Masih Satu jam-an lagi karyawan kawasan bubaran. Akhir-akhir ini aku harus sering bolak-balik Jakarta-Cikarang. Semoga tidak bertambah sering lagi, alamat bermasalah dompetku.

Sementara sang ibu menyanyi, - sepertinya memang ibunya- seorang anak mengedarkan amplop butut, bertuliskan deretan cerita. Tulisannya sudah mulai kabur.  luntur di sana-sini. Disiasatinya dengan isolasi bening. Tetap saja tidak menghilangkan lunturnya.  Setidaknya masih bisa terbaca dengan jelas. Intinya “mohon sumbangan”.

Anak kecil yang cantik. Seusia “Ayang” ku, ah mungkin sedikit lebih muda. Setahun mungkin. Menggunakan setelan kerudung kotak yg dilipat-lipat. Aku tetap tidak tahu nama keren kerudung itu. Atasan kaos lengan pendek warna putih, dan celana setengah lutut. Nampat sangat “Luwes” setidaknya untuk anak seusianya.  

Aku selalu –untuk saat ini- keberatan jika “Ayang” ku menggunakan kerudung model itu. Ia memang selalu tampak sangat cantik saat mengenakannya. Dengan warna apapun, ia sudah piawai mencocokkan kerudung dengan warna bajunya.  Aku keberatan, “Dandannya Lama”. Ribet banget. Setengah jam lebih hanya untuk memasangnya saja di sana. Di dalam kamar, yang selalu saja complain jika diganggu, bahkan simboknya sendiri. Selalu saja diusir jika mendekat, apalagi menegur.  Dan jangan dikritik sedikitpun, butuh setengah jam lebih untuk memperbaikinya. Apalagi dikritik warnanya, “Dilarang Keras” bias tambahan waktu setengah jam, “Buat nangis dan Paniknya”.

Ah maafkan kawan, aku selalu lupa jika bercerita tentang ayangku..

Ke sana kemari membawa alamat
Namun yang ku temui bukan dirinya
Sayang yang ku terima alamat palsu

Aku tersadar , bocah berkerudung putih itu menyodorkan amplop putih kecoklatan penuh tulisan agak luntur  kepadaku. Disertai senyum “Lima Senti” dari bibir mungilnya.  

Ah sepertinya aku melamun barusan. Sudah dua bulan lebih tak pulang. Kangen “Ayangku”. Proyek blum bisa ditinggal.

“Sabar ya yang..”
“Mamas segera pulang”

Seorang ibu-ibu berkerudung putih di kursi sebelahku membalas senyum “lima senti”. Menerima amplop juga. Matanya berbinar melihat bocah berkerudung putih itu. Mungkin membayangkan bungsunya, seperti aku membayangkan “Ayangku”.

Tak lama ia merogoh tas lengan warna coklat khas ibu-ibu. Ia mengeluarkan uang lembaran berwarna biru tua. Agak lama berhenti, sebelum akhirnya memutuskan menyelipkan ke dalam amplop.
“Uang yang besar”, batinku.

Sisi lainku berfikir. Memikirkan segala kemungkinan. -Sebenarnya sih boleh dibilang prasangka-
“Boleh juga itu jadi pengamen”.

 Kalau tiap hari ada yang ngisi amplopnya uang warna biru. Mendingan jadi pengamen saja.
Dandan ala panggung gembira, make up murahan. Baju ketat warna-warni. Nyanyi dah…

Ndak perlu mikirin date line, ndak usah mikiri schedule, minggu ndak perlu masuk, hasilnya ndak jauh beda.

Ah…” wang sinawang”

Jangan-jangan ibu-ibu dan anak pengamen itu juga ingin seperti kita, tidak perlu kejar-kejaran dengan trantib, tak perlu rebutan dengan pengamen lain, dan tentu saja tak perlu takut diganggu preman maupun calo terminal.Mudah-mudahan apa yang tertulis di amplop lusuh itu benar adanya.

Hidup memang begitu wataknya, kita hanya harus lebih bersyukur dengan apa yg kita miliki. Mungkin kita yang lebih banyak merasa bosan, karena –mungkin kita- kurang –berusaha- mencintai pekerjaan kita. Mungkin kita lupa mengucapkan terima kasih kepada pasangan kita, yang dengan sabar menunggu kekasihnya pulang. Mungkin kita mulai merasa terganggu dengan celoteh anak-anak yang dahulu sangat kita idam-idamkan kehadirannya dulu.

Teet…. Teeeet… Teeet..  klakson bus berbunyi… keras sekali..
“cawang… cawang.. cawang..” kondektur berseru keras.
Dan bus pun melambat jalannya. Para penumpang mulai mengepaki barangnya, bersiap segera turun. Memastikan tidak ada yang ketinggalan.
Pun diriku, aku menjijing tas ranselku. Berat. Bersiap turun ganti Busway, arah grogol.
Cawang mulai padat dan ramai.. lamat-lamat  masih terdengar alunan musik penyanyi yang sedang naik daun itu..

Kemana kemana kemana ku harus mencari kemana
Kekasih tercinta tak tahu rimbanya
Lama tak datang ke rumah
Dimana dimana dimana tinggalnya sekarang dimana